Bahan Langka, tiap Hari Cuma Sedia Sepuluh Porsi
Pergeseran pola makan ke beras membuat pumpuk dan bubur jawak kian sulit ditemukan di Belitung. Tengah diupayakan pumpuk yang tahan lama biar bisa jadi buah tangan.
Pencarian itu berakhir di sebuah warung kopi. Di papan yang terpajang di muka warung, tertulis dua makanan khas Belitung yang sudah demikian sulit dicari: pumpuk dan bubur jawak. ”Anda beruntung, masih ada dua-duanya (pumpuk dan bubur jawak, red),” kata Ferizal, pemilik warung bernama Warung Kopi 1001 itu.
Pada Rabu malam pekan lalu (8/11) itu, warung di Manggar, Belitung Timur, tersebut memang tengah ramai. Malam Kamis memang tak pernah sepi di pulau penghasil timah tersebut.
Sebab, semasa timah masih berjaya, tiap Rabu para pendulang timah menerima upah atas hasil kerja mereka. Yang lantas dirayakan dengan berbelanja di pasar, bersantap di warung makan, atau nongkrong di kedai kopi. Dan, tradisi itu bertahan sampai sekarang.
Pumpuk hampir mirip dengan kukus rap menggale. Bahan dasarnya juga serupa: tepung rap menggale, biji sorgum, dan kelapa parut. Bedanya, kukus rap menggale dibuat sesuai namanya. Yakni dengan cara dikukus.
Sedangkan jawak atau sorgum adalah bubur yang dibuat dengan cara dipanaskan di dalam air bercampur gula dan garam. Hanya, porsi gula lebih banyak agar manisnya terasa ketika disantap. Selanjutnya cukup diaduk sesekali agar tidak gosong. Lalu dihidangkan dengan tambahan santan.
Dahulu dua makanan itu dikonsumsi sehari-hari oleh warga Belitung dan Bangka. Makanan rakyat kebanyakan. Bahkan, pumpuk bisa dikategorikan makanan pokok.
Tapi, seperti halnya terjadi di banyak daerah lain, pumpuk akhirnya tergusur oleh beras seiring kebijakan pangan selama era Orde Baru. Jadilah mencari warung atau tempat makan yang menjualnya sekarang sangatlah sulit. Warga Belitung yang bisa memasaknya juga semakin jarang.
Menurut Ferizal, itu terjadi lantaran ada pergeseran pola makan ke beras. Lahan untuk menanam singkong jadi kian sedikit. Dampaknya, tepung rap menggale yang berbahan dasar singkong juga semakin sulit didapat.
”Saya ingin mengangkat derajat dua makanan itu. Meski memang tidak mungkin menyingkirkan nasi,” kata Bung Fe—sapaan akrab Ferizal—yang membuka warung bersama tiga kawan pada September lalu itu.
Bung Fe memproses bahan baku pumpuk layaknya orang-orang tua dulu ketika hendak memasak kukus rap menggale. Sebelum diolah menjadi tepung rap menggale, singkong dibersihkan dengan cara direndam di air mengalir selama belasan jam.
Langkah selanjutnya, singkong dibuat menjadi tepung yang oleh masyarakat Belitung disebut tepung rap menggale. Nah, lantaran sulit mendapat pasokan singkong sebagai bahan tepung rap menggale, porsi pumpuk yang dibuat di Warung Kopi 1001 pun jadi terbatas. ”Setiap hari sepuluh piring,” ucap Bung Fe. Karena itulah, koran ini termasuk beruntung masih bisa mencicipi.
Menurut Fe, ide awal menghadirkan pumpuk dan bubur jawak justru berasal dari pengunjung yang datang dari luar Pulau Belitung. Mereka yang sempat mencicipi dan kemudian jatuh cinta dengan makanan tradisional itu. ”Banyak yang tanya. Lalu kami hadirkan,” tuturnya.
Karena itulah, ada pergeseran menu sejak warungnya buka pada September lalu. Semula gangan, makanan tradisional Belitung lainnya, yang diandalkan warung kopi miliknya. Kini berganti pumpuk dan bubur jawak.
Sejak itu pula, PNS di lingkungan Pemkab Belitung Timur itu gencar mempromosikan pumpuk dan bubur jawak. Selain memajang menunya di luar warung, setiap pramusaji dilatih agar bisa menjelaskan panjang lebar jika ada pengunjung yang bertanya. Mulai asal usul, bahan, cara bikin, sampai rasa.
Koran ini sudah membuktikan sendiri wawasan para pramusaji Warung Kopi 1001 itu. Sebelum bergegas ke dapur untuk menyiapkan pesanan, dia bisa menjelaskan dari A sampai Z saat ditanya soal dua makanan tersebut.
Fe berencana terus menghadirkan terobosan terkait pumpuk. Dipoles sehingga lebih modern. ”Saya mau buat kecil-kecil tapi banyak varian rasa,” ujarnya setengah berbisik di tengah alunan musik akustik yang malam itu meramaikan warungnya.
Bukan hanya pumpuk kering dan pumpuk basah, dia juga ingin ada pumpuk keju, cokelat, dan aneka rasa lain. ”Sekarang masih uji coba,” imbuh Bung Fe.
Kendalanya, selain sulit mendapat bahan dasar, dia sulit mencari cetakan pumpuk yang pas. Juga, tidak gampang mendapat takaran bahan yang sesuai agar pumpuk bisa lebih tahan lama. Bisa dibawa bepergian dua atau tiga hari. Kemudian dihangatkan kembali. ”Agar bisa jadi buah tangan para pelancong,” katanya.
Sedangkan untuk bubur jawak, Bung Fe sudah punya solusinya. Selain menyediakan menu siap santap, dia menjual yang belum diolah. ”Jadi, pengunjung bisa membawa pulang dan meracik bubur jawak sesuai selera,” katanya.
Kurang lebih seperempat jam ditunggu, pumpuk basah dan bubur jawak yang dipesan koran ini sudah terhidang di meja. Sebagaimana nasi, pumpuk bisa dinikmati dengan lauk seperti ikan asin. Sedangkan bubur jawak tampil apa adanya. Lebih asyik menjadi makanan penutup setelah pumpuk masuk perut.
Perut pun kenyang terisi kedua makanan yang dibanderol Rp 12 ribu per porsi itu. Malam pun kian ramai dan semakin hangat. Apalagi ditingkahi pemusik yang sedari tadi menemani memainkan Akad dari Payung Teduh. (*)
LOGIN untuk mengomentari.