Miliki 28 Unit Usaha, Seluruh Rumah Warga Berlantai Tiga
Di Tiongkok ada desa superkaya. Namanya Dayingjie. Desa itu memiliki 28 unit bisnis dengan total pendapatan CNY 5,44 miliar atau setara Rp 10,8 triliun. Berikut laporan wartawan Jawa Pos Agus Muttaqin, Agus Dwi Prasetyo, dan Koko Kurniawan dari Dayingjie, Kota Yuxi, Provinsi Yunnan.
Desa Dayingjie berlokasi di bagian selatan Kota Yuxi, tetangga Kota Kunming, ibu kota Provinsi Yunnan. Dari pusat kota berjarak sekitar 100 kilometer dan dapat ditempuh dalam 2,5 jam. Jalan menuju desa berpenduduk 5.478 jiwa itu relatif mulus. Maklum, mayoritas jalan di Tiongkok berupa jalan tol.
Menuju Dayingjie, kami disuguhi pemandangan eksotis. Di kanan-kiri jalan terbentang perbukitan khas Tiongkok daratan. Tidak terlalu tinggi. Ada pula danau yang biru dari kejauhan.
Perjalanan kami juga melewati Jinnian, kota kelahiran Laksamana Cheng Ho, pelaut muslim Tiongkok yang melakukan ekspedisi hingga Pulau Jawa, Indonesia.
Rombongan sebenarnya ingin mampir di kota yang dihuni Suku He yang mayoritas muslim. Namun, karena rombongan yang dibawa Pemprov Yunnan harus tiba tepat waktu, niat itu belum bisa terwujud.
Setelah keluar dari jalan tol Yuxi, tak sampai lima menit, rombongan tiba di Desa Dayingjie. Kami disambut Wakil Kepala Desa Yan Wei dengan ramah. Dia didampingi beberapa pengurus desa lainnya.
Wei menjelaskan berbagai informasi seputar Dayingjie beserta kemajuannya melalui beberapa foto seukuran poster. Misalnya, perubahan rumah-rumah warga dari yang semula kumuh pada 1970-an menjadi bangunan mewah tiga lantai.
Demikian juga unit-unit bisnis yang dikelola desa. Mulai perkebunan tembakau, supplier pabrik rokok, pabrik bahan bangunan (aluminium dan baja), pabrik pengolahan makanan, perhotelan, hingga pusat hiburan keluarga.
“Keuntungan semua unit bisnis itu kami kembalikan untuk kesejahteraan warga. Kalau dihitung, pendapatan per kapita warga sekitar CNY 27 ribu (Rp 54 juta dengan kurs 1 CNY = Rp 2.000, Red) per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan,” jelas Wei.
Total ada 28 unit bisnis dengan karyawan hingga 6.600 orang. Sekitar 2.000 di antara mereka adalah warga desa setempat. “Kami juga menyerap tenaga kerja dari luar,” ujar Wei.
Desa Dayingjie ada jauh sebelum kemerdekaan Tiongkok pada 1949. Hingga 1970-an, seperti umumnya pedesaan di Tiongkok, warga Dayingjie diliputi kemiskinan turun-menurun. Mulai minimnya bahan makanan, buruknya pengelolaan air bersih, tidak layaknya tempat tinggal, hingga kondisi jalan yang rusak.
Reformasi ekonomi di Tiongkok pada 1979, rupanya, ikut mengubah kehidupan warga Desa Dayingjie. Warga yang dibantu pimpinan Partai Komunis Tiongkok lalu mulai mengelola dua unit usaha, yakni pabrik batu bata dan bengkel kendaraan.
Saat itu Dayingjie memiliki kepala desa yang cerdas dalam menerjemahkan poin-poin reformasi ekonomi sesuai dengan ajaran Mao Tse Tung.
“Saya ingat betul, pemimpin harus mampu mewujudkan kekayaan bersama. Pemimpin tak boleh egois. Dia harus bekerja untuk seluruh warga desa,” ungkap Wei.
Bisnis batu bata dan bengkel itu berkembang pesat. Pada 1980–1992 pendapatan mencapai CNY 100 juta (Rp 200 miliar) per tahun dan meningkat drastis pada 1995 menjadi CNY 1 miliar (Rp 2 triliun). Bahkan ada sebagian BUMDes yang sudah mengekspor produk mereka yang berupa bahan bangunan ke Thailand.
Hingga 2016, total pendapatan seluruh BUMDes Dayingjie (28 unit) menembus CNY 5,44 miliar atau Rp 10,8 triliun. Unit-unit bisnis tersebut menyumbang pajak ke negara hingga CNY 160 juta atau Rp 320 miliar setahun.
Dari keuntungan tahunan tersebut, hampir seluruhnya digunakan untuk kesejahteraan warga. Seluruh warga mendapat tunjangan, mulai pendidikan, kesehatan, pensiun (memasuki usia 54 tahun), hingga tunjangan khusus usia lanjut.
Ada delapan level tunjangan pensiun. Yang terendah CNY 276 (Rp 525 ribu) dan tertinggi CNY 696 (Rp 1,39 juta) per bulan. Setiap anak sekolah dan mahasiswa mendapat tunjangan CNY 500 (Rp 1 juta) per bulan.
Tunjangan tahunan warga (selain anak sekolah, mahasiswa, dan pensiunan) senilai CNY 5.500 (Rp 11 juta). Semakin lanjut usia mereka, semakin besar tunjangan yang diperoleh. Warga berusia 80–94 tahun mendapat tunjangan CNY 55 ribu (Rp 110 juta) per tahun.
Di desa itu terdapat 21 orang yang berusia 80–94 tahun. Sementara itu, ada satu orang yang berusia di atas 94 tahun. Dia mendapat tunjangan hari tua CNY 100 ribu atau Rp 200 juta. “Tidak ada subsidi dari pemerintah. Semua biaya murni dari keuntungan unit-unit bisnis yang kami kelola,” jelas Wei.
Yang tak kalah menakjubkan, warga juga mendapat fasilitas rumah mewah. Sejak 1986, rumah-rumah warga yang reyot dan kumuh dirobohkan. Lalu, di lokasi yang sama, dibangun rumah mewah berlantai dua.
Semua biaya pembangunan disubsidi dari keuntungan BUMDes. Besarannya bergantung luas tanah dan tipe rumah. Misalnya, untuk rumah dengan harga pasar CNY 2 juta (Rp 4 miliar), warga bisa membelinya CNY 700 ribu (Rp 1,4 miliar).
Mulai 2010 hingga 2017, rumah-rumah warga tersebut mendapat program renovasi tahap kedua. Desa menganggap rumah berlantai dua itu sudah tidak layak karena anggota keluarga makin bertambah. “Kami akan bangun semua rumah warga menjadi tiga lantai,” ungkap Wei.
Bangunan rumah seluas 180 meter persegi itu disulap menjadi 314 meter persegi. Hingga 31 Desember 2016, total bangunan yang sudah direnovasi mencapai 520 ribu meter persegi untuk 621 kepala keluarga. Warga pemilik rumah tinggal membayar sekian ribu yuan untuk membiayai renovasi tersebut.
Meski mengelola pendapatan triliunan rupiah, pola manajerial BUMDes Dayingjie terbilang sederhana. Pimpinan kolektif menyerahkan kepada warga yang memiliki keahlian sesuai dengan unit-unit bisnis yang dikelola.
Misalnya, bagi warga yang ahli di bidang akuntansi, mereka bisa bekerja sebagai akuntan di BUMDes tersebut. Demikian juga warga yang ahli di bidang kelistrikan, mereka bisa bergabung dengan unit bisnis di bidang kelistrikan.
Yang pasti, pola manajerial itu diawasi pengawas kolektif yang dipilih warga. “Syaratnya, semua manajer harus menjadi anggota partai,” jelas Wei yang juga wakil sekretaris Partai Komunis China di Desa Dayingjie.
Untuk mengantisipasi perilaku korupsi dalam menjalankan unit usaha, pengurus desa membangun monumen yang berisi sumpah agar pimpinan BUMDes berperilaku jujur dan mementingkan kepentingan warga.
Monumen itu didirikan di tengah permukiman warga. Bagi warga yang diketahui melakukan korupsi, potret wajahnya akan dipampang di papan pengumuman di sudut desa. “Dia akan masuk penjara, tanpa ampun,” tegas Wei.
Upaya desa menyejahterakan warganya itu berbuah ratusan penghargaan tingkat nasional. Pada 1995, desa tersebut dinobatkan sebagai basis pelatihan sumber daya manusia desa dari departemen agraria negara.
Rombongan dari Indonesia sempat diajak berkeliling desa superkaya itu. Kami mengunjungi salah satu permukiman warga seluas 25 hektare dari total keseluruhan lahan aset desa yang mencapai 26 km2.
Kami singgah di rumah milik Xin Buaoyun, salah seorang warga. Dia mengaku telah bekerja selama 20 tahun di pabrik rokok milik BUMDes. Dia kini bergaji CNY 5.000 (Rp 10 juta) per bulan. Istrinya juga bekerja di BUMDes bagian penghijauan dengan gaji CNY 2.000 (Rp 4 juta) per bulan.
Pada 1980-an, rumah Xin masih kumuh. “Saya lantas ikut program renovasi. Saya butuh bangunan luas. Saya cukup membayar CNY 700 ribu untuk mendapatkan bangunan yang lebih baik,” jelas Xin yang kini rumahnya termasuk mewah berlantai tiga.
Dia menyatakan sangat bersyukur menjadi warga Dayingjie. Sebab, di luar biaya makan, setiap bulan dirinya hanya membayar tagihan listrik dan air.
“Pajak keluarga saya ditanggung desa. Hidup kami berkecukupan,” ungkap pria 50 tahun dengan dua anak tersebut. Dia berharap kinerja bisnis desanya terus membaik sehingga anak cucunya kelak bisa menikmati hasil kerja kerasnya selama ini. (*)
LOGIN untuk mengomentari.