Jakarta (ANTARA) – Festival musik We The Fest (WTF) 2023 secara resmi mengumumkan line-up fase pertama pada pertengahan Februari lalu untuk gelaran yang dihelat pada 21-23 Juli mendatang. Salah satu penampil yang paling ditunggu adalah unit garage rock asal Manhattan, New York, The Strokes..
Band yang beranggotakan Julian Casablancas (vokal), Albert Hammond Jr. (gitar), Nick Valensi (gitar), Nikolai Fraiture (bass), dan Fabrizio Moretti (drums) itu memang masyhur sebagai salah satu penggawa kebangkitan subgenre indie rock awal milenium 2000.
Tak heran ketika WTF 2023 meluncurkan nama The Strokes yang untuk kali pertama menginjakkan kaki di Indonesia, maka generasi penikmat musik yang besar dan tumbuh pada awal kemunculan kuintet New York itu sontak “bersujud syukur”.
“Kaget ketika tahu mereka akan datang. Seketika langsung panik, cari detail info sampai-sampai kerjaan kantor hari itu ke-skip karena gue sibuk tanya ke teman-teman soal tiket,” kata Maliki, seorang desainer grafis yang mulai menyimak The Strokes sejak tahun 2003.
Maliki yang sudah mengantongi tiket WTF 2023 menjelaskan awal ketertarikannya pada The Strokes. Pada mulanya ia sama sekali tidak mengenal lima sekawan itu dan baru membeli album-album mereka di kemudian hari.
“Gue suka sekali musiknya tanpa pernah tahu apa alasannya. Padahal gue pernah mencoba dengar band lain yang katanya mirip The Strokes, namun tetap tidak bisa mengalahkan rasa suka pada band itu,” katanya.
Sementara itu Dimas Anindityo, seorang penggemar The Strokes garis keras yang telah mendengarkan karya-karya Julian and co. sejak tahun 2000, memiliki impresi awal bahwa band tersebut punya attitude yang keren dan jauh dari kesan berandal.
“Gue suka musik dan gaya mereka. Jelas, saat itu musik mereka tergolong berbeda dengan membawa gaya rock anti-kemapanan, namun tidak berkesan norak semisal menampilkan imej sok-sok narkoba atau mabuk-mabukan,” kata Dimas yang kini bekerja di sektor pemerintahan.
Ketika mengetahui bahwa band kesayangannya akan menjejakkan kaki di Jakarta, Dimas mengaku sangat antusias untuk menonton dan berharap The Strokes akan memainkan katalog yang ada di album pertama. “Excited banget. Ini salah satu bucket list band yang mau gue tonton selama hidup,” akunya.
Memulai petualangan
Cikal bakal The Strokes bermula dari pertemanan vokalis Julian Casablancas dan bassist Nikolai saat berada di sekolah Lycée Français de New York pada usia enam tahun. Julian dan Nikolai baru benar-benar saling mengenal ketika keduanya berada di kelas lima
Julian lalu melanjutkan pendidikannya di Manhattan’s Dwight School dan bertemu dengan gitaris Nick Valensi dan drummer Fabrizio Moretti. Bersama bassist Nikolai, keempatnya rutin berlatih musik sepulang sekolah di rumah sang penggebuk drum.
Belakangan, Julian baru bertemu dengan gitaris Albert Hammond Jr. saat keduanya menjadi anak sekolah rumahan La Rosee di Swiss. Setelah lulus, Albert memutuskan hijrah ke Kota New York dan berniat melanjutkan pendidikan di New York University, tetapi hal itu tinggal niat. Sejarah mencatat Albert memutuskan total terjun di musik bersama The Strokes.
Nama The Strokes sendiri muncul dari mulut sang vokalis yang tercetus pada akhir tahun 1998. Saat masa awal anggota band berkumpul, mereka kerap membuat lelucon pencarian nama band.
“Kami membuat semacam sayembara yang mewajibkan setiap orang mengajukan sebuah nama setiap kali berkumpul. Beberapa nama terdengar amat buruk hingga suatu hari Julian mencetuskan nama The Strokes dan tidak ada satupun dari kami yang menolaknya,” kata bassist Nikolai Fraiture.
The Strokes lantas menjadi salah satu penanda era kembalinya imperium skena garage rock sepanjang Amerika dan Eropa yang sebelumnya pernah masyhur pada pertengahan tahun 60-an. Selain The Strokes, tiga nama lain yang dianggap penyelamat garage rock gelombang pertama adalah band kebanggaan Swedia The Hives, lalu The Vines dari Sydney (Australia), dan terakhir pasutri Jack White dan Meg White di The White Stripes.
Sebagai salah satu pionir gelombang pertama, The Strokes langsung mendobrak pasar lewat single perdana “The Modern Age” tahun 2001. Keberuntungan berpihak pada label RCA milik Sony Music Entertainment yang beroleh tanda tangan Julian dan kawan-kawan. Hal ini menjadi momentum penting menandai langkah terang The Strokes dalam industri hiburan yang kemudian melepas album perdana bertajuk “Is This It”.
Album yang rilis pada 30 Juli 2001 di Australia tersebut diproduseri oleh Gordon Raphael yang nantinya kembali bekerja sama dengan The Strokes untuk album kedua. Materi yang ada di “Is This It” kemudian sukses beroleh multi platinum lewat hits seperti “Last Nite,” “Someday,” dan “Is This It.”
Berbagai pujian dan penghargaan mengiringi kesuksesan album perdana syarikat New York tersebut. Majalah Rolling Stone menempatkan “Is This It” pada posisi kedua setelah album “Kid A”-nya Radiohead pada 2002. Sedangkan media kiblat penggemar musik lainnya NME, mengganjar album tersebut sebagai “Album of the Decade” pada 2009.
Pasca-album “Is This It”, The Strokes melanjutkan petualangan mereka lewat album kedua “Room on Fire” yang dipublikasikan pada 2003. Album ini menghadirkan beberapa hits di antaranya “Reptilia” yang penuh tenaga, “Meet Me in The Bathroom” dengan nuansa ceria, “The End Has No End” mengedepankan lead gitar bersahutan khas band Television, dan “12:51” yang merupakan single pertama di album tersebut.
Berbeda dengan album sebelumnya yang secara umum cenderung light, “Room on Fire” sepertinya sengaja menjadi karya eksperimental The Strokes terutama dari sektor pasca-produksi. Sisi mixing dan mastering di album ini terdengar lebih menonjolkan departemen suara gitar Nick dan Albert ketimbang vokal Julian. Uniknya lagi, versi kaset album ini malah menampilkan nama Albert di atas foto yang seharusnya bertuliskan nama Nick Valensi
Salah satu lagu di album ini, “Meet Me In The Bathroom”, kemudian dipakai sebagai judul film dokumenter terinspirasi dari buku karya Lizzie Goodman. Karya tersebut menggambarkan skena awal munculnya band-band indie kota New York seperti The Strokes,Yeah Yeah Yeahs, Interpol, LCD Soundsystem dan banyak lainnya.
Dokumenter yang dilepas pada Maret 2023 itu mendeskripsikan semangat anak-anak muda yang “gerah” dengan kondisi sosial-politik di sekitar mereka, apalagi ditambah tragedi 11 September yang mengguncangkan dunia.
Album ketiga
Lima sekawan The Strokes lantas merilis album ketiga berjudul “First Impressions of Earth” pada 30 Desember 2005. Meski berbekal sejumlah nomor berkarakter lebih garang dan departemen suara yang lebih matang seperti “You Only Live Once”, “Juicebox”, “Ize of The World”, dan “Red Light”, toh album ini meraih hasil jeblok alias tak sepopuler dua album pendahulunya.
The Strokes lalu secara resmi mengumumkan ‘masuk gua dan menjalani tidur panjang’ usai menggelar tur Amerika. Lewat sang manajer Ryan Gentles, mereka mengirimkan surat elektronik kepada seluruh penggemar yang menyatakan bahwa band sangat membutuhkan waktu untuk rehat.
Isu ketergantungan personel pada obat-obatan dan alkohol juga menjadi dua hal yang menjadi sorotan. Apalagi belakangan gitaris Albert Hammond Jr. pun mengakui bahwa ia telah menjalani rehabilitasi akibat penyalahgunaan obat-obatan. Begitu pula Julian yang mengaku terlalu banyak mengonsumsi alkohol pada proses pembuatan dua album awal.
Di lain sisi, era hiatus menjadikan seluruh personel The Strokes memiliki waktu untuk mengerjakan proyek musik idealis mereka. Pada masa itu, Albert mencoba beralih ke departemen vokal mengerjakan proyek album solo debutnya “Yours to Keep” tahun 2006 bersama musisi tamu Sean Lennon yang tak lain adalah putra mendiang pentolan The Beatles, John Lennon.
Albert juga mengajak Julian Casablancas untuk bermain bass dan mengisi bagian vokal latar di lagu “Scared”. Ia juga sempat memperkuat band rock asal California, Incubus, saat menggelar tur Amerika Utara untuk album “Light Grenades”.
Selain Albert, pada era hiatus itu pula untuk kali pertama Julian merilis debut proyek solo lewat album “Phrazes for the Young” yang sangat kental dengan nuansa synthesizer analog era new wave elektronika ’80-an.
Lagu “Out of The Blue” menjadi salah satu andalan Julian yang kemudian membentuk sendiri band live-nya bernama The Sick Six dengan salah satu personel gitaris The HAIM, Danielle Sari Haim yang bermain perkusi.
Sementara itu pemain bass Nikolai Fraiture mengagas band Nickel Eye yang merilis album “The Time of the Assassins” (2009) dengan garis besar musik yang terinspirasi dari penyanyi folk Neil Young, band alternative surf rock The Pixies dan unit rock asal Inggris, The Kinks.
Sedangkan drummer Fab Moretti sempat bergabung dengan band rock Brazil/Amerika Little Joy pada 2007 dan Megapuss yang merilis debut album “Surfing” tahun 2008. Di dua proyek musikal itu Fab juga mengajak serta rekan gitarisnya di The Strokes, Nick Valensi.
Proyek musik solo baik milik Albert, Julian, Nikolai maupun Fab masih tetap berjalan selama beberapa tahun kemudian. Bahkan pada 2013, gitaris Nick Valensi turut membidani lahirnya band powerpop-heavy metal CRX dan baru merilis album debut “New Skin” tiga tahun berselang.
Kembali berkumpul
Meski punya proyek solo, para personel The Strokes tetap solid dan berupaya membesarkan kembali band. Pada 31 Maret 2009 lewat akun MySpace, band mengumumkan bahwa masa hibernasi mereka telah berakhir. Vokalis Julian Casablancas dan gitaris Nick Valensi mulai menulis material baru untuk album keempat yang kelak diberi nama “Angles”.
Setelah penantian selama enam tahun sejak resmi hibernasi pada 2005, anak-anak New York itu kembali menyapa penggemar lewat single “Under Cover of Darkness” pada 9 Februari 2011 disusul single kedua “Taken for a Fool” yang menjadi penanda kembalinya band ke jalur yang ‘benar’.
Album penuh “Angles” akhirnya hadir untuk publik pada 18 Maret 2011 masih di bawah bendera RCA Records. Uniknya, baru di album inilah semua personel The Strokes ambil bagian dalam penulisan lirik lagu dan tak lagi mengandalkan sosok Julian Casablancas yang selama ini berada di balik sembilan puluh lima persen lagu-lagu The Strokes.
Dari sebanyak sepuluh track, hanya lagu “Two Kind of Happiness” dan “Life is Simple in The Moonlight” yang ditulis Julian seorang diri. Sisanya adalah lagu-lagu yang dibuat oleh beberapa personel The Strokes secara kolaborasi.
“(Album) ini super-kolaboratif dan memiliki sound yang berbeda namun tetap dengan vibe Strokes,” kata Nick Valensi dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone pada 2010.
Sedangkan Julian menanggapi santai banyaknya rumor yang menyebutkan bahwa album tersebut digarap secara terpisah karena masing-masing personel The Strokes masih terlibat pertengkaran.
“Sangat lucu. Kami makan malam bersama di L.A. dan kami membahas rumor tersebut. Kami duduk dan menulis lagu bersama di studio, itulah yang selalu kami lakukan di semua rekaman. Kami merekam semua bagian lagu dengan dua mic dan itu menjadi pondasi,” ungkap Julian belakangan kepada Rolling Stone, November 2014.
Sesi rekaman studio di album ini menjadi amat berkesan bagi para penggemar The Strokes karena sang manajer Ryan Gentles membagikan dokumentasi video yang menggambarkan kedekatan para personel. Salah satu yang paling monumental adalah ketika sang pemain bass Nikolai merusak bagian zoom kamera video dan menjadi acuan lahirnya sebuah lagu iseng berjudul “Nikolai Broke The Zoom.”
Hadirnya album “Angles” kemudian mendapatkan tanggapan positif baik dari penggemar maupun kritikus. Lagu “Undercover of Darkness” yang bernada dasar B Major dengan ketukan 4/4 dan tempo 100bpm, kemudian didapuk sebagai single pertama.
Track ini cukup mengagetkan penggemar karena menghadirkan sektor pembagian suara pada bagian chorus, sesuatu yang jarang sekali dilakukan The Strokes sebelumnya. Selain Julian, saat tampil live biasanya ketiga personel The Strokes –kecuali drummer Fab Moretti, ikut ambil bagian pada sesi chorus lagu tersebut. Sebuah deskripsi sederhana dan paling nyata yang menurut banyak pendengar sukses menggambarkan definisi ‘semua anggota berperan aktif di band’.
Proyek masa depan
Tak ingin melepaskan momentum semangat berkarya, The Strokes kemudian merilis album penuh kelima mereka dua tahun berselang dari “Angles” yang berjudul “Comedown Machine” pada 26 Maret 2013. Proses produksi di album ini masih menerapkan pendekatan yang sama dengan dengan album sebelumnya yaitu semua personel mesti membawa ide dan terlibat dalam penulisan lagu.
Album “Comedown Machine” kemudian beroleh hasil positif dari para kritikus dan bertengger di posisi ke-41 dalam daftar “50 Best Albums of 2013” versi NME. Beberapa track jagoan dari album ini di antaranya “One Way Trigger”, “All The Time”, dan “Partners in Crime”.
Pada masa itu pula vokalis Julian Casablancas kembali bermain ‘di luar’ lingkaran The Strokes dengan membentuk grup rock eksperimental bernama Julian Casablancas+The Voidz yang belakangan berubah menjadi The Voidz. Sepanjang kariernya bersama band ini, Julian menelurkan dua album studio yaitu “Tyranny” (2014) dan “Virtue” (2018).
“Berada di dalam sebuah band adalah cara terbaik untuk merusak pertemanan. Sedangkan tur adalah cara terbaik untuk menghancurkan band,” kata Julian kala itu.
Tak hanya itu, Julian juga kerap berkolaborasi dengan sejumlah musisi. Salah satunya dengan duo musisi elektronik asal Perancis, Daft Punk, menghasilkan single “Instant Crush” yang nangkring di posisi ke-58 dalam daftar “100 Best Songs of 2013” versi Rolling Stone.
Sejauh-jauhnya Julian ‘pergi’ dari The Strokes, ia selalu ingat untuk kembali. Apalagi dinamika kebersamaan di band selama lebih dari dua dekade membuat Julian dan rekannya tidak terlalu memaksakan kehendak dalam berkarya.
Sempat menelurkan mini album bertajuk “Future Present Past” (2016), kuintet asal New York tersebut merasa lebih dewasa dengan segala hal yang telah dilalui bersama. Mereka pun mulai mengincar karya yang lebih maksimal di album selanjutnya.
“Kami mengerjakan album baru dengan perlahan tetapi pasti,” kata Nick Valensi pada Oktober 2016.
Pernyataan itu diperkuat oleh Albert Hammond Jr. yang mengungkapkan bahwa band bekerja sama dengan produser jempolan, Rick Rubin. Rick bukanlah nama sembarangan. Ia turut berperan penting memuluskan karier sejumlah nama di antaranya grup hiphop Beastie Boys, Geto Boys, Run-DMC, dan Public Enemy.
Selain itu, Rick pula yang menjadi otak bagi kesuksesan hits band-band besar, sebut saja Metallica, Slayer, Red Hot Chili Peppers, Weezer, Audioslave, Aerosmith, Linkin Park, Rage Against the Machine, System of a Down, dan banyak lainnya. Ia sama sekali tak memiliki keraguan bekerja sama dengan The Strokes.
Penantian The Strokes selama tujuh tahun dari album terakhir, kekacauan yang terjadi selama proses rekaman seperti kebakaran hutan dekat studio Shangri-La milik Rick Rubin di Malibu California, dan tentunya pandemi COVID-19 yang nyaris “mengubah” tatanan peradaban, menjadi benang merah di album keenam “The New Abnormal” (2020).
Di album ini, Julian dkk. menghadirkan musik dengan lirik kuat berpadu musik yang kaya akan synthesizer. Single “At the Door”, “Bad Decisions”, dan “Brooklyn Bridge to Chorus” menjadi penarik perhatian awal, menyusul kemudian “The Adults Are Talking”.
Deret single tersebut bertengger di banyak tangga musik dunia dan puncaknya adalah ketika album “The New Abnormal” untuk kali pertama masuk nominasi sekaligus memenangi “Best Rock Album” di The 63rd Annual Grammy Awards 2021.
Pencapaian tinggi pada usia karier lebih dari dua dekade tersebut jelas memberikan suntikan semangat bagi The Strokes. Gitaris Albert Hammond Jr. bahkan amat yakin bahwa band tidak akan pernah bubar dan masih akan bertahan hingga dua puluh tahun mendatang.
“Saya benar-benar dapat melihat bahwa kami tidak akan berhenti. Bahkan jika kami tidak ingin melakukan banyak tur, bisa jadi kami hanya akan membuat rekaman aneh atau membuat soundtrack bersama. Itu semacam ‘ya itulah yang harus kami lakukan dan kami tidak akan melakukan hal lain’,” ungkap Albert dalam sebuah wawancara dengan 89.9FM WKCR.
Senada dengan Albert, Julian berpendapat bahwa album keenam “The New Abnormal” yang menampilkan artwork karya seniman kontemporer Jean-Michel Basquiat tersebut telah memberikan warna baru bagi kehidupannya.
“Apa yang bisa kami lakukan di masa mendatang membuat saya lebih bersemangat,” kata Julian kepada Guardian, Maret 2020.
Sebagai persembahan bagi para penggemar garis keras mereka, awal tahun ini The Strokes meluncurkan “The Singles: Volume 01” dalam bentuk digital dan vinyl 7 inci. Box set tersebut menampilkan 10 single terbaik dari tiga album awal kuintet New York tersebut termasuk klip video berkualitas tinggi untuk lagu “Hard to Explain,” “Last Nite,” “Reptilia,” “Juicebox” dan “Heart in a Cage,”.
Kini, The Strokes tengah menjalani serangkaian tur dunia hingga September 2023. Bulan April hingga Mei ini mereka akan menjelajahi Amerika Serikat Bersama super grup Red Hot Chili Peppers, sebelum terbang ke Kuala Lumpur dan Jakarta pada akhir Juli mendatang. Setelah itu, band yang menjadi ikon musik kota New York itu akan menyambangi Fuji Rock Festival Jepang dan menyelesaikan tur Eropa sepanjang Agustus hingga September.
Selain The Strokes, gelaran WTF 2023 menghadirkan deret musisi luar negeri di antaranya grup pelantun “Love It If We Made It” 1975, solois Skotlandia Lewis Capaldi, rapper The Kid Laroi, solois Sabrina Carpenter, dan kolaborasi Anderson .Paak dan Knxwledge di NxWorries. WTF 2023 juga menampilkan sejumlah musisi kebanggaan dalam negeri di antaranya GIGI, Project Pop, Kunto Aji, Mikha Angelo, Yura Yunita, dan Rock N Roll Mafia.
Festival yang akan digelar di Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta tersebut akan berlangsung selama tiga hari dari 21-23 Juli 2023 dengan kisaran harga tiket terusan dari Rp1.400.000 hingga Rp.2.300.000. Pihak penyelenggara juga menawarkan paket tiket berkelompok yang dibanderol dari harga Rp8.000.000 hingga Rp18.500.000.
Akhirnya, WTF 2023 akan menjadi momentum bagi Maliki, Dimas, dan banyak penggemar The Strokes lainnya di Indonesia yang memang telah menantikan kedatangan mereka selama lebih dari dua puluh tahun. Selamat datang di Indonesia, The Strokes. Bagi para penikmat festival musik Indonesia utamanya mereka yang tumbuh dalam skena indie rock 2000-an, selamat menunaikan ‘ibadah’ garage rock.
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2023