Baru saja kemarin pagi, Rabu 13 Desember 2017, Andi Mappetahang Fatwa, dalam telewicara dengan sebuah stasiun televisi swasta nasional, menyampaikan “fatwa”.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI asal DKI Jakarta yang pernah menjabat Ketua Badan Kehormatan DPD RI itu dimintai komentarnya seputar kasus dugaan persekusi terhadap ustaz Abdul Somad oleh sejumlah orang termasuk anggota DPD RI Arya Wedakarna saat ustaz itu diundang berceramah di Bali baru-baru ini.
Tokoh yang telah dua periode menjadi anggota DPD RI dan pernah menjabat Wakil Ketua MPR periode 2004-2009 dan Wakil Ketua DPR RI periode 1999-2004 itu antara lain mengatakan Arya diberhentikan sementara dari anggota DPD RI.
Namun pagi ini tersebar berita duka dari Dian Islamiati, putri Fatwa, bahwa ayahnya wafat pada Kamis, 14 Desember 2017, pukul 06.25 WIB pada usia 78 tahun di Rumah Sakit MMC Jakarta.
Selain faktor usia lanjut, Fatwa diketahui menderita penyakit yang telah cukup lama dideritanya sehingga membuat kesehatannya kian menurun dan menemui ajal untuk berpulang ke rahmatullah. Diberhentikan masa hidupnya dari alam dunia yang fana menuju kehidupan kekal di alam baka.
Jasad Fatwa disemayamkan dan dishalatkan di rumah duka di Jalan Condet Pejaten Nomor 11, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, Jakarta, pada Kamis siang.
“Fatwa”
Istilah fatwa biasanya diberikan oleh tokoh ulama yang berisi keputusan atas suatu masalah.
Figur ayah dari lima anak, M Averus, Dian Islamiati, Ikrar Fatahillah, Diah Sakinah, dan Rijalulhaq, serta kakek sejumlah cucu itu, sejak awal dikenal sebagai tokoh aktivis Islam ini juga kerap menyampaikan “fatwa” dalam puluhan buku dan artikel yang pernah ditulisnya.
Sebagian besar isinya adalah sikap, pandangan, dan perjuangannya dalam melawan segala bentuk kezaliman.
Lantaran itulah pada 29 Januari 2008, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menganugerahkan penghargaan “pejuang antikezaliman” kepada sembilan warga asing, termasuk AM Fatwa di Teheran saat mengikuti konferensi “National Congress of Fajrafarinan (Fajr Creator)” ke-2.
Penghargaan dari Pemerintah Iran tersebut disampaikan langsung Ahmadinejad kepada AM Fatwa dan delapan tokoh lain yang berasal dari Afrika Selatan dan Lebanon. Pemerintah Iran menilai Fatwa sebagai tokoh yang berjuang dalam melawan kezaliman di Indonesia.
Di dalam negeri, Fatwa juga pernah mendapat penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Fatwa diterima dengan baik oleh warga Batak dan mendapat gelar “Ginting” di Brastagi, kemudian marga “Harahap” di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.
Selain itu mendapat Piagam Adat dari Sai Batim Raja Adat Kesatuan Paksi Pak Skala Brak dengan gelar “Tumenggung Alip” di Lampung, Lencana Kehormatan Radyolaksono dari Sri Sunan Pakubuwono XII dari Solo dan pemberian nama “Hadinagoro” dan gelar Kanjeng Pangeran pada tahun 2003.
Fatwa merupakan saksi sejarah babak hitam rezim Orde Baru. Rezim yang pernah menjebloskan dia ke penjara.
Hanya karena berbeda pendapat dengan pemerintah dan disangka konseptor Lembaran Putih Petisi 50 untuk kasus Tanjung Priok 1984 ia dituduh melakukan tindakan subversif.
Fatwa saat itu Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50, komunitas para tokoh yang berseberangan dengan Soeharto. Ketua Pokja Petisi 50 Ali Sadikin yang pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta adalah orang dekat dan mantan atasan Fatwa ketika bekerja di Pemda DKI Jakarta.
Majelis Hakim kala itu memvonis tokoh kelahiran Bone, Sulawesi Selatan 12 Februari 1939 dengan hukuman 18 tahun penjara. Selama sembilan tahun pertama sempat mendekam di beberapa penjara-rumah tahanan militer Cimanggis, Guntur, dan Markas Batalion 202 Bekasi, sebelum kemudian mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, LP Cirebon, LP Sukamiskin, LP Paledang, dan kembali ke Cipinang.
Penjara telah memasung kebebasannya. Berbagai perlakuan menyakitkan diterimanya mulai siksaan fisik sampai penghinaan martabat. Dia pernah dijebloskan ke dalam sel yang amat sempit dan berbau kotoran manusia. Ia hanya bisa berdiri dan terpaksa menunaikan shalat seadanya dengan bertayamum menempelkan tangan ke dinding.
Selama dipenjara, dia masih bisa menulis surat yang dikirimkan kepada Presiden Soeharto, berbagai pejabat pemerintahan dan lainnya, yang kemudian dibukukan dengan judul “Menggugat Dari Balik Penjara”.
Fatwa dibebaskan pada 1993, lebih cepat daripada masa hukuman penjaranya. Dia sempat kembali ke pemerintahan saat menjadi Staf Khusus Menteri Agama Tarmizi Taher tahun 1996-1998. Ia terjun ke politik setelah era reformasi 1998 pada pemerintahan Presiden BJ Habibie, dengan bergabung ke Partai Amanat Nasional.
Perjalanan hidup Fatwa memang sangat menarik. Dia pernah menjadi imam bagi para tentara saat bekerja sebagai Wakil Kepala Dinas Rohani Islam KKO-AL (Marinir) Komando Wilayah Timur di Surabaya pada 1967-1970, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik Pemda DKI Jakarta/Staf Khusus untuk masalah-masalah agama dan politik pada 1970-1979, tetapi dia pula yang dizalimi oleh rezim sehingga masuk penjara.
Fatwa menanamkan pendidikan politik dengan memegang teguh etik dan moral. Dia memaafkan penguasa Orde Baru Soeharto yang memenjarakannya bahkan mendoakannya. Fatwa menjenguk dan mencium kening Soeharto saat dirawat di RS Pertamina, lalu melayat dan mengantarkannya ke kuburnya di Mangadeg, Jawa Tengah.
Seiring dengan perubahan zaman, semakin banyak kalangan yang terbuka matanya tentang siapa sosok Fatwa sebenarnya. Saat penganugerahan gelar Doktor (Honoris Causa) dari Universitas Negeri Jakarta pada 16 Juni 2009, Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu memuji keteguhan hati atau konsistensi Fatwa dalam berpolitik.
Jusuf Kalla berpandangan bahwa sosok seperti Fatwa sudah sangat langka bahkan sudah tidak ada lagi. Ia mengandaikan dengan kebanyakan orang sekarang ini kalau digertak saja langsung berubah namaun Fatwa digertak apapun tetap konsisten meskipun penjara dan ancaman lain taruhannya.
Pengalaman Fatwa dapat dijadikan pelajaran bagi siapa saja yang konsisten dan yakin untuk memperbaiki kondisi bangsa ini.
Fatwa dikenal juga sebagai seorang pemikir, pekerja dan tokoh pendidikan. Ia membina Taman Kanak-Kanak melalui Yayasan Pendidikan Fatahillah sejak tahun 1973. Melalui yayasan ini pula Fatwa membina pengajian untuk pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan. Perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya, Nunung Nurjannah, selama Fatwa dipenjara.
Fatwa bersama Ali Sadikin juga merintis berdirinya Pondok Karya Pembangunan di Cububur, sebuah yayasan yang kini telah menaungi pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi dengan murid ribuan orang. Mendirikan Yayasan Ki Bahgus Hadikusumo, menjadi Dewan Pembina Yayasan Asrama Pendidikan Islam Al-Azhar Rawamangun yang didirikan tahun 1952.
Mendapatkan kemuliaan dengan memperoleh kepercayaan sebagai pimpinan lembaga negara dan berbagai gelar kehormatan, setelah belasan tahun dizalimi oleh rezim penguasa, merupakan muara dari catatan perjalanan hidup yang dia abdikan untuk bangsa dan negara.
Kini Fatwa telah berpulang dengan segala fatwa, nasihat, ajaran, dan pandangan serta konsistensinya yang dia tinggalkan untuk bangsa ini.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
(T.B009/T009)