Oleh: Mohamad Ali, Direktur Yayasan Depati
Pengantar
Di era keresidenan Palembang tahun 1879 – 1932 marga di Sumatera Selatan berjumlah 174 Marga,memasuki masa kemerdekaan tahun 1940 Marga berjumlah 175 sampai Indonesia Merdeka, memasuki awal Orde baru tahun 1968 jumlah merga bertambah menjdi 178 pada tahun 1983 sebelum marga dibubarkan marga di sumatera selatan berjumlah 192 marga.
diera pemerintahan marga pengelolaan hutan telah diatur secara baik dan terstruktur, masyarakat didalam pemerintahan marga sangat menghargai hutan dan aturan aturan didalam pemerintahan marga, Masyarakat didalam pemerintahan marga sangat mematuhi aturan aturan yang telah dibuat, aturan yang telah dibuat didalam pemerintahan marga tersebut bukan berarti serta merta masyarakat marga tidak boleh dan memanfaatkan hasil hutan, mereka tetap bisa memanfaatkan dan mengambil hasil hutan marga asalkan sesuai dengan koridor dan rambu rambu yang ada didalam marga.
Didalam mengelola hutan, pemerintahan marga mengelola kekayaan hutan secara arif dan bijaksana hutan hutan diklaster sesuai dengan peruntukannya.
1. Hutan Larangan adalah hutan ramuan yang ditetapkan oleh Marga yang tidak boleh digunakan untuk membuat ladang atau berkebun, namun dapat dimanfaatkan hasil hutan dengan terlebih dahulu meminta izin kepada pesirah, terutama untuk keperluan penduduk dalam hal membuat rumah.
2. Rimba Tua adalah hutan yang padat dengan pohon besar yang berumur diatas 10 tahun
3. Belukar Muda adalah hutan belukar yang pernah ditanami oleh penduduk yang mendapatkan hak kelola pancung alas, tetapi telah di tinggalkan, belukar mudah inilah yang menjadi objek pancung alas didalam pemerintahan marga.
4. Rimba Alas adalah hutan yang penuh dengan pepohonan yang luan dan belum pernah dieksplorasi termasuk didalamnya hutan rawa gambut.
Keempat wilayah ini merupakan lahan-lahan yang dikuasai oleh Pemerintahan Marga didalam pengelolaan, hanya boleh digunakan dengan izin dari seorang kepala Marga (Pasirah). Penguasaan atas tanah ini juga digunakan sebagai cadangan bagi mereka yang tidak mempunyai tanah garapan, dean lahan lahan tersebut tetap dapat dipergunakan untuk kepentingan bersama, dengan catatan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat marga.
Pancung Alas
Pancung alas adalah konsep kemitraan yang diterapkan dalam pemerintahan marga didalam mengelelola dan menjaga hutan agar tidak dikelola secara sembarangan, konsep ini sendiri memgacu pada hak pengolahan Sumber daya alam terutama hutan, pancung alas adalah salah satu bentuk hak kelola masyarakat didalam pemerintahan marga terutama untuk memanfaatkan lahan yang ada disekitar wilayah hutan, hak pengelolaan hutan untuk dijadikan areal perkebunan dan pertanian bagi masyarakat marga dinamakan Pancung Alas, pancung alas ini dijadikan rambu rambu bagi masyarakat marga, selagi lahan yang menjadi objek pancung alas tersebut dimanfaatkan dan dikelola dengan baik maka lahan tersebut masih bisa dikelola, bahkan hak dikelola tersebut bisa diturunkan secara turun temurun ke anak cucu bagi pemegang hak kelola pancung alas, tapi apabila lahan yang dijadikan objek pancung alas tidak dikelola dengan baik apalagi ditelantarkan, walau hanya satu musim tanam secara otomatis hak kelola pancung alas tersebut akan hilang dengan sendirinya dan lahan tersebut dengan sendirinya akan kembali ke Pemerintahan marga selaku penjaga dan yang telah mengeluarkan izin hak kelola lahan dengan nama Pancung Alas.
Untuk mekanisme pengawasan dan Kontrol bagi pemegang izin pancung alas, patroli dan pengontrolan dilakukan secara rutin oleh Kemit, Kemit Sendiri adalah orang yang dipercaya Pesirah sebagai petugas keamanan marga.
Perhutanan Sosial
Perhutanan sosial merupakan program yang saat ini mejadi salah satu fokus utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Perhutanan sosial sendiri memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang ada sekitar hutan.
Program ini dilatar belakangi karena pada saat sekarang pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki 2 agenda besar. Sebanyak dua agenda besar tersebut adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif, dan selaras dengan pengelolaan hutan .
Agenda besar dari KLHK ini menjadi fokus utama dalam program-program yang akan dijalankan nantinya.
Berdasarkan dua agenda tersebut maka pemerintah dalam hal ini KLHK membuat suatu program yang dapat menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelestarian hutan. Program yang diusung ini adalah program Perhutanan Sosial.
Penutup
Program Perhutan sosial yang diusung pemerintah dalam hal ini kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus diapresiasi, karena program ini bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan didalam hutan yang selama merasa takut untuk melakukan kegiatan dan beraktifitas didalam maupun sekitar hutan dengan program ini menjadi masyarakat menjadi aman tanpa ada perassan takut didalam mengelola lahan untuk mereka garap, diSumatera Selatan Sendiri ada baiknya program perhutanan sosial tersebut dikombinasikan dengan sistem pengelolaan hutan dimasa lalu, dalam hal ini pengelolaan hutan yang ada didalam pemerintahan marga.