Impor Bahan Baku dan Modal Melonjak
Untuk kali pertama dalam tahun ini, neraca perdagangan tercatat defisit. Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin merilis neraca perdagangan Indonesia pada Juli mengalami defisit sebesar USD 270 juta. Namun, secara kumulatif pada rentang Januari hingga Juli 2017, masih ada surplus USD 7,39 miliar.
Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengungkapkan, nilai ekspor mencapai USD 13,62 miliar. Sementara itu, nilai impor lebih besar, yakni USD 13,89 miliar. ”Defisit tipis ini hanya menggambarkan pergerakan bulanan,” kata Kecuk di gedung BPS, Jakarta, kemarin.
Dia menuturkan, defisit tersebut terjadi karena lonjakan impor bahan baku dan barang modal cukup tinggi. Nilai impor bahan baku/penolong pada Juli mencapai USD 10,43 miliar atau naik 40,79 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Di sisi lain, impor barang modal mencapai USD 2,36 miliar juga naik 62,57 persen ketimbang bulan sebelumnya. Nilai impor barang konsumsi justru negatif pada Juli ini, yakni USD 1,09 miliar atau turun 3,15 persen jika dibandingkan dengan Juni 2017.
”Kenaikan impor bahan baku dan bahan penolong atau barang modal luar biasa tinggi pasca-Lebaran,” ujarnya. Impor bahan baku dan modal biasanya menjadi indikator positif bergeraknya sektor manufaktur. ”Ini diharapkan dapat menggerakkan industri sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Barang-barang impor nonmigas yang mengalami kenaikan adalah mesin dan peralatan mekanik. Kemudian, mesin dan peralatan listrik, kendaraan dan bagiannya, plastik dan barang dari plastik, serta perhiasan. Untuk barang impor, yang mengalami penurunan ialah impor bijih, kerak, dan abu logam, gula dan kembang gula, buah-buahan, sayuran, serta kapal laut dan bangunan terapung.
”Kalau bahan baku, barang modal nanti akan tercermin di sisi produksi, bergantung barang modalnya, apakah masuk ke konstruksi atau bahan bakunya masuk ke pengolahan. Tapi, itu akan tercermin di pengeluaran dari investasi,” jelasnya.
Terkait dengan penurunan impor barang konsumsi, Kecuk membantah sinyalemen bahwa hal tersebut merupakan indikator melemahnya daya beli. Dia mengakui, pertumbuhan konsumsi masyarakat pada kuartal kedua yang hanya 4,95 persen tidak sesuai ekspektasi. Namun, dia menekankan adanya pergeseran pola konsumsi dalam masyarakat.
”BPS memilah leisure seperti hotel, restoran, rekreasi, dan akomodasi yang kelihatan banget leisure-nya naik. Orang lebih senang menahan makanannya asal tercukupi, tapi spending makan di luar makin gede,” ucapnya.
Sementara itu, Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi membenarkan bahwa terjadinya defisit merupakan faktor seasonal pascamomen Ramadhan dan Lebaran. Dia menjelaskan, setelah dua momen besar tersebut, industri mulai beroperasi kembali. Karena itu, impor bahan baku dan barang modal pun meningkat drastis. ”Sehingga demand untuk bahan baku dan barang modal naik dibandingkan pada Ramadan,” ujarnya.
Eric menuturkan, naiknya impor bahan baku dan barang modal tersebut bisa menjadi indikasi mulai menggeliatnya ekonomi. Pihaknya pun memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga itu bisa lebih tinggi ketimbang kuartal kedua kemarin. ”Kalau ekonominya tumbuh, impor barang modal akan naik. Kalau dilihat dari situ, ada harapan ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih kuat di triwulan III 2017 karena demand untuk kegiatan produksi dan investasi naik,” jelasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.
