Bulan Ramadhan sebagai bulan yang selalu dirindukan umat muslim kini telah datang bersama kita. Satu bulan di tahun 1438 H ini, orang-orang yang beriman tak akan menyia-nyiakan kesempatan beribadah.
Siang malam, pagi sore, di perkotaan ataupun pelosok nagari masjid-masjid sudah bersiap menampung jamaah yang biasanya tumpah ruah untuk melaksanakan ibadah. Sebab tak ada jaminan bulan yang istimewa ini ditemui tahun depan.
Pengurus masjid, surau ataupun mushala jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri sebagai penyelenggara rangkaian ibadah jamaah. Mengajak jamaah bergotong royong membersihkan masjid, mengajak para donatur memberikan infak ataupun sumbangan untuk melengkapi sarana prasarana.
Ada yang mengganti ember kalau mushala atau sumurnya masih dengan timba. Ada yang mengganti atau memperbarui cat dinding masjid atau atap, apabila bukan dinding dari keramik dan atap tidak berupa genteng. Ada pula yang mengganti tikar shalat, agar memberikan kenyamanan dan kekhusukan saat beribadah.
Di beberapa masjid atau mushala yang pembangunan fisiknya sudah baik dan beres, pengurus biasanya lebih fokus dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan. Misalnya mempersiapkan ustadz penceramaah di malam tarawih. Atau ustaz memberikan kultum jelang atau sesudah shalat fardhu setiap harinya. Banyak pula pengurus masjid yang mencari imam khusus selama Ramadhan, tentunya yang dianggap memiliki bacaan fasih dan bersih.
Dinamika dan keinginan pengurus masjid beserta jamaah untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah tarwih di malam Ramadhan menunjukkan gairah kegiatan beragama tumbuh dan hidup di tengah tengah masyarakat muslim di Minangkabau.
Sesuatu kondisi yang patut diapresiasi di tengah tantangan dan kondisi keumatan yang terus mengalami degradasi moral. Masyarakat banyak semakin brutal, berbuat tanpa kontrol dan pertimbangan matang.
Lihatlah kondisi terbaru yang terjadi di Jakarta baru-baru ini, ketika sebuah bom panci meledak dan menewaskan aparat kepolisian serta masyarakat sipil. Entah apa motif si pelaku, yang jelas akibat sikapnya yang terkesan galau tersebut telah mencemaskan umat. Meneror dan membuat orang orang takut dan khawatir dalam melaksanakan aktifitas. Sadisnya, bom itu diledakan saat adanya pawai obor, sebuah kegiatan yang sering dilakukan umat memasuki bulan Ramadhan.
Ibadah yang khusu k tentu butuh ketenangan dan kenyamanan, baik di lingkungan dalam rumah ibadah maupun lingkungan sekitar. Betapapun pengurus masjid menyiapkan sarana dan prasarana serta imam dan ustaz yang berkualitas tetapi bila tak didukung suasana lingkungan maka kekhusukan beribadah akan tetap terganggu.
Bagaimana mungkin umat Islam beribadah dengan tenang apabila ada sekitar masjid tempat hiburan yang buka di jadwal tarawih. Bagaimana jamaah akan khusuk kalau penjual petasan menjual benda benda yang menghasilkan letusan itu secara bebas.
Para pihak terkait perlu kerjasamanya dalam menciptakan suasana Ramadhan yang tenang dan menyejukkan, agar umat muslim bisa beribadah dengan baik. Para ulama dan ustaz pun perlu memberikan ceramah-ceramah tentang tauhid maun dalam cara kehidupan bermasyarakat. Saling menghargai hidup bertetangga, saling menghargai orang yang beraneka ragam baik dari sisi agama, suku bangsa, warna kulit maupun perbedaan lainnya.
Kita berharap Ramadhan tak hanya meningkatkan keimanan saja, tetapi juga menjadikan orang orang beriman sebagai perekat dan pemersatu di tengah ancaman disintegrasi bangsa.
Ramadhan dan Lebaran
Ujung dari Ramadhan adalah Lebaran, saat umat muslim merayakan kemenangan. Kemenangan yang sangat berarti tentunya bagi individu individu yang sanggup meningkatkan kualitas diri. Akan beruntung mereka kualitas Ramadhannya lebih baik tahun ini dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dan akan sangat merugi mereka yang tidak mampu meningkatkan kualitas Ramadhanya dari tahun ke tahun, atau hanya pada level melaksanakan puasa awam saja. Mereka dalam kelompok tersebut tentu hanya merasakan dan mendapatkan menahan haus dan lapar di siang hari saja.
Lebaran dirayakan dengan cara yang berbeda. Ada kegembiraan dengan menyediakan berbagai hidangan saat Lebaran; rendang, ketupat lebaran, kue-kue dan segala macamnya. Ada yang memperbarui cat rumah, membeli perabotan baru atau sekadar bersih-bersih peralatan yang sudah ada. Kegembiraan itu semakin terasa oleh anak anak terutama mereka yang baru merasakan tahun tahun pertama berpuasa. Baju atau celana baru serta mainan biasanya menjadi reward bagi anak-anak yang sanggup berpuasa dalam jumlah tertentu.
Lain pula dengan perantau. Bagi kebanyakan perantau pulang kampung saat Lebaran merupakan sebuah keharusan. Ada kepuasan tersendiri yang mereka rasakan ketika menghabiskan masa Lebaran di kampung, bersama orang-orang dekat mereka. Bertemu dengan sanak saudara, bertemu dengan teman-teman lama menjadi daya tarik tersendiri yang memanggil orang Rantau pulang saat Lebaran.
Potensi perantau Minang tak perlu diragukan lagi, karena hampir tersebar di seluruh penjuru negeri. Bahkan banyak pula perantau kita yang berdomisili di luar negeri. Tak hanya Malaysia atau negara tetangga lainnya tetapi menyebar ke banyak negara di luar Asia Tenggara. Perantau itu menekuni bidang kehidupan yang berbeda beda. Tak sedikit yang berwiraswasta seperti berdagang. Tetapi banyak pula yang menjadi abdi negara seperti di kedutaan, atau tenaga pengajar di sekolah-sekolah internasional.
Besarnya potensi rantau hingga saat ini masih sulit disatukan dengan ranah, untuk hal produktif dan berkelanjutan. Padahal bila itu dilakukan banyak hal yang bisa dilakukan. Membangun jaringan bisnis antara perantau dengan kampung sangat memungkin dilakukan, tetapi belum banyak daerah memanfaatkan itu secara produktif.
Masih dalam tahapan ide atau wacana, namun tak kunjung direalisasikan dalam kehidupan nyata. Entah apa sebabnya, padahal jika itu dilakukan maka jaringan bisnis berkekuatan Minang akan mamputampil sejajar dengan jaringan jaringan bisnis lainnya.
Kini kehidupan bernagari jauh lebih mengalami kemajuan. Sumber Daya Manusia atau putra putra terbaik di nagari sebagian sudah mau tinggal di nagari, walaupun jumlahnya tidak seberapa. Tetapi potensi yang terbatas itu bisa menjadi pancingan dan modal untuk bersama sama mengangkat potensi nagari. Dalam semangat otonomi saat ini serta didorong oleh kebijakan pusat mendorong pertumbuhan dan pembangunan dari desa, maka sudah saatnya desa atau nagari berotonomi, mandiri dan makin eksis.
Nagari tak perla risau lagi dengan anggaran karena kucuran dana desa atau nagari atas desa semakin deras. Nagari tak perlu serisau dulu lagi kalau hanya sekedar membangun fisik yang bernilai jutaan rupiah. Sebab setiap nagari sudah punya dana yang memadai hingga miliaran rupiah.
Namun patut disadari kucuran dana yang cukup deras itu tak ada jaminan bertahan terus menerus, sehingga perlu kearifan bagi pemerintahan nagari, perangkat, dan bahkan seluruh masyarakat di nagari untuk efektif menggunakan anggaran yang tersedia saat ini.
Kita melihat dengan dinamika yang ada saat ini maka sepatutnya masing-masing nagari bisa menghimpun potensi Rantau. Momentum Lebaran nanti menjadi momen yang cukup pas untuk menjembatani antara Rantau dan Ranah. Perangkat nagari semestinya bisa memfasilitasi itu, apakah dalam bentuk diskusi anak nagari yang dibungkus dalam halal bihalal. Terpenting adalah bagaimana membuat komitmen antara Rantau dan ranah sehingga terjalin sinergisitas untuk kemajuan masyarakat, baik di nagari maupun yang di Rantau. (*)
LOGIN untuk mengomentari.