Judul : Gereja Berdialog Menurut
Ajaran Magisterium
Penulis : Amrosius Wuritimur Pr
Penerbit : Obor
Terbit : 2018
Tebal : xxiv + 468 Halaman
ISBN : 978-979-565-816-0
“Telah ku merenung amat panjang agama-agama. Aku temukan satu akar dari berbagai banyak cabang.” Demikian kurang lebih al-Hallaj menyuarakan mengenai persamaan agama dalam nilai universal. Perkataan al-Hallaj juga diiyakan beberapa pemuka agama lain seperti Gandhi. Agama seperti cabang-cabang pohon yang sama, bunga-bunga dari satu kebun, saudara sekandung dari satu keluarga. Meskipun demikian, dalam perjalanan waktu, penganut agama tidak bisa berdampingan selayaknya keluarga.
Bahkan dalam sejarah, yang paling banyak memakan korban adalah peperangan mengatasnamakan agama. Di Indonesia, kekerasan atas nama agama begitu banyak, seperti pertikaian di Ambon. Bahkan, kasus Ambon dianggap pertikaian paling mengerikan terpicu atas nama agama. Kemudian, kasus Ahmadiyah yang di Bogor dan Lombok, serta Syiah di Madura. Itulah kasus-kasus intoleransi menggunakan jubah agama demi melancarkan kekerasan lainnya.
Pemuka agama harus peran aktif mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Tanpa mereka, agama akan dijadikan senjata demi memuluskan kekuasaan tertentu. Agama Kristen, misalnya, telah memberi konsep hubungan dengan masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda. Gereja universal telah merancang perspektif baru dalam membangun relasi dengan agama-agama lain melalui momentum Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II menjadi salah satu momen penting kebangkitan semangat beragama inklusif dalam membangun persaudaraan universal abad modern. Dekrit penting dalam Konsili Vatikan II yang menandai sikap Gereja terhadap agama-agama lain di dunia adalah Nostrae Aetate. Melalui dekrit Nostra Aetate, Gereja telah menggagas babak baru sejarah pengakuan realitas pluralisme religius dan ingin membuka diri terhadap kebenaran dalam agama-agama non-Kristen.
Dalam konteks Gereja Indonesia, yang paling mendesak kita membangun jembatan kokoh untuk menghubungkan “perbedaan” antaragama menuju persaudaraan nasional yang kokoh. Salah satu gagasan paling relevan melalui dialog antarumat beragama yang bermanfaat bagi pemulihan dan perwujudan hubungan antaragama yang kerapkali dilanda berbagai konflik. Dengan kata lain, Gereja meninjau dengan cermat, sikapnya terhadap agama-agama bukan Kristen dalam tugasnya memupuk kesatuan dan cinta kasih antarmanusia, malah antarbangsa-bangsa.
Gereja memandang, terutama yang sama pada manusia dan membawa kebersamaan hidup. Karena semua bangsa adalah satu masyarakat, mempunya satu asal. Allah menempatkan seluruh manusia di bumi. Semua mempunyai tujuan akhir satu: Allah. Penyelenggaraan-Nya dan bukti kebaikan-Nya mencakup semua orang. Sikap seperti ini harus didorong adanya dialog secara langsung untuk menciptakan sebuah rancangan kehidupan yang rukun dalam naungan agama masing-masing.
Untuk itu, Franz Magnis mengatakan sebenarnya dialog antarumat beragama dimungkinkan terjadi bila masing-masing mengembangkan semangat toleransi dan keterbukaan bersedia untuk bekerja sama. Apabila agama-agama berhasil membuka diri dan menganut wawasan kemanusiaan sesuai dengan hakikat mereka, justru akan mampu menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi. Semangat toleransi yang menghargai eksistensi orang lain dan nilai-nilai di dalamnya, pada hakikatnya tidak datang dari luar, tapi dari dalam setiap individu.
Diresensi Ngarjito Ardi Setyanto, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga