KORPS Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang sudah menapaki usia lebih dari separuh abad (51 tahun) adalah wadah berhimpun alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berkomitmen mewujudkan Insan Cita sebagai prinsip dasar dalam tujuan HMI.
Maknanya, KAHMI merupakan wadah untuk menghimpun kaum intelektual (insan akademis), kreatif (pencipta), yang ikhlas mengabdi bagi agama, nusa, bangsa (pengabdi), keindonesiaan dan keislaman, wadah intelektual muslim (bernafaskan Islam), insan yang bertanggung jawab kebangsaan (mewujudkan negara adil makmur yang diridhai Allah SWT).
Selama 51 tahun berkiprah, KAHMI telah memainkan peran strategis dalam dinamika politik kebangsaan dan politik kenegaraan, sebagai sumber kader bagi penyelenggaraan negara (baik di eksekutif, legislatif, yudikatif), tak terkecuali di kalangan pendidikan tinggi dan eksekutif profesional (Badan Usaha Milik Negara dan swasta), serta kalangan profesi lainnya di berbagai lapangan kehidupan (sosial, ekonomi, dan budaya).
Pada masanya, komunitas alumni HMI yang (secara otomatis) merupakan anggota KAHMI, dikenal sebagai kader tangguh yang egaliter, visioner, dan mumpuni dalam mewujudkan tanggung jawab profesionalnya masing-masing. Apa yang pernah diangankan oleh pahlawan nasional Lafran Pane, pendiri HMI, dan kawan-kawan, nyaris mewujud sempurna dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejumlah alumni, penggerak KAHMI menunjukkan pesona luar biasa sebagai kader profesional bersikap modern dan mampu menjadi energi besar, bahkan hampir di seluruh partai politik. Harmoni keislaman dan keindonesiaan, serta independensi yang ditanamkan sejak masa menjadi anggota HMI, memungkinkan KAHMI menjadi sumberdaya sekaligus penggerak (energizer) perubahan. Khasnya dalam konteks proses perubahan politik dan penyelenggaraan negara.
Belakangan peran itu melemah. Meski tak semuanya kehilangan idelisme untuk berkomitmen pada prinsip dasar Insan Cita, banyak alumni HMI—termasuk pengurus KAHMI yang tak berdaya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan menjadi bagian pelaku kemunkaran itu sendiri. Peran besar sebagai bagian dari pemberi solusi atas berbagai persoalan bangsa, pun surut, karena tak sedikit anggota (dan bahkan pengurus KAHMI) yang menjadi bagian dari masalah bangsa itu sendiri.
Zaman bergerak dan berubah. Di lingkungan KAHMI pun terjadi perubahan degradatif yang menyesakkan nafas. Anggota KAHMI yang semula merupakan energizer dan kader berkualitas prima (dalam konteks leadership) dan ‘petarung tangguh’ di ‘luar kandang,’—terutama di lingkungan partai-partai politik—nyaris kehilangan daya.
Di seluruh partai politik, anggota KAHMI tak memainkan peran besar sebagai pemimpin yang menentukan integritas dan arah partai sebagaimana dikehendaki rakyat. Meski secara kuantitatif berjumlah besar, keberadaan mereka laksana buih diayun gelombang.
Ketika gelombang besar pragmatisme politik dan politik transaksional (lewat money politic yang bebal dan membebalkan) partai politik mendegradasi kepemimpinan dalam pemerintahan dan penyelenggaraan negara, KAHMI dan begitu banyak anggotanya tak berkutik. Terutama, karena mereka tak lagi memainkan peran strategis sebagai penentu, khasnya di lingkungan partai dan lembaga politik lainnya.
Akibatnya, KAHMI laksana paguyuban para legiun aktivis yang lebih sibuk sebagai event organizer dengan agenda rutin: dies natalis, buka puasa bersama, halal bil halal, bakti sosial, diskusi seminar, simposium, lokakarya, dan fund rising. KAHMI abai memainkan peran sebagai institusi yang pantas dan patut melakukan assesment atas kader pemimpin partai, penyelenggara negara dan pemerintahan.
Anggota KAHMI yang berada di lingkungan partai dan lembaga politik lainnya, tidak lagi menjadi ideolog dan penentu arah, sebaliknya justru menjadi kepanjangan tangan partai dan lembaga politik di lingkungan domestik. Secara organisasi, KAHMI pun nyaris kehilangan daya di tengah dinamika kebangsaan dan keumatan, karena lebih banyak memainkan peran sebagai mustami’ (observer) dan penumpang.
Peran strategis KAHMI telah berpindah ke ormas-ormas lain yang banyak bertumbuh sejak era reformasi dan menentukan tune demokrasi. Sebagian besar anggota KAHMI di berbagai partai dan institusi politik, selalu menggelorakan hasrat dan ‘pulang kandang’—karena kalah berkompetisi di ‘luar kandang’—kemudian berpolitik di ajang domestik.
Hal itu nampak setiap kali akan berlangsung Musyawarah Nasional (Munas) KAHMI yang sesungguhnya merupakan ajang evaluasi dan pembaruan komitmen untuk tetap tegak di atas pondasi trilogi: keislaman, keindonesaan dan keilmuan (yang menyatu di dalam independensi). Ironisnya, dalam konteks ‘bertarung di dalam kandang’ sendiri, beberapa di antara mereka—kepanjangan tangan parpol dan invisible hand kekuatan politik di luar, membawa, serta pragmatisme dan transactional politic.
Mampukah Munas X KAHMI di Medan, 17-19 November 2017 dapat menghambat arus bebal politik praktis semacam itu? Mampukah peserta Munas X KAHMI berteguh sikap dan integritas untuk mengembalikan peran strategis KAHMI ke depan?
Jawabnya adalah mampu! Sepanjang seluruh peserta Munas X KAHMI mempunyai integritas yang teguh, jeli dan kritis. Khasnya dalam memilih Presidium KAHMI yang telah diseleksi oleh panitia seleksi yang dibentuk Majelis Nasional KAHMI. Caranya? Tolak politik transaksional, khususnya money politic, apapun bentuknya!
Jika praktik money politic—bahasa pasarnya: jual beli suara—terjadi dalam pemilihan Presidium Majelis Nasional di dalam MUNAS X KAHMI, hal itu sama maknanya dengan penghancuran benteng moral kaum muslim terdidik. Siapapun pelakunya, sedang menghancurkan institusi dan eksistensi KAHMI. Tindakan money politic, mengotori misi mulia pahlawan nasional, pendiri HMI, Prof Drs Lafran Pane.
Kita yakin, jika saja terjadi praktik buruk semacam itu di MUNAS X KAHMI, dan Pak Lafran Pane masih hidup, pasti beliau malu, dan akan melangkah ke Istana Negara, untuk mengembalikan gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan kepadanya. Karena perbuatan money politic, sungguh nyata meluluh lantakkan tujuan pendirian HMI pada 5 Februari 1947.
Kemudian, seluruh peserta MUNAS X KAHMI, wajib menolak siapa saja kandidat Presidium Majelis Nasional KAHMI yang terindikasi akan bermasalah dengan persoalan hukum, terutama korupsi! Lalu, pilih kandidat yang fresh (muda dalam usia, visioner dan tegas cerdas berpolitik) dan masih fresh (humble dan tangkas dalam berpolitik) dalam formasi yang merepresentasikan daya modal insan KAHMI (yang sekaligus mencerminkan gender mainstrem): negarawan—politisi, akademisi, ilmuwan, eksekutif profesional, entrepreneur, agamawan, budayawan, dan jurnalis).
Buang sejak awal siapa saja yang diproyeksi bakal menjadi noktah dan menyandera KAHMI ke depan. Selamat berjuang di Munas X KAHMI. Ikutilah jalan keselamatan! (*)
LOGIN untuk mengomentari.