Kita harus fair dengan memberikan apresiasi kepada juru runding pemerintah yang bisa memaksa Freeport-McMoran melepas 51 persen sahamnya di PT Freeport Indonesia (PT FI) yang menambang emas dan tembaga di tanah Papua.
Kini yang menjadi perhatian adalah kemampuan pemerintah dalam membeli saham PT FI. Betapapun pemerintah pusat merupakan pembeli prioritas di daftar teratas, dapat dipastikan pemerintah tidak akan mampu membeli dengan kocek sendiri.
Dana di APBN amat terbatas. Karena itu, hampir bisa dipastikan divestasi akan jatuh kepada calon pembeli prioritas di bawahnya, yakni BUMN, pemda, dan swasta. Di sini strategi divestasi pemerintah diuji. Jangan sampai 51 persen saham di luar Freeport bakal tercerai-berai. Sebab, jika itu terjadi, Freeport tetap menjadi pemegang saham pengendali meski hanya tinggal memegang 49 persen saham.
Kejadian di Newmont Nusa Tenggara tak boleh terulang. Waktu itu pemda(yang disokong Multicapital, perusahaan milik Aburizal Bakrie) justru bertengkar dengan pemerintah pusat untuk memperebutkan saham Newmont. Kasusnya bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah pusat pun kalah. Yang patut diingat, Freeport bukan sama sekali kalah atau mengalah.
Perusahaan asal Phoenix, Arizona, tersebut sebenarnya tetap mengambil banyak keuntungan. Pembangunan fasilitas smelter dalam lima tahun ke depan sebenarnya merupakan sebuah keringanan. Kemungkinan perpan ja ngan kontrak hingga 2041 juga merupakan ke menangan besar Freeport di meja perundingan.
Freeport sudah turun kelas dari kontrak karya (kedudukan setara dengan negara) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Namun, arah perundingan sudah jelas menggariskan bahwa Freeport tetap tidak akan dirugikan oleh kebijakan fi skal (perpajakan), baik di pusat maupun daerah. Karena itu, tidak ada jalan lain, kecuali mengawal hasil perundingan agar sebesar-besarnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa. (*)
LOGIN untuk mengomentari.