in

Nilai Tukar Petani Masih Jauh dari Ideal

Kesejahteraan Masyarakat I Tanaman Pangan Turun karena harga Gabah dan Jagung Turun

» Nilai Tukar Petani itu idealnya di atas 120, seperti pada 2000 hingga 2004.

» Impor pangan yang jor-joran membuat daya tawar petani lemah.

JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (3/8) mengumumkan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Juli 2020 sebesar 100,09 atau naik 0,49 persen dibandingkan bulan sebelum­nya 99,6. Kenaikan itu, karena indeks harga yang diterima petani (It) naik 0,47 persen, sementara indeks harga yang di­bayar petani (Ib) turun 0,2 persen.

Kepala BPS Suhariyanto menjelas­kan kenaikan NTP pada Juli dipengaruhi oleh naiknya NTP di tiga subsektor per­tanian, yaitu sub sektor tanaman per­kebunan rakyat 1,76 persen, sub sektor peternakan 1,68 persen, dan sub sektor perikanan 0,69 persen. NTP dua sub sektor lainnya mengalami penurunan yaitu sub sektor tanaman pangan yang tuun 0,25 persen dari 100,42 menjadi 100,18. Sedangkan hortikultura turun 0,74 persen menjadi 99,77.

“Penurunan sub sektor tanaman pa­ngan karena indeks harga yang diterima dan dibayarkan itu menurun. Salah satu penyebabnya penurunan harga gabah, penurunan harga jagung, dan beberapa komoditas lainnya,” kata Suhariyanto.

Sedangkan sub sektor tanaman hor­tikultura mengalami penurunan tajam karena harga bawang merah, wortel dan nanas turun. NTP adalah perbanding­an It terhadap Ib, yang merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat ke­mampuan atau daya beli petani di perde­saan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

Pakar Pertanian dari Institut Perta­nian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengatakan NTP saat ini masih jauh dari ideal karena belum mencermikan kondisi riil petani. Pendapatan mereka sebenarnya masih minus. “NTP itu ide­alnya di atas 120, seperti pada tahun 2000 hingga 2004. Setelah itu NTP selalu di bawah 120, bahkan sebelum Juli NTP di bawah 100. Kondisi ini menunjukan posisi petani kian kritis,” kata Dwi.

Kondisi tersebut jika tidak segera di­sikapi pemerintah akan memaksa pe­tani mengalih fungsikan atau menjual lahannya untuk usaha lain seperti pe­rumahan. “Pemerintah tidak bisa me­larang, toh itu tanah miliknya. Semakin banyak yang jual lahan, dampaknya le­bih luas, produksi pangan nasional tu­run,” kata Dwi.

Belum Berpihak

Belum idealnya NTP jelas Dwi karena kebijakan pemerintah yang belum ter­lalu berpihak ke petani, salah satunya soal harga pembelian pemerintah (HPP) yang terlampau rendah.

Dalam Peraturan Menteri Perda­gangan Nomor 24 Tahun 2020, besaran HPP yang ditetapkan untuk gabah ke­ring panen (GKP) di tingkat petani sebe­sar 4.200 rupiah per kilo gram (kg) dan tingkat penggilingan sebesar 4.250 ru­piah per kg.

Aturan itu untuk merevisi besaran HPP yang diatur dalam Instruksi Presi­den Nomor 5 Tahun 2015 tentang ten­tang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

Menurut Dwi, HPP tersebut terlalu rendah karena kenaikannya jauh dari laju inflasi, sehingga petani minus. HPP yang ideal untuk saat ini minimal 4.500 rupiah per kg. Dengan HPP yang belum ideal itu, memudahkan tengkulak untuk menekan harga di tingkat petani seperti yang ter­jadi di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.

Angka 4.500 rupiah per kg itu terang Dwi setelah Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) yang diketuainya mensurvei kondisi di lapangan. “Kami sudah berkali-kali teriak untuk naikan HPP tapi tak ada hasil,” katanya.

Selain HPP, impor komoditas pangan yang jor-joran seperti gandum juga me­nyebabkan NTP sulit naik. Tingginya impor pangan membuat posisi tawar produksi petani jatuh.

“Ini imbas dari kebijakan yang pro pasar, dampaknya ke petani,” ujar Dwi.

Disebutkan, ada delapan komoditas yang impornya di atas 300 ribu ton per tahun. Di antaranya gandum, beras, ja­gung, kedelai, gula tebu, ubi kayu, ba­wang putih dan kacang tanah. Melonjak dari 21,9 juta ton pada 2014 menjadi 27,6 juta ton pada 2018, kendati agak me­nurun pada 2019 menjadi 25,3 juta ton.

Berdasarkan data Pusdatin Kemen­tan, impor gandum sebagai pengganti beras melonjak tajam dari 5,14 juta ton pada 2014 menjadi 11,11 juta ton pada 2019. Peningkatannya mencapai 6 juta ton dalam rentang waktu lima tahun.

Padahal menurut Dwi, kuncinya di stok, bukan yang ada di Bulog tetapi riil di lapangan seperti di penggilingan padi dan di petani. “Saat ini stoknya masih cukup, sehingga pilihan impor itu harus dipikir matang. Jangan sampai rugikan petani,” tutup Dwi. n ers/SB/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dorong Konsumsi dan Investasi Demi Hindari Resesi

Presiden Jokowi Pimpin Ratas Perencanaan Transformasi Digital