Sungguh berat jadi warga Papua. Selama berpuluh tahun mereka lebih banyak hidup nestapa. Meski tinggal di daerah kaya, namun mereka lebih banyak menderita; tak jarang harus bertaruh nyawa. Bahkan ketika Indonesia tengah bersukacita menyambut ulang tahun kemerdekaan ke-72.
Awal bulan ini, peluru polisi menembus perut warga Deiyai hingga hilang nyawa. Juga belasan orang luka. Banyak orang berduka, hingga mengadu ke depan Istana Negara. Banyak orang Papua bercerita, wilayah mereka lebih banyak dikuasai orang-orang kaya, pengusaha, polisi dan tentara. Aparat lebih banyak membela pengusaha atau penguasa Jakarta, daripada melindungi dan mengayomi warga setempat dari gangguan marabahaya.
Nestapa menjadi warga Papua juga terlihat pada mandeknya kasus pelanggaran hak asasi manusia – mengganjal, sampai jadi isu internasional. Bertahun-tahun lamanya, warga Papua seperti menjadi warga kelas dua di negeri ini. Didiskriminasi, dicurigai, dikriminalisasi, dan dilabeli separatis karena menuntut merdeka.
Selama bertahun-tahun, negara seolah hanya menginginkan kekayaan alam di wilayah ini, atau untuk mempertahankan luas wilayah Indonesia, namun tidak mau memperhatikan warganya. Terutama mereka yang sedang menuntut keadilan atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Janji berbagai presiden, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM Papua memang enak di telinga, namun tak juga ada wujudnya. Bahkan para pelaku pelanggar HAM Papua aman terlindungi, atau malah mendapat kekuasaan.
Ulang tahun republik ini harusnya terasa untuk semua. Tapi masih belum untuk Papua.