Ajaran Islam menurut almarhum Nurcholish Madjid (2007) berada pada posisi tengah, antara dimensi vertikal berwujud ritual personal, dengan dimensi horizontal berwujud amal saleh atau kerja kemanusiaan. Kedua aspek itu mengikat dan merupakan kesatuan tunggal, ibarat mata uang dengan kedua sisi yang tak terpisahkan. Karena itu setiap ibadah dalam Islam, termasuk haji, selalu memiliki korelasi positif dengan amal saleh yang berdimensi kemanusiaan.
Menurut Cak Nur, ibadah haji adalah ”ritual wisata” ke monumen-monumen Allah SWT yang dalam idiom Al Quran disebut sya’air. Lewat kunjungan itu jamaah haji dituntut untuk dapat menarik berbagai pelajaran dari historisitas perjuangan para Rasul dalam menegakkan agama Allah. Meski demikian, pelaksanaan haji memerlukan perjuangan hebat dibanding ibadah lainnya. Lantaran itulah barangkali menurut Cak Nur, khususnya di Indonesia gelar haji kemudian dicantumkan di depan nama pelakunya.
Mabrur dan Indikator Kemanusiaan
Predikat mabrur sebagai goal haji sangat terkait dengan dimensi sosial horizontal kemanusiaan. Dalam Perjalanan Religius Umrah & Haji (2000), Cak Nur memaknai hadis ”sorga sebagai balasan bagi haji mabrur” dengan menelisik makna mabrur secara semantik. Menurutnya, terma mabrur berarti mendapatkan kebaikan atau menjadi baik, sehingga haji mabrur bermakna haji yang mendapatkan kebaikan atau pelakunya menjadi baik, yakni menjadikan orang yang pulang haji memiliki komitmen sosial lebih kuat. Inilah sebetulnya indikator kemabruran haji, yakni pelakunya menjadi manusia lebih baik serta memiliki amal ibadah berjangkauan jauh ke depan sekaligus berdimensi sosial.
Cak Nur sangat menekankan urgensitas integrasi iman dan amal saleh. Harus ada keseimbangan hablum minallah dengan hablum minannas. Dalam konteks itulah mabrur sangat terkait dengan akhlak, budi pekerti luhur, dan amal saleh. Lebih lanjut Cak Nur berargumen bahwa sahnya haji hanya bisa diraih jika wuquf di Arafah. Ketentuan ini mengandung makna mendalam, terkait historisitas pidato perpisahan (Khutbatul Wada’) pada haji terakhir Nabi Muhammad SAW di Arafah. Intinya, pada momen itu Nabi SAW menegaskan aspek kemanusiaan yang menjunjung tinggi HAM, bahwa darah, harta, dan kehormatan itu haram -suci tidak boleh diganggu gugat. Dengan statement ini kata Cak Nur, mulai saat itu tradisi Arab Jahiliyah yang mudah sekali menumpahkan darah diakhiri oleh Nabi SAW in one stroke.
Wuquf di Arafah juga bermakna berkumpulnya segala macam bangsa, warna kulit, dan berbagai beground sosio kultural. Pada momen itu, jamaah haji meresapi nilai-nilai kemanusiaan universal dengan semangat egaliterian bebas rasialisme. Memandang semua manusia sama di hadapan Tuhan ini menurut Cak Nur sulit ditemukan di luar Islam. Pada agama tertentu, menurutnya terdapat klasifikasi manusia berdasar kasta, demikian pula stratifikasi hirarkis dalam beragama. Hal ini jauh sekali bedanya dengan fenomena haji dan umrah yang sangat egaliter dan non rasial.
Kontekstualisasi Dampak Sosial Haji
Indikator haji mabrur dalam aspek sosial, lebih spesifik dijelaskan hadis riwayat Imam Ahmad dan Al-Hakim dari Jabir RA terkait jawaban Rasul SAW atas pertanyaan sahabat tentang “apakah haji mabrur”. Rasul berkata, “memberi makan dan menyebarluaskan salam”. Meski hadis ini lemah menurut Imam Ibnu Hajar (dari berbagai sumber), tetapi patut dicermati apalagi dalam konteks realitas kesejahteraan umat yang kondisinya masih prihatin, di tengah jutaan jemaah yang berhaji setiap tahunnya.
Prediket mabrur yang tidak serta merta otomatis melekat pada jamaah ini, perlu direaktualisasikan khususnya dalam aspek sosial. Kedua karakteristik itu harus diterjemahkan lebih luas dalam terminologi realitas kontekstual. Menurut Masyhadi (2014), memberi makan bermakna kepedulian atau kepekaan sosial, juga menyejahterakan, karena “makan” adalah simbol kesejahteraan. Karena itu sepulang dari Tanah Suci, seorang “haji” harus menunjukkan kepedulian dan kepekaan atas kondisi sosial rill serta membangkitkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tentu sangat tidak tepat, jika orang yang pulang berhaji tidak menunjukkan kepedulian dan kepekaan sosial, apalagi justru malah menunjukkan sikap acuh dan bakhil.
Demikian pula terma ”menebar salam” menurut Masyhadi bukan sekedar mengucapkan salam tetapi bermakna menebar kedamaian dan keselamatan. Eksistensi seorang “haji” diharapkan mampu membawa suasana damai dan keselamatan di tengah lingkungannya. Tentu sangat tidak tepat pula jika seorang haji malah menebar kebenciaan, membuat kegaduhan dan menciptakaan ketidaknyamanan.
Melihat jumlah jamaah haji yang terus meningkat, dalam konteks ini idealnya tingkat kemiskinan semakin menurun, karena mestinya angka haji berbanding lurus dengan pengentasan kemiskinan. Dalam lokus Sumatera Barat hari ini, jamaah haji meningkat hingga 4.268 orang (Padek/27-7). Sementara sisi lain, angka kemiskinan masih relatif tinggi bahkan naik. Data BPS dirilis 17 Januari 2017 menunjukkan persentase penduduk miskin naik 0,05 poin dari Maret 2016 ke September 2016 yaitu dari 7,09 persen menjadi 7,14 persen dengan total jumlah 376.510 jiwa atau naik 4.955 orang. Angka ini meningkat di perkotaan sebanyak 548 jiwa, sedang di perdesaan meningkat 4.407 jiwa. Inilah realitas yang sesungguhnya turut menjadi PR bagi jamaah haji. Kita menunggu kepedulian sosial yang lebih tinggi sebagai wujud haji mabrur, sehingga tidak justru menjadi haji mardud. Semoga, wallahu a’lam. (*)
LOGIN untuk mengomentari.