Oleh Teuku Ahmad Dadek & Risman A Rachman*
Pilkada serentak 2017 telah berlangsung dan sudah menghasilkan kepala daerah baru hasil pilihan rakyat, dan juga sudah ditetapkan. Dari beberapa sengketa hasil Pilkada 2017, hanya Gayo Lues yang masih dilanjutkan pemeriksaannya. Tentu saja visi dan misi mereka yang menang harus aplikatif dan rill untuk dijadikan capaian lima tahun ke depan 2017-2022. Harus diakui, tentu ada kesenjangan antara apa yang divisikan kepala daerah dengan program dan kegiatan, termasuk capaian yang akan mereka raih pada masa akhir jabatan yaitu tahun 2022 akhir.
Sebuah anekdot perencanaan mengatakan jika orang Amerika banyak bicara, banyak kerja sehingga ketika Presiden Amerika berpidato setelah pemilihan presiden, jutaan rakyat Amerika akan mengikutinya, sebab apa yang diucapkan itu akan menjadi policy dan program/kegiatan yang akan dijalankan dan jadi kenyataan. Artinya antara rencana dan implementasinya akan berjalan sebagaimana yang ditetapkan untuk dicapai. Sementara itu orang Jepang, banyak kerja sedikit bicara, karenanya Jepang dikenal sebagai manusia pekerja yang ulet, sedangkan orang India banyak bicara sedikit kerja, karenanya film India, banyak nyanyi dan narinya dibanding dengan isi cerita, sedangkan kita Indonesia lain yang dibicarakan lain yang dikerjakan, artinya sering kali terjadi perencanaan menjelma jadi dokumen saja, sulit untuk diwujudkan jadi capaian, sehingga kata janji tinggal janji sudah menjadi bahasa politik.
Biasanya ada beberapa hambatan sehinga visi dan misi kepala daerah tidak dapat diwujudkan menjadi capaian yang diharapkan, alias janji kampanye hanya akan menjadi sebuah janji saja. Pertama dari ranah dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, lima tahun level propinsi/kabupaten/kota), Rencana Strategis (Rentra, lima tahunan untuk pedoman satuan perangkat daerah propinsi/kabupaten/kota), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD, satu tahunan) serta Rencana Kerja (Renja) tahunan SKPD dimana visi dan misi tersebut tidak berhasil dijadikan program kegiatan di dalam APBD/A dengan dana dan indikator capaian yang akan disasar. Jika visi dan misi tersebut sudah tersedia di dalam RPJM pun, kadang Renstra per Satuan Kerja dibuat dengan tidak mampu menjabarkan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai indikator program dalam RPJM. Kemudian juga terjadi, setiap tahunnya, RPJM dan Renstra yang berlaku lima tahun, tidak pernah dijadikan sebagai acuan ketat dalam menyusun Renja pada setiap tahunnya, akibatnya RPJM, Renstra dan Renja tidak kait mengkait tetapi hanya menjadi sebuah perencanaan saja dimana kaitan dan benang merahnya sangat tipis.
Kedua, ranah sinkronisasi antara hasil musyawarah rencana pembangunan dengan dokumen RPJM dan Renstra, seharusnya setiap dilaksanakan Musrenbang di level kecamatan, Bappeda dan SKPK/A juga memaparkan RPJM/Renstra/Draf Renja yang akan dijalankan pada tahun berjalan agar usulan Musrenbang bisa sinkron dengan visi dan misi kepala daerah sehingga setiap level dari desa, kecamatan dan kabupaten/kota tahu apa yang harus diusulkan sesuai dengan apa yang ingin dicapai kepala daerah.
Ketiga, data-data capaian terkadang tidak dibuat berdasarkan fakta dan angka seharusnya, sehingga target capaian sangat fantatis. Dalam RPJM Aceh tahun 2012-2017 ada beberapa target yang dibuat tidak terealisasi misalnya indikator kinerja di bidang ekonomi, antara realisasi dan proyeksi begitu jauh angkanya, untuk 2014 realisasi cuma 4,13 persen padahal targetnya mencapai 6,7 persen, untuk tahun 2014 tersebut bahkan BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh tanpa Migas melambat dari tahun 2013, yakni hanya 4,13 persen dari 4,4 persen, demikian juga tingkat pengangguran dimana tahun 2013 ditargetkan cuma 5,0 persen, ternyata faktanya masih 10,3 persen.
Untuk pengurangan angka kemiskinan target yang ambisius yaitu angka kemiskinan 2 persen setiap tahun, hingga kini tingkat kemiskinan di Aceh masih saja di atas angka rata-rata nasional. Jika melihat proyeksi setiap tahun pertumbuhan ekonomi, angkanya sangat tinggi, di atas rata-rata nasional, tahun 2015, misalnya, RPJM 2012-2017 menargetkan pertumbuhan ekonomi 6,8 persen, padahal di tingkat nasional, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya pada kisaran 5,4-5,8 persen.
Keempat, strategi yang akan ditempuh dalam mewujudkan visi dan misi tersebut terkadang tidak tepat, misalnya dalam penurunan angka kemiskinan, pendanaan untuk ungkit ekonomi jauh lebih kecil dibandingkan dengan dana untuk pembangunan infrastruktur sehingga strategi untuk menurunkan angka kemiskinan tidak mendapatkan porsi yang semestinya dalam upaya memacu pendapatan masyarakat untuk membuka lapangan kerja, usaha dan life skill.
Biasanya angka untuk kegiatan aparatur lebih mendominasi sebab perencanaan dokumen kurang diwarnai oleh mereka non PNS seperti akademisi, pengusaha dan LSM sendiri, demikian juga untuk penurunan angka pengangguran, sebagai provinsi yang tak punya industri, mencari kerja di Aceh sangatlah sulit, karenanya jika kebijakan penanggulangan kemiskinan untuk menekan angka pengangguran dan menaikan pertumbuhan ekonomi, jika kita andalkan dari APBA, APBN dan APBK kabupaten/kota tidak akan memberi pertumbuhan signifikan.
Misal kita ambil perbandingan dengan Sumatera Utara dimana APBK mereka hanya Rp. 9 T tetapi dengan penduduk 12,98 juta sedangkan Aceh APBA sekitar Rp. 14 T dengan jumlah penduduk 4,48 juta dimana angka kemiskinan dan penggangguran Sumatera Utara lebih kecil dibandingkan Aceh, mengapa? Sebab Sumatera Utara pembukaan lapangan kerja bukan hanya mengandalkan APBD dan sektor pemerintah semata, tetapi juga investasi swasta yang begitu besar dengan lapangan kerja yang begitu banyak.
Harapan untuk Aceh agar dapat membuka lapangan kerja adalah dengan memperkuat sektor pertanian dan perkebunan sebab sektor ini adalah yang paling banyak menyerap tenaga kerja, kemudian menarik investasi untuk pengolahan sumber daya alam dan pabrik pabrik produksi akan memberikan dampak besar bagi menekan kemiskinan di Aceh.
Kelima, dalam pengawalan akan visi dan misi menjadi program kegiatan tidak dilakukan secara sistematis dan ketat, dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan harus solid dan diberikan cukup waktu para pejabatanya untuk mengawal visi tersebut sehingga menjadi pencapaian, ini juga diperlukan bagi para eksektor di SKPD/A, kasus mutasi periode 2012-2017, terutama di propinsi menjadi sebuah acuan yang menyatakan kepada kita bahwa mutasi bukanlah penyegaran organisasi tetapi lebih kepada kekalapan user dalam meneropong para pejabat pelaksana, hal ini dikarenakan rekruitmen dari awal sudah salah.
Kesejangan program dengan pelaksanaanya dikeluhkan Mendagri Tjahjo Kumolo (Kompas 17/3) dengan mencontohkan Program Peningkatan Kehidupan dan Kesejahteraan Nelayan di Wilayah Pesisir yang diwujudkan dengan pembangunan trotoar jalan di pemukiman nelayan. Program ini kata Mendagri adalah program absurd. Tidak ada kaitan langsung antara pemberdayaan ekonomi dan pembangunan trotoar di lingkungan warga.
Aceh Go On
Dalam konteks Aceh, pelaksanaan program dan kegiatan lima tahun ke depan akan menghadapi masalah tehnis kebijakan dan politik anggaran yang perlu mendapat strategi dan political approah. Kendatipun, Zikir adalah manisfestasi dan ekuivalen dengan DPRA (sama-sama PA), namun dinamika transasional terus muncul, program pendanaan RSU Regional, pembahasan APBA yang terus dimediasi Mendagri dan yang terakhir masalah mutasi sebuah kenyataan yang harus bisa diatasi.
Penetapan APBA yang dalam tiga tahun terakhir ini tidak tepat waktu, bahkan hampir menuju ke Peraturan Gubernur. Pembahasan tehnis antara eksekutif dan legislatif sering terkendala dengan masalah-masalah politik anggaran terutama masalah dana aspirasi dan masalah non tehnis lainnya. Lima tahun ke depan, tidaklah mudah bagi Irwandi-Nova sebagai kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak dengan dukungan bukan partai dominan. Namun, dukungan Partai Aceh pun terhadap Abu Doto – Muzakkir Manaf juga terbukti tidak mudah dalam menyamakan komitmen antara eksekutif dan legislatif.
Kemampuan komunikatif dan akomodatif program serta sesuai kewenangan tentunya sangat penting, apalagi tidak ada lawan yang abadi dalam politik dan tidak ada kawan setia, yang ada hanya kepentingan yang sama, terutama kepentingan daerah. Pengesahan APBA tepat waktu adalah kepentingan kedua pihak agar anggaran memiliki legal standing kuat, karenanya Pemerintah Pusat sudah menerapkan sanksi tidak bergaji kepada keduanya seperti kasus di Abdya, bahkan dalam realisasi anggaran terutarama DAK pusat juga menerapkan sanksi tidak dibayar pada tahap berikutnya. Komitmen bersama antara eksekutif dan legislatif anggaran tepat waktu dengan menanda-tangani jadwal dan kelender anggaran sebagai pedoman dalam bekerja adalah sebuah keharusan.
Kedua, perlu perbaikan pemahaman dan penguasaan tehnis dari SKPA dalam menyusun Renstra dan Renja, sebab keterukuran dan ketersediaan anggaran serta capaian yang akan diraih bukan hanya di level output tetapi sampai ke outcome dan benefit harus diukur dari program dan kegiatan yang akan dijalankan sesuai visi dan misi. Kedua dokumen ini akan mempengaruhi kualitas anggaran dalam lima tahun ke depan. Sebagian Renstra dan Renja yang ada tidak dibangun dengan teliti dan fakta, baik dari perencanaan sampai menjadi Dokumen Program Anggaran (APBA/K), disusun belum sepenuhnya sesuai kebutuhan dan skala prioritas untuk pencapaian visi dan misi, hal ini diperparah oleh inkonsistensi antara perencanaan dengan penganggaran sehingga banyak program gelap (penumpang gelap) muncul.
Kapasitas dalam mewujudkan visi misi kedalam program dan kegiatan skala prioritas dengan prinsip money follow program, selaras pula dengan sasaran serta capaian program (outcome) yang akan diraih di Renstra/RPJM dengan Renja (output) yang terukur dan focus dalam upaya menyelesaikan isu dan prioritas pembangunan daerah harus dikuasai secara tehnis oleh SKPA.
Tataran Eksekusi
Sebuah dokumen perencanaan sebagus apapun tidak akan membawa hasil jika para eksekutornya lemah baik dalam time scedule maupun manajerial. Kejadian yang sangat baru yang dialami hampir semua kabupaten/kota adalah penghentian pembayaran Dana Alokasi Khusus (DAK) 2016 tahap akhir yang mencapai puluhan milyar rupiah, beberapa kabupaten/kota juga beberapa propinsi, tahun anggaran 2017 harus mereposisi ulang anggarannya sebab harus menutupi kekurangan bayar DAK tahun 2016, sampai saat ini, pusat terutama Menkeu belum memberikan sinyal bahwa DAK kurang bayar tersebut akan dibayar kembali.
Eksekusi sebuah program dan kegiatan tidak mencapai sasaran dan tepat waktu dimulai sejak penyusunan penetapan lokasi yang bermasalah, Desaign Engering Detail (DED), pelelangan, pelaksanaan. Lemahnya manajemen eksekusi dalam pelaksanaan anggaran menyebabkan kualitas proyek menjadi rendah karena waktu yang sudah singkat hanya dapat dimanfaat dengan tidak efisien dan bahkan ada proyek tidak fungsional. Namun, monitoring dan evaluasi sudah bagus terutama yang dilaksanakan di P2K, namun pada periode Zikir, Monev Tim Taqwallah ini kurang maksimal karena tindak lanjut dukungan politis kurang mereka dapatkan.
Memperluas Pendanaan
Paling tidak ada beberapa masalah pokok yang perlu fokus penekanannya lima tahun yang akan datang, pertama menurunkan angka kemiskinan. Berdasarkan data BPS pada Tahun 2015, tingkat kemiskinan di Aceh sebesar 17,08 persen merupakan angka kemiskinan tertinggi di Sumatera dan menduduki posisi ke tujuh termiskin di antara 34 provinsi di Indonesia. Sementara, angka rata-rata kemiskinan Indonesia sebesar 10,86 persen. Jumlah penduduk miskin di Aceh tercatat 851.590 jiwa yang terdistribusi di perkotaan sebanyak 157.570 jiwa (18,5 %) dan di pedesaan sebanyak 694.010 jiwa (81,5 %).
Analisis berdasarkan zona menunjukkan bahwa diantara kabupaten/kota termiskin yaitu: 1) Zona Pusat, Kabupaten Pidie (21,18 %), 2) Zona Utara, Kabupaten Bener Meriah (22,45 %) , 3) Zona Timur, Kabupaten Aceh Timur (15,88 %), 4) Zona Tenggara, Gayo Lues (21,14 %), 5) Zona Selatan, Kabupaten Simeulue (19,92), dan 6) Zona Barat, Kabupaten Aceh Barat (21,46 %). Dengan demikian fokus pengentasan kemiskinan untuk masing-masing zona perlu dilakukan pada kabupaten-kabupaten tersebut.
Kemudian, menyangkut pengangguran, pangan, disparitas antar wilayah (tolol ukur dengan Indes Williamson), kesenjangan pendapatan (Index Gini), industri dan pariwisata, kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan dan perdamian serta yang juga sangat penting adalah pemberantasan korupsi.
Jika mengandalkan APBA saja tentu, masalah ketertinggalan akan tetap menjadi posisi Aceh, jalan keluar yang penting untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran adalah dengan memperbanyak investasi swasta, meningkatkan kunjungan wisata, fokus kepada pertanian dan perkebunan dengan sistem pendampingan sebab sektor ini paling banyak menyerap tenaga kerja, serta menggalang dana CSR dari perusahaan dan yang sangat penting juga adalah mengembangkan kemandirian konsumsi masyarakat Aceh.
Sebagimana yang dikatakan oleh Mendagri, banyak program dibuat dengan kegiatan yang tidak subtansi untuk mencapai tujuan yang dilaksanakan, banyak program absurd dengan demikian visipun menjadi absurd, hingga politisi dianggap hanya menebarkan janji terjadi karena tataran birokrasi tidak cukup pintar menjadikan visi menjadi sebuah realita kemajuan.
Teuku Ahmad Dadek, pratisi pemerintahan, kebencanaan dan kebudayaan, [email protected]
Risman A Rahman, penyusun buku Format Kendali Hulu Hilir milik P2K APBA Pemerintah Aceh yang diinisiasi oleh dr Taqwallah, M. Kes