Oleh : Two Efly, Wartawan Ekonomi
Dua bulan ini emak emak marepet repet. Harga Cabai Keriting alias lado “meroket”. Buah kecil yang langsing berwarna merah menyala itu “menyentrum” kantong emak-emak. Daya kejutnya pun luar biasa “tagalenjek” dan “tapakiak” emak-emak dibuatnya.
Lado benar benar Padeh. Padeh raso, padeh harago. Saking padehnya emak emak dibuatnya “ta tilantang”. Di sisi lain dari balik pematang sawah, Petani Cabai senyum penuh kebahagiaan karena bisa dapat labo yang lumayan dari lonjakan harga jual.
Tuhan memang Maha Adil. Takdir dari kehidupan selalu menghadirkan dua sisi. Ada yang beruntung dan ada pula yang kurang/belum beruntung. Meroketnya harga Cabai tentulah membuat petani diuntungkan. Sebaliknya, meroketnya harga Cabai jelas membuat emak-emak menjerit karena “dompetnya” terjepit.
Kita ini memang negeri yang selalu eboh dan suka basiheboh. Jauh sebelumnya harga melambung tinggi seperti saat ini “Sinyal SOS” pasar sudah ada. Kita saja yang tak pernah mau “mikir” dan “berpikir”.
Ingat harga Cabai melangit seperti saat ini tidaklah melambung secara tiba-tiba. Harga itu merangkak naik dengan pasti dari pekan ke pekan. Tak percaya, bacalah Harian Pagi Padang Ekspres Edisi Ahad 19 Juni 2022. Dengan jelas dan gamblang Harian Pagi Padang Ekspres di halaman utamanya menggambarkan secara detail perubahan harga dari pekan ke pekan.
Saya coba bantu merinci kembali. Pada tanggal 4 Mei 2022 harga Cabai di pasar tradisional berkisar Rp 26.000/kg. Dua minggu setelah itu melonjak menjadi Rp 30.000/kg. Dua minggu berikutnya lagi naik menjadi 42.000/kg. Hanya berselang 5 hari, melonjak lagi menjadi Rp 65.000/kg.
Tiga hari berselang naik menjadi Rp 70.000/kg. Dua hari pasca menembus angka Rp 70.000/kg, harga meroket lagi menjadi Rp 90.000/kg. Seminggu setelah itu “Cabai Keriting” bertengger dengan harga Rp 120.000/kg. Inilah harga Cabai tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir.
Kenapa bisa melangit? Ini murni hukum pasar saja. Permintaan konstan atau naik, sementara pasokan bahan baku cendrung berkurang. Bisa jadi penurunan pasokan karena berkurang drastis produksi petani. Baik petani lokal maupun petani di belahan pulau lain. Pemicu kurangnya produksi bermacam-macam. Biarlah itu menjadi domainnya orang yang ahli budidaya pertanian menjawabnya. Satu hal yang pasti, ketika barang langka di pasar maka harga dipastikan naik dan melangit.
Adakah yang menimbun? Tak mungkin. Cabai bukanlah barang yang tahan lama. Cabai jelaslah galeh mudo. Pascadipetik dari rantingnya, Cabai mempunyai deadline masa layuh dan busuk. Karakter barang cepat lapuk dan busuk jelaslah membuat spekulan tak mau mengambil risiko. Rerata pedagang galeh mudo berupaya secepat mungkin melepas galeh mudo nya ke pasar. Makin cepat terjual tentulah lebih baik. Prinsip urang manggaleh barang mudo sederhana saja. Biarlah untung tipis tapi barangnya jalan dan putarannya cepat. Habis terjual sore ini, esok pagi dicari lagi.
Beruntung besarkah petani? Belum tentu. Untung pasti, tapi besar atau tidak belum tentu juga. Kita janganlah amnesia. Tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Tak mungkin harga jual sebuah produk naik kalau tak ada pemicunya. Bukalah jejak digital. Jauh sebelum harga Cabai ini meroket, harga pupuk, obat-obatan dan bahan baku lainnya untuk budidaya pertanian sudah naik terlebih dahulu.
Mari kita bicara data. Oktober 2020 harga pupuk Urea non subsidi berkisar Rp285.000/karung. Memasuki Januari 2022 naik menjadi Rp560.000/karung. Hitung sendirilah berapa kenaikannya. Itu pupuk non subsidi.
Pada pupuk bersubsidi juga terjadi perubahan walaupun tidak se ekstrim harga pupuk non subsidi. Intinya, bahan baku utama bernama pupuk tak bersebut merek dan jenis, sudah naik harganya semenjak jauh jauh hari. Begitu juga dengan obat-obatan untuk budi daya pertanian.
Penulis melihat meributkan harga Cabai saat ini tak ubahnya meratapi “rumah sudah”. Harga Cabai yang melangit di pasar saat ini adalah mata rantai terujung dari sebuah proses produksi budi daya pertanian.
Cabai yang dipanen dan dijual di pasar tidaklah ditanam pagi dan dipanen sore. Cabai itu hadir di pasar setelah melalui proses budi daya yang cukup panjang.
Mulai dari mengolah lahan, menyiapkan bibit, merawat dan memupuk. Menyirami dan menyemprotkan obat-obatan hingga ke memetik buah di ujung diranting dahan. Setidaknya dibutuhkan 4 sampai 5 bulan. Itu untuk tanaman Cabai di dataran tinggi. Sementara untuk dataran rendah berbeda lagi umurnya.
Sudahlah, tak ada gunanya juga kita eboh di ujung jalan. Akan jauh lebih baik kalau kita ribut sebelum buah berwarna merah itu dilabel dengan harga yang melangit seperti saat ini.
Berbenahlah
Sudahlah. Dari pada eboh dan basiheboh tak ada juga gunanya. Lebih baik kita “muhasabah” diri. Kita ini negeri Agraris. Mayoritas masyarakat kita hidup pada sektor pertanian. Janganlah dibiarkan juga anomaly kehidupan itu berlangsung lama. Sawahnya luas tapi kita masih saja impor beras, lautnya luas membentang tapi juga impor garam, budi daya pertanian andalan utama masyakat Indonesia terkhusus Sumatera Barat, tapi harga komoditinya meroket tinggi dan malahan konon kabarnya tertinggi pula di Indonesia.
Berbenahlah. Banyak hal yang harus kita benahi demi melindungi petani dan masyarakat sebagai konsumen dari produk pertanian. Kita membutuhkan langkah dan kebijakan yang terintegrasi demi menjaga keseimbangan nilai tukar petani dan daya beli masyarakat. Jangan biarkan masyarakat dan petani kita tercecer jauh di belakang. Petani butuh penyelamatan dan masyarakat juga membutuhkan perlindungan dari harga yang mencekik.
Lakukanlah evaluasi yang menyeluruh. Kalau ingin memangkas harga, maka benahi terlebih dahulu factor factor menjadi pemicu kenaikan harga. Baik yang dapat dikendalikan ataupun yang tak dapat dikendali. Adapun yang bisa dikendalikan itu adalah biaya produksi seperti pupuk dan obat obatan yang bobotnya bisa mencapai 50 sampai 60 persen dari total biaya produksi. Sementara untuk force mayor (iklim dan cuaca) maka petani ditunjuk ajari tentang musim dan siklus tanam. Intinya lakukanlah langkah langkah yang terintegrasi. Mulai dari sebelum tanam, perawatan tanaman, masa panen hingga ke pasca panen.
Perhatikan Necara Produk Pertanian
Siapa bilang Necara hanya dibutuhkan oleh pemerintah dan badan usaha saja. Produk pertanian juga membutuhkan itu. Necara produk pertanian itu wajib ada. Kenapa? Karena ada peristiwa pasar didalamnya. Ada pemintaan produk pertanian dan ada pula penawaran dari produk pertanian. Sekali lagi, jangan kita melihat pertanian itu hanya sebatas budi daya di tengah sawah.
Antara Permintaan dan Penawaran ini semuanya bisa dihitung. Kalaupun tak akurat akurat amat setidaknya bisa diproyeksikan mendekati akurat. Berapa kebutuhan konsumsi masyarakat seperti Cabai ini per hari, per minggu, per bulan dan pertahunnya. Berapa kebutuhan industry dan kuliner, berapa kebutuhan untuk negeri tetangga. Pada momentum apa saja terjadi lonjakan permintaan dan pada momentum apa pula terjadi lonjakan harga. Penulis haqqul yakin Badan Pusat Statistik bisa menghitung itu dengan baik dan mendekati akurat.
Begitu juga sebaliknya. Ketika permintaan sudah terproyeksi berdasarkan kebutuhan rata rata maka proses produksipun demikian. Proses produksi mustilah mengirigi permintaan. Jangan dibiarkan satu diantara dua sisi pasar ini berjalan bertolak belakang. Sedapat mungkin biarkan dan tetaplah menjaga dua sisi pasar ini berjalan beriringan. Artinya negeri ini membutuhkan Neraca Pertanian dan pemerintah sebagai pelindung masyarakat mustilah bermain diranah itu.
Sudahlah. Mari kita berbenah. Tak ada yang patut dan layak dipersalahkan. Ini adalah kesalahan kita semua. Sekali lagi muhasabah diri dan marilah berbenah. Ingat hidup ini juga ada siklus. Kata emak saya, “ada pergilirannya”. Kalau sebelum ini petani sudah terpaksa menerima kenaikan harga pupuk dan obat obatan maka kini sudah tiba pula gilirannya bagi petani menikmati margin dari kenaikan harga. Bukankah Tuhan itu adil untuk umatnya? (***)