Penambahan dana bantuan partai politik yang meningkat hingga sepuluh kali lipat tentu tidak sekadar mengurangi korupsi di tubuh partai politik. Tapi juga, diharapkan dapat meningkatkan kinerja anggota partai politik di lembaga legislatif. Bahkan, masyarakat pun berharap dengan kenaikan uang bantuan partai politik ini bisa mempengaruhi kinerja DPRD yang belum juga membaik di mata publik lokal.
Selama ini ada pemikiran bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah hanya dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintah daerah saja. Padahal, praktik demokrasi lokal melalui pelaksanaan otonomi daerah itu juga ditentukan oleh keseimbangan peran antara pemerintah daerah dan DPRD.
Dilema Legislatif
Sejatinya untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan di daerah, selain pemerintah daerah, juga dibutuhkan DPRD sebagai lembaga legislatif. Namun, dalam praktiknya DPRD tidak sepenuhnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai lembaga legislatif.
Tidak berfungsinya DPRD ini sudah menjadi pengetahuan publik di banyak daerah. Di antara penyebab yang paling disorot adalah ambiguitas kedudukan DPRD sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif dan kedudukannya sebagai bagian dari pemerintahan daerah dalam melaksanakan fungsi eksekutif secara tidak langsung.
Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, walaupun anggota DPRD sama-sama dipilih melalui pemilihan umum bersama dengan anggota DPR, namun kemandirian kedua lembaga ini berbeda. DPRD, menurut UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan lembaga yang menjadi mitra gubernur/kepala daerah dan cenderung menjadi bagian dari pemerintahan daerah.
Artinya, pelaksanaan fungsi pemerintahan di daerah harus mengintegrasikan semua lembaga pemerintahan, termasuk DPRD sebagai lembaga perwakilan politik. Karenanya tidak mengherankan, DPRD harus mengikuti apa yang menjadi kepentingan kementerian dalam negeri sebagai produk “subordinasi” kekuasaan pemerintah pusat di daerah. Akibatnya, secara politik, DPRD tidak memiliki kewenangan yang dapat digunakan sepenuhnya untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah yang notabenenya adalah bagian dari pemerintah pusat.
Jika terjadi kebuntuan politik (political gridlock) dalam pembahasan APBD karena tidak adanya kesepahaman di antara dua lembaga ini, maka gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah atau menteri dalam negeri sebagai “atasan” DPRD ini dapat menyelesaikannya. Tidak jarang gubernur atau menteri dalam negeri “memaksakan” kebijakan yang dibuatnya kepada DPRD. Jelas kewenangan seperti ini berdampak kepada kemandirian DPRD dalam membuat keputusan. Padahal, sebagai lembaga perwakilan politik yang dipilih oleh masyarakat, DPRD tentu lebih mendahulukan pelaksanaan fungsi perwakilan politiknya ketimbang sebagai bagian pemerintahan daerah.
Kedua, rendahnya profesionalisme DPRD dalam melaksanakan fungsinya di banyak tempat adalah bukti adanya masalah kelembagaan demokrasi yang serius di daerah. Ini dapat dilihat dari tidak tercapainya program legislasi daerah sebagai bentuk perwujudan fungsi pembuat aturan, khususnya dalam menggunakan hak inisiatif DPRD.
Jika dievaluasi program legislasi daerah tersebut, kebanyakan yang berhasil diterbitkan tiap tahun itu hanya Peraturan daerah terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kecenderungan ini patut disayangkan mengingat DPRD menjadi wakil dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Apalagi legitimasi politik mereka sebagai anggota DPRD berasal dari masyarakat yang memilihnya. Konsekuensi dari pemberian legitimasi ini tidak lain adalah bagaimana menyuarakan apa yang menjadi aspirasi masyarakat yang mereka wakili.
Akibat lemahnya fungsi DPRD yang dilaksanakan ini, tidak jarang DPRD hanya melaksanakan “fungsi simbolik” saja dalam sistem demokrasi di tingkat lokal. Secara kelembagaan, umumnya DPRD hanya sebagai mitra pasif pemerintah daerah karena keterbatasan yang dimilikinya.
Perdebatan-perdebatan di lembaga legislatif jarang sekali mendapat perhatian untuk dibicarakan, sehingga program yang dibuat hanya realisasi rencana strategis Organisasi Perangkat Daerah (OPD) semata. Lihat saja, tidak sedikit program dan kegiatan OPD yang cenderung mengulang-ulang program dan kegiatan yang sudah ada beberapa tahun sebelumnya, tanpa ada evaluasi terhadap dampak dan manfaat dari kegiatan itu kepada masyarakat.
Sangat sedikit OPD di daerah yang melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatannya kemudian mendapatkan kesimpulan, apakah program dan kegiatan tersebut dihentikan atau dilanjutkan dengan pengayaan kualitas program.
Namun, anggota DPRD pun tidak mampu mengawasi pelaksanaan program dan kegiatan ini dengan baik. Bahkan dapat dikatakan fungsi pengawasan yang mestinya dilaksanakan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, belum dimaksimalkan oleh DPRD. Padahal dengan memperhatikan masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini, tentu banyak peran yang bisa dimainkan oleh DPRD.
Sayangnya, hal ini tidak dapat dilaksanakan karena sumber daya yang dimiliki DPRD sangat terbatas, terutama dalam mengkritisi pelaksanaan program dan kegiatan pemerintahan di daerah. Jadi tidak mengherankan, jika banyak penilaian masyarakat terhadap DPRD saat ini yang belum profesional dalam melaksanakan fungsinya.
Menumbuhan Kepercayaan
Ketiga, sebagai anggota DPRD tentu tidak terlepas dari kepentingan fraksi partai yang diwakilinya. Hal ini menjadi dilema sendiri bagi politisi di DPRD ketika perjuangan mereka terhadap kepentingan konstituen harus bertentangan dengan kepentingan partai politik yang mengusungnya.
Secara politik, prosedur menjadi anggota DPRD harus diusung oleh partai politik. Sering terjadi dalam proses mengusung calon tersebut, partai politik mensyaratkan sesuatu yang harus dipenuhi oleh calon anggota DPRD seperti komitmen, dedikasi dan loyalitas kepada partai politik.
Walaupun dalam praktiknya, legitimasi politik yang sesungguhnya justru berasal dari masyarakat yang memilihnya dalam Pemilu. Persoalan ini, jelas menjadi masalah bagi anggota DPRD. Apalagi dalam sistem pemilu perwakilan berimbang dengan sistem daftar terbuka yang mementingkan suara terbanyak dari masyarakat.
Dilema ini jelas menyebabkan politisi di DPRD menjadi tidak leluasa bertindak karena hambatan secara struktural dari partai politik yang membuat mereka menjadi tidak bebas memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Bahkan dalam konteks politik, pimpinan partai di daerah melalui fraksinya di DPRD dapat menggunakan hak recall kepada anggotanya yang dianggap tidak mematuhi keputusan partai. Melalui mekanisme pergantian antar waktu, anggota DPRD dapat diberhentikan secara sepihak oleh pimpinan partai politik.
Meningkatkan kepercayaan publik terhadap DPRD sangat bergantung pada kinerja yang dihasilkan. DPRD yang berkualitas bagi masyarakat di daerah biasanya dikaitkan dengan fungsi yang dilaksanakannya, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Tentu, agar masyarakat tetap percaya dengan mekanisme perwakilan politik yang dilaksanakan, perlu ada perbaikan mendasar terhadap pelaksanaan fungsi DPRD tersebut.
Namun, jika semua pihak mengabaikan masalah itu, bukan tidak mungkin partisipasi politik masyarakat di daerah akan terus menurun apalagi menjelang pelaksanaan Pemilu Serentak tahun 2019 mendatang. (*)
LOGIN untuk mengomentari.