Andy Dufresne, seorang bankir cerdas masuk penjara karena dituduh membunuh istri dan selingkuhannya. Nahas bagi Andy, Shawshank State Prison tempat di mana ia mendekam merupakan penjara yang terkenal mengerikan karena dihuni oleh penjahat kelas berat. Ia mendapatkan perlakuan yang buruk, baik oleh sesama narapidana dan juga aparat keamanan penjara. Kekerasan demi kererasan merupakan “makanan” sehari-hari baginya.
Nasib kemudian berubah setelah ia menjadi “konsultan” keuangan kepala penjara. Dengan latar belakang sebagai bankir, ia dapat membantu mengaburkan pendapatan ilegal si kepala sipir agar tidak terendus petugas pajak dan penegak hukum lainnya. Semenjak saat itu, hidupnya pun berubah drastis. Selain mendapat perlindungan dari ancaman kekerasan, ia tidak lagi diberikan tugas-tugas berat seperti narapidana lainnya. Ia sangat leluasa beraktivitas tanpa pengawasan yang super ketat sehingga ia dapat mempersiapkan alat-alat untuk meloloskan diri keluar penjara.
Cerita Andy Dufresne dalam film The Shawshank Redemtion (1994) tersebut menjadi gambaran jika kehidupan di penjara memiliki aturan main sendiri. Hukum rimba menjadi separasi yang utama menempatkan siapa tuan dan siapa budak dalam penjara. Bagi pihak yang kuat akan meraja, yang lemah rusak-binasa.
Zaman boleh saja berubah, tata-laku sebagai perkakas hidup (aturan hukum) sudah pula banyak bertambah, namun sifat purba manusia belum lagi punah. Sifat jahiliyyah sebagai serigala bagi manusia lainnya masih bercokol dalam perilaku manusia modern. Baik yang yang tidak terdidik, maupun yang terdidik sekalipun mereka masih menjadi ancaman yang nyata bagi manusia lainnya.
Tengok saja misalnya kasus penyiksaan yang tempo hari mencuat ke hadapan kita. Cerita kelam layaknya narasi fiktif di penjara Shawshank kali ini menerpa MR, seorang warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Muaro Padang yang diwartakan mendapat kekerasan oleh sesama warga binaan dan juga oknum sipir.
Hanya karena MR memiliki utang makan sebesar Rp 500 ribu yang dikelola oleh salah seorang sipir, ia kemudian dipukuli menggunakan besi pemukul lonceng dan juga kayu. Selain itu, ia juga disetrum dan dipaksa meminum air kencing narapidana lainnya (Padang Ekspres, 29/12/2016).
Penyiksaan demi penyiksaan seolah terjadi tiada henti. Kasus MR menyeruak tatkala ingatan akan tindak penyiksaan yang dialami oleh kakak beradik Faisal (14) dan Budri (17) pada saat menjadi tahanan kasus pencurian di Polsek Sijunjung, Sumatera Barat di penghujung tahun 2011 lalu belum lagi hilang. Secara nasional, sepanjang tahun 2014–2015, terdapat 48 kasus penyiksaan di Indonesia, di mana 8 kasus di antaranya mengakibatkan kematian.
Dari sisi pelaku, pihak kepolisian adalah yang paling tinggi melakukan tindak penyiksaan, baik di tingkat Polsek, Polres atau Detasemen. Dari segi wilayah kejadian, kasus penyiksaan paling tinggi terjadi di Provinsi Sumatera Utara (7 kasus) diikuti Batam dan Jakarta (5 kasus), serta Sumatera Barat menempati posisi ketiga, yakni 3 kasus (Kompas.com, 17/10/2015).
Penyelewengan Hak Negara
Kekerasan oleh petugas berwenang terhadap seseorang yang berada dalam pengawasannya, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa biasa. Hal mana, yang demikian tergolong sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat serius. Perilaku minus ini berpangkal pada kurangnya kontrol terhadap lembaga-lembaga yang memiliki otoritas melakukan upaya paksa yang dilegalkan oleh negara, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga pemenjaraan.
Secara histori, perilaku menyiksa diidentikan dengan tindakan pencarian informasi. Pada era Yunani kuno, tindakan menyiksa diistilahkan dengan ‘banasos’ yang merujuk pada penggunaan sebuah batu yang dapat digunakan untuk mengetes kadar kemurnian dari emas. Penyiksaan (basanos) tersebut dilakukan berdasarkan pada asumsi jika para budak akan selalu mengatakan kebenaran bila disiksa terlebih dahulu (Evans dan Morgan, 1998).
Saat ini, penyiksaan marak dilakukan untuk menggali informasi atau mendapatkan pengakuan dari terduga pelaku kejahatan atau juga sebagai bentuk ‘pembinaan’ bagi narapidana di LP. Relasi antara pelaku penyiksa dengan yang disiksa berbentuk relasi kuasa antara negara dengan warga negaranya. Jadi, penyiksaan muncul karena berpangkal pada adanya kewenangan, dan berujung pada kerugian fisik maupun psikis korban. Padahal, kewenangan seharusnya difungsikan untuk kemaslahatan, bukan kesengsaraaan. Dengan demikian, dapatlah diartikan jika penyiksaan merupakan bentuk penyelewengan dari kewenangan atau hak yang diberikan oleh negara.
Berulang-terjadinya tindak penyiksaan, tidak terlepas karena kita tidak memilki aturan yang khusus mengatur perangai barbar ini. Setiap penyiksa yang dilaporkan dan diproses hukum, hanya dikenakan pasal penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Alhasil, ensensi pelanggaran HAM dari tindak penyiksaan direduksi menjadi tindak pidana biasa. Pelaku penyiksa yang merupakan aparat negara dianggap bertindak bukan atas kewenangan yang melekat, melainkan hanya tindakan personal.
Reformasi Bilik Penjara
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) 5 lembaga negara, yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Ombudsman dan LPSK tanggal 24 Februari 2016 yang lalu ternyata belum mangkus untuk menjinakkan problem penyiksaan. Tampaknya strategi yang lebih komprehensif untuk menangani masalah penyiksaan tersebut mendesak untuk dilakukan. Titik tekannya, berada pada institusi yang memiliki kewenangan langsung terhadap keselamatan pihak yang menjadi tanggungjawabnya.
Dalam hal ini, perlu mereformasi lembaga yang memiliki otoritas dalam menahan dan memenjara. Suara untuk menghapuskan rumah tahanan (rutan) di Polsek atau Polres sampai sekarang belum pernah digubris. Namun kemudian, dengan adanya peristiwa serupa di dalam LP, maka keberadaan rutan yang berada persis di bawah Kementrian Hukum dan HAM memiliki problem yang sama.
Memang, mengurusi penjara bukan hal yang mudah. Kompleksitas permasalahan di muara sistem peradilan pidana ini belum banyak yang menyuarakan. Selain karena tema pemasyarakatan ini kurang populis, stigma yang masih melekat kepada warga binaan sebagai “orang bermasalah” yang pantas mendapatkan ganjaran membuat praktik kekerasan dalam penjara menjadi hal yang lumrah terjadi.
Sebagai institusi negara yang juga bertugas mengurusi anak bangsa, suka tidak suka, reformasi lembaga yang berwenang menahan, dan memenjarakan harus segera dilakukan. Memastikan akuntabilitas atau kontrol terhadap “bilik penjara” tersebut mutlak dilakukan sebagaimana yang sudah menjadi standar internasional.
Salah satunya dengan memisahkan narapidana berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukan. Hal ini selain akan mencegah LP dijadikan tempat sekolah kejahatan (school of crime), segregasi ini akan mencegah terjadinya hukum rimba dalam pergaulan narapidana di LP.
Selain kontrol dari dalam institusi, penting juga untuk mempertimbangkan monitoring yang berkala dari luar institusi seperti Komnas HAM. Bisa melalui inspeksi rutin dan juga menyediakan sarana komplain bagi tahanan atau warga binaan LP yang bebas untuk memudahkan lembaga pengawas mendapat informasi yang kredibel tentang apa yang terjadi dalam LP atau lembaga penahanan.
Terakhir, sebagai sarana represif, keberadaan Undang-Undang Anti-Penyiksaan sudah sangat mendesak untuk direalisasikan. Hal mana mengingat pelaku penyiksa yang merupakan bagian dari penyelenggara negara, dan untuk memastikan proses hukum berjalan fair dan hak-hak korban dapat dipenuhi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.