sumber; liputan6.com |
Muslimoderat.net – Imam Abu Thalib al-Makki (w. 386 H) merupakan seorang ulama besar yang ahli di bidang fiqih, hadits, dan tasawuf. Ia adalah penulis kitab Qût al-Qulûb fî Mu’âmalah al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd. Kitab tersebut merupakan salah satu kitab yang dirujuk Imam al-Ghazali dalam menyusun Ihyâ’ Ulûm al-Dîn. Nasihatnya untuk orang yang berpuasa di ambil dari kitab ini. Berikut uraiannya.
Dalam Qût al-Qulûb, Imam Abu Thalib al-Makki menjelaskan tentang cita-cita ideal dalam puasa yang harus dipahami oleh shâim (orang yang berpuasa). Ia mengatakan:
Terjemah bebas: “Tujuan dari puasa adalah menjauhi dosa-dosa, bukan lapar dan haus (saja), sebagaimana yang disebutkan kepada kita tentang perintah shalat, bahwa tujuannya adalah pencegahan terhadap (perilaku) keji dan mungkar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Barangsiapa yang tidak meninggalkan ujaran kebohongan (kepalsuan) dan mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan (usahanya) dalam meninggalkan makan dan minumnya” (Imam Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb fî Mu’âmalah al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, Kairo: Maktabah Dar al-Turats, 2001, juz 3, h. 1247).
Imam Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa cita-cita ideal dari puasa adalah menjauhi perbuatan dosa, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Penjelasan sederhananya, puasa adalah ibadah yang melibatkan ketahanan fisik, yaitu menjauhi kebutuhan pokok manusia seperti makan dan minum. Banyak orang mencuri karena kelaparan, dan banyak pula yang berseteru karena berebut air. Kedua hal tersebut adalah kebutuhan primer manusia.
Dengan berpuasa manusia dilatih secara fisik. Ia dilatih untuk bertahan dengan menyengajakan lapar dan haus. Artinya, di saat ia berpuasa, manusia mampu menghidupi keistiqamahannya. Ia bisa bertahan dari mulai fajar menyingsing hingga matahari tergelincir. Pelatihan fisik ini sebenarnya mengandung cita-cita ideal (al-murâd), yaitu menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Jika manusia bisa memahami puasa dalam kacamata murâdi (tujuan), seperti yang diungkapkan Imam Abu Thalib al-Makki, ia akan menjadi pribadi yang berkembang. Setiap menyelesaikan puasanya, ia akan menjadi pribadi yang lebih menjaga diri. Ia menjadi lebih sadar bahwa ia selalu diawasi. Rasa takutnya langsung menuju kepada Allah, sehingga ketika ia tidak lagi berpuasa, ia merasa takut untuk berbuat dosa.
Karena itu, dalam pandangan Imam Abu Thalib al-Makki, untuk menuju puasa yang paripurna, menahan lapar dan haus saja tidak cukup, harus dibarengi dengan penjagaan diri dari dosa-dosa lainnya. Salah satu dosa yang hampir semua orang lakukan adalah berkata bohong, meski dalam tingkat yang paling rendah, seperti pura-pura hendak memberi makan ayam. Imam Abu Thalib al-Makki mengutip hadits Nabi yang mengatakan:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ujaran kebohongan (kepalsuan) dan mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan (usahanya) dalam meninggalkan makan dan minumnya.”
Artinya, menahan lapar dan haus tidak berarti apa-apa untuk Allah jika orang yang berpuasa masih berkata bohong dan penuh kepalsuan. Hadits inilah yang menjadi landasan Imam Abu Thalib al-Makki tentang tujuan atau cita-cita ideal puasa, sebagaimana shalat yang tujuannya untuk mencegah perilaku keji dan munkar.
Di paragraf sebelumnya, Imam Abu Thalib mengutip sebuah riwayat tentang banyak orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Ia menulis:
Terjemah bebas: “Dalam sebuah riwayat (disebutkan): ‘Seberapa banyak orang yang berpuasa, (tapi) dari puasanya (hanya) mendapatkan lapar dan haus.’ Dikatakan (maksudnya adalah): ‘Ia adalah orang yang lapar di siang hari dan berbuka dengan (hal) yang haram.’ Dikatakan: ‘Ia adalah orang yang berpuasa dari kehalalan makanan dan berbuka dengan ghibah (memakan) daging manusia.’ Dikatakan: ‘Ia adalah orang yang tidak menundukkan pandangannya dan tidak menjaga lisannya dari perbuatan dosa” (Imam Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb fî Mu’âmalah al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, 2001, juz 3, h. 1247).
Imam Abu Thalib al-Makki menghendaki kita untuk berhati-hati saat berpuasa. Berhati-hati dalam segala hal buruk, tidak hanya dalam hal menahan lapar dan dahaga saja. Jangan sampai puasa kita kehilangan maknanya karena mengumpat, menggunjing, berbohong, dan meliarkan pandangan kita. Andaipun kita sudah terlanjur berkata buruk atau menggunjing orang lain, Imam Abu Thalib al-Makki menyarankan kita untuk mengambil wudhu, sebagaimana yang dilakukan para ulama terdahulu. Ia mengatakan:
“wa qad kânû yatawaddla’ûna min adzal muslim”
(sungguh mereka [para ulama] beruwdlu karena menyakiti muslim [lainnya]).
Terjemah bebas: “Karena berwudhu dari kata yang buruk lebih aku sukai daripada berwudhu dari makanan yang baik” (Imam Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb fî Mu’âmalah al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, 2001, juz 3, h. 1247).
Tentu, berwudhu di sini adalah berwudhu karena merasa bersalah dan menyesal telah menyakiti atau menggunjing orang lain. Pertanyaannya, sudahkah perasaan bersalah itu muncul di hati kita? Wallahu a’lam bish-shawwab
Sumber; Nu Online