in

Mengurai Benang Kusut Persoalan Penjara di Indonesia

Kerja Sosial jadi Solusi selain Jeruji Besi

Kasus kerusuhan dan kaburnya tahanan, serta narapidana (napi) yang terus berulang tak hanya menunjukkan salah kelola rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (LP) di Indonesia. Tapi, juga menggambarkan urgensi reformasi sistem hukum pidana.

Pengamat kriminal Leopold Sudaryono menyatakan, penambahan penjara baru yang menjadi program Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) sejatinya bukan solusi atas overkapasitas rutan dan LP.

“Penambahan penjara hanya akan menjadi perlombaan tanpa akhir. Sebab, kenaikan jumlah penghuni tidak sebanding dengan kapasitas penjara,” ujarnya.

Menurut kandidat PhD kriminologi dari Australian National University tersebut, pemerintah harus membenahi hulu permasalahan. Apa itu? “Sistem peradilan pidana,” sebutnya.

Jaksa dan hakim, tutur Leopold, harus bijak dengan menerapkan pidana bersyarat. Terutama untuk kejahatan tanpa korban, serta terpidana tanpa catatan kriminal. 

Misalnya perjudian (judi jalanan) dan penyalahgunaan narkoba. Sebab, dua tindak pidana tersebut penyumbang terbesar jumlah penghuni penjara. “Untuk mereka, cukup diberikan pidana bersyarat dengan periode yang panjang 2–3 tahun dengan ancaman hukuman yang juga berat apabila ternyata mengulangi,” katanya. 

Database Ditjenpas menunjukkan, jumlah penghuni LP dan rutan saat ini mencapai 213.255. Padahal, kapasitasnya hanya 117.958. Nah, dari jumlah itu, 30 persen atau sebanyak 64.134 penghuni merupakan pengguna dan pengedar narkoba. Perinciannya, pengguna sebanyak 24.270 dan pengedar 39.864.

Menurut Leopold, kepolisian juga harus menanggung beban persoalan overkapasitas tersebut. Mereka harus menghentikan sistem penganggaran dan penilaian kinerja yang berdasar kuota minimum perkara pidana yang P-21 (lengkap).

“Penilaian yang seperti itu mengakibatkan di setiap satuan wilayah orientasi penegakan hukumnya adalah jumlah kasus,” lanjutnya.

Penegak hukum juga harus memaksimalkan pengalihan penahanan. Saat ini fenomena di Indonesia adalah hampir 98 persen tersangka ditahan hingga maksimum periode penahanan.

Padahal, seharusnya ada alternatif untuk tidak ditahan. Berdasar data yang dipegang Leopold, jumlah tahanan, baik di kepolisian maupun di rutan, saat ini sekitar 46 persen dari seluruh penghuni.

“Akhirnya, pada saat tiba di pengadilan, terdakwa sudah ditahan antara 3–4 bulan. Periode itu menjadi hukuman minimal mereka seringan apa pun kejahatan mereka,” jelasnya.

Persoalan overkapasitas itu juga perlu campur tangan presiden. Dalam hal ini, presiden perlu mengeluarkan peraturan presiden (perpres) mengenai pidana alternatif atau restorative justice. 

Perpres tersebut bisa memberikan payung hukum bagi jaksa atau hakim untuk menjatuhkan pidana alternatif. Pidana alternatif bisa berupa pidana kerja sosial (saat ini sudah ada di konsep Rancangan Undang-Undang/RUU KUHP) dan pidana bersyarat (pasal 14a KUHP). 

Perpres juga menjelaskan mekanisme yang akuntabel bagi tersangka untuk bisa mendapatkan pengalihan penahanan (penundaan atau penahanan kota/rumah). “Mekanisme itu dikenal dalam KUHP, tapi mekanismenya tidak jelas dan rawan penyimpangan,” kata Leopold.

Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu menjelaskan, banyaknya pengguna dan pecandu narkoba yang dipenjara tentu saja mengakibatkan memburuknya kondisi LP dan rutan.

Bukan hanya potensi kerusuhan, kondisi itu juga membuka peluang terjadinya transaksi narkoba di dalam LP. “Pengguna jelas membutuhkan asupan narkoba karena efek kecanduan,” ujarnya.

LP, kata Erasmus, tidak memprioritaskan persoalan narkoba. Rencana Kemenkum HAM merotasi napi kasus narkoba dipastikan tidak banyak memperbaiki kondisi LP. “Sebab, problem utama terletak pada banyaknya penghuni yang semestinya tidak perlu berada di LP, seperti pengguna dan pecandu narkoba,” jelasnya.

Menurut Erasmus, persoalan overkapasitas kian parah seiring dengan minimnya upaya Kemenkum HAM mengevaluasi kebijakan pidana yang termaktub dalam RUU usul pemerintah. Padahal, evaluasi perlu dilakukan agar tidak banyak UU yang merekomendasikan pidana penjara bagi pelaku pelanggaran.

“Beberapa RUU terakhir masih kuat pemidanaan penjaranya. UU ITE, rancangan KUHP, terorisme, semua berorientasi pemenjaraan,” ujarnya. 

Juru Bicara Ditjenpas Syarpani mengakui, overkapasitas memang sering kali menjadi biang kerusuhan di LP dan rutan selama ini. Namun, pihaknya belum mengambil kebijakan jangka panjang untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Khusus untuk Rutan Pekanbaru, Riau, yang 400 lebih napinya kabur pekan lalu, tindakan yang dilakukan baru sebatas menarik kepala rutannya. “Untuk pemeriksaan terhadap yang bersangkutan,” katanya.

Saat ini Kepala Rutan Pekanbaru Teguh Triatmanto ditarik ke Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkum HAM Riau. Keputusan itu juga berlaku bagi dua petugas rutan yang ditengarai melakukan indikasi pungutan liar (pungli) terhadap para penghuni dan keluarga napi, serta tahanan yang berkunjung. “Semuanya ditarik ke Kanwil (Kemenkum HAM) Riau,” ucapnya.

Hasil pemeriksaan di rutan kelas II-B di Jalan Sialang Bungkuk, Pekanbaru, itu, penyebab kerusuhan yang berujung kaburnya ratusan tahanan dan napi tersebut adalah ulah petugas rutan. Mereka terindikasi melakukan pungli. Modusnya, memaksa para penghuni masuk ruang sempit agar mau membayar. 

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Polri masih berupaya menangkap napi dan tahanan yang kabur. Sebagai antisipasi, dilakukan penjagaan di pelabuhan-pelabuhan agar napi tidak keluar melalui berbagai pelabuhan tikus. “Semua dijaga,” ujarnya.

Terkait teknis penjagaannya, Tito tidak bisa menyebutkan. Yang pasti, Polri mengedepankan hasil. “Kami berupaya menangkap semua narapidana yang kabur,” tegas mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) itu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Mabes Polri Brigjen Rikwanto menambahkan, di antara 442 napi dan tahanan yang kabur, 243 orang telah tertangkap dan menyerahkan diri. “Saat ini tersisa 199 napi dan tahanan yang masih kabur,” sebutnya.

Menurut Rikwanto, penyisiran terhadap semua napi tersebut terus dilakukan. Targetnya, secepatnya semua napi bisa tertangkap. “Kami berupaya maksimal. Polda telah mengerahkan lebih dari 300 personel untuk mencari semua napi dan tahanan itu,” ungkapnya. 

Buat Penjara Khusus Provokator 

Di sisi lai, kerusuhan yang kerap terjadi di LP bakal diatasi dengan pembangunan LP khusus narapidana yang dianggap provokator. Idenya, napi yang berpotensi jadi perusuh itu ditempatkan di LP khusus untuk dibina terlebih dulu. Baru setelah itu dikembalikan ke LP biasa.

Pembangunan LP khusus dengan supermaximum security itu sedang dikerjakan di Nusakambangan terlebih dahulu. Selain itu, pemerintah juga akan membangun LP serupa di Natuna dan Ternate.

Purwo Ardoko yang menjadi arsitek konsultan pembangunan LP khusus itu menuturkan penjara tersebut akan dibuat dengan konsep cluster. Ada cluster isolasi, semi kontak dan kontak.

Semuanya dilengkapi dengan piranti teknologi tinggi untuk mengamati perilaku para tahanan. Kapasitas penjara khusus di Nusakambangan itu sekitar 500 orang. 

“Ada kamera di setiap sudutnya. Dilengkapi dengan biometrik, pendeteksi gerakan atau gestur, hingga panas tubuh. Semuanya lantas dianalisis dan muncul angka-angka yang terukur,” ujar Purwo, kemarin (7/5).

Alumnus ITS itu menuturkan tahanan yang dikategorikan risiko tinggi itu mula-mula akan masuk sel isolasi. Bila telah dianggap cukup mampu untuk beradaptasi mereka akan dipindahkan ke cluster semi kontak. Mereka bisa bercakap-cakap dengan napi lain tapi belum bisa bersosialisasi. “Baru di cluster kontak mereka bisa lebih berbaur dengan napi lainnya,” tambah dia.

Secara umum, napi di LP khusus itu dibina kepribadian dan keterapilannya. Lama tidaknya napi tinggal di LP khusus itu tergantung dengan tingkat pemulihan terpidana. “Ibaratnya LP khusus itu mbahnya sel isolasi,” ujar pria kelahiran Jombang itu.

Purwo mengungkapkan selain membuat penjara khusus ada langkah teknis yang bisa dilakukan untuk meminimaliasi kerusuhan di dalam penjara. Yakni, pemenuhan kebutuhan utama para napi seperti air, ventilasi udara, dan penerangan.

Dalam banyak kasus kerusuhan, kebutuhan dasar itu dikuasai preman di dalam penjara. “Di Pekanbaru dikuasai preman pompa airnya. Itu salah satu pemicunya,” kata Purwo. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Arsenal Bungkam Manchester United 2-0

LeBron James Bawa Cavaliers Tembus Final Wilayah