Beberapa waktu lalu, Ketua PWI Sumbar Heranof Firdaus mengumumkan telah menetapkan maskot Hari Pers Nasional yang akan dilaksanakan di Kota Padang pada Februari 2018 mendatang. Maskot ini adalah burung Kuau Raja (Argusianus argus), lebih dipilih dari Ayam Kokok Balenggek yang juga termasuk salah satu fauna khas Sumatera Barat. Memang pilihan ini dapat dimahfumi, karena Kuau Raja mempunyai penampilan yang sangat mempesona dengan keindahan pola pada bulunya jika dibandingkan secara fisik dengan Ayam Kukuk Balenggek yang dikagumi lebih pada kualitas suara kokoknya.
Terlepas dari pesona fisik yang dimiliki oleh burung endemik di Semenanjung Malaya ini (termasuk Sumatera dan Borneo), tersimpan berbagai cerita yang mungkin tidak semuanya indah. Burung yang keberadaannya semakin langka ini seakan mewakili fenomena makin berkurangnya kawasan hutan primer yang ada di dataran rendah Sumatera dan Kalimantan. Pola “mata” yang terdapat pada bulu sayap dan penutup ekor burung ini, yang menjadi asal muasal pemberian nama jenis argus – dewa dengan seribu mata pada mitologi Yunani ini, sebenarnya secara ekologis berfungsi sebagai penyamaran pada kondisi lingkungan di lantai hutan yang gelap. Pola mata ini (diistilahkan sebagai oceli), baru akan berfungsi sebagai bagian dari atraksi pemikat betina ketika musim kawin, yang biasanya berlangsung dari Februari sampai Agustus. Menurut penelitian yang dilakukan dari tahun 2008-2010 di ujung selatan Lampung, diketahui bahwa jantan Kuau Raja lebih memilih tempat yang mempunyai pepohonan besar dengan tutupan kanopi yang lebat sebagai tempat melakukan atraksi memikat betina. Dengan sendirinya, berkurangnya kawasan hutan tua atau hutan primer di Sumatera dan daerah lain yang menjadi sebaran burung eksotik ini mempunyai andil yang besar dalam penurunan populasinya, karena salah satu mata rantai yang vital dalam menyambung kelangsungan regenerasinya terancam putus.
Di luar musim kawin, jantan dan betina Kuau Raja biasanya hidup terpisah dan sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan hewan pemangsa, termasuk manusia. Di samping diburu untuk diperdagangkan sebagai satwa peliharaan di pasar gelap, burung yang dilindungi secara internasional dan nasional ini juga dimakan karena mempunyai daging yang cukup banyak (sampai 10 kg) dan mirip dengan daging ayam. Bahkan pada awal abad ke-19, bulu-bulu sayap dan ekornya yang indah tersebut dijadikan penghias topi dan busana wanita di Eropa, sehingga perburuan burung ini untuk tujuan komersial disinyalir telah dimulai ketika itu. Terkait dengan banyaknya ragam ancaman terhadap keberadaan jenis ini, maka upaya pelestariannya mendesak untuk dilakukan.
Upaya yang paling awal dan mudah dilakukan adalah dengan memperkenalkan jenis ini, terutama sekali kepada generasi muda perkotaan yang sehari-harinya berada sangat jauh dari habitat tempat burung ini berada, sangat diperlukan.
Burung Kuau Raja sebenarnya masih satu bangsa dan satu keluarga dengan Ayam Kokok Balenggek. Keduanya juga mempunyai jantan yang berpenampilan lebih menarik dibandingkan betina, di samping satu jantan biasanya mengawini lebih dari satu betina di setiap musim berbiaknya. Perbedaan antara keduanya selain terletak pada penampilan fisik juga bisa ditelisik dari segi asal muasal. Kuau Raja, walaupun tersebar pada kawasan yang lebih luas yang meliputi beberapa negara di Asia Tenggara, tetapi sampai sejauh ini tetap dianggap sebagai satu jenis yang sama. Sedangkan Ayam Kokok Balenggek sebenarnya bukan jenis murni karena ayam ini dihasilkan dari persilangan antara pejantan ayam hutan merah (Gallus gallus) dengan betina ayam kampung biasa dengan tujuan untuk mendapatkan pejantan anakan yang mempunyai kokok panjang berirama dan bertingkat-tingkat. Sehingga dari sudut pandang biologis, jelas entitas Kuau Raja yang bergalur murni ini lebih kuat untuk digunakan sebagai lambang atau maskot berikut dengan pemaknaan simbolisme yang dapat ditafsirkan dari sosok morfologisnya.
Jauh sebelumnya, Sumbar, melalui perangkat hukum Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1989, telah menjadikan burung ini sebagai identitas provinsi berpasangan dengan pohon Andaleh (Morus macroura) yang menjadi maskot floranya. Masyarakat Minang yang ada di Sumbar sejak dulu sudah mempunyai kesan yang mendalam dengan burung ini, sehingga sering disebut-sebut di dalam berbagai pantun dan cerita tradisional; inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan yang mendorong burung ini dijadikan sebagai lambang provinsi.
Di dalam catatan lama para penjelajah kolonial yang pernah mengelilingi pulau Sumatera, jantan dari burung ini dideskripsikan mengeluarkan suara panggilan menggema “ku-wau” yang kemudian menjadi dasar pemberian nama lokalnya tersebut. Konon katanya ketika itu sangat mudah mendengarkan suara panggilan tersebut dari kejauhan, yang terkadang juga diikuti oleh jawaban bernada sama yang dikeluarkan oleh individu betina dengan volume yang lebih rendah. Panggilan sahut menyahut tadi seakan menggambarkan kondisi alam yang menjadi habitat burung ini ketika itu masih sangat perawan. Berbeda dengan kondisi sekarang, dimana untuk mendapatkan kesempatan mendengar atau melihat burung ini di habitat alaminya sangat sulit, kita harus masuk lebih jauh ke dalam hutan.
Mungkin fenomena ini seharusnya sudah menjadi peringatan bagi kita untuk mulai berhati-hati dalam menjaga hutan tempat habitat burung Kuau Raja ini hidup. Karena sebenarnya bukan hanya satu jenis burung ini saja yang dijaga, melainkan puluhan bahkan ratusan makhluk hidup lainnya, termasuk manusia, juga ikut terselamatkan di dalamnya.
Di habitat alaminya, burung jantan biasanya melakukan panggilan dari tenggerannya di dahan yang rendah. Dalam puncak musim kawinnya, pejantan yang menganut sistem polygyny ini akan mengundang satu sampai beberapa betina sekaligus dalam kontestasi yang secara ilmiah dikenal sebagai lekking ini, melalui suara panggilan khasnya tadi. Pertunjukan sang pejantan ini adalah berupa tarian penuh keanggunan dengan memamerkan ratusan pola mata yang menghiasi bulu sayap serta ekornya dalam gerakan ritmis mengembangkan dan mengibaskan sayap seperti kipas-mengangkat ekor dan melambaikan dua helai bulu ekor tengah yang berbentuk seperti pita-berlari mengelilingi betina-dan-mematuk tanah. Semuanya hanya bertujuan untuk memikat sang betina agar dapat menjadi pasangan yang akan meneruskan garis keturunan mereka. Rangkaian gerakan ini akan terus diulangi sampai berujung pada dua kemungkinan: sang betina menerima si pejantan atau menolaknya dengan langsung meninggalkannya.
Kontestasi ini dilakukan pada sebuah gelanggang atau arena yang telah dibersihkan dari dedaunan dan ranting yang mungkin akan mengganggu prosesi sakral ini.
Berbeda dari kemegahan tampilan fisik pejantannya yang cantik dan lebih panjang (terukur sampai 2 meter dari ujung paruh ke ujung bulu ekor terpanjang) serta keanggunan tariannya, betina Kuau Raja cenderung lebih tidak menonjol. Bulunya tidak segemerlap pejantannya dengan hiasan ocelli yang sederhana dan redup. Tapi di balik tampilan seperti itu, betina inilah yang memutuskan apakah seekor pejantan Kuau Raja berharga untuk menjadi pasangannya. Pun dengan penampilan tersebut tersembunyi rahasia pertahanan hidup alamiah berupa kemampuan untuk menyamar dan menghindar dari hewan pemangsa. Betina pada burung Kuau Raja adalah pihak yang bertanggung jawab penuh selama proses pengeraman telur-telur yang dihasilkan selama musim kawin. Proses pengeraman yang berlangsung selama kurang lebih tiga minggu tersebut adalah masa yang paling rentan bagi betina, sehingga mengurangi risiko gangguan pemangsa dengan tampil tidak mencolok adalah pilihan yang paling aman untuk diambil.
Kembali kepada momentum peringatan Hari Pers Nasional yang menjadikan burung ini sebagai maskotnya. Mungkin inilah saat yang tepat untuk kembali menggaungkan pesan-pesan moral melalui metafora karakter fisik dari satwa unik lambang Provinsi Sumatera Barat ini.
Ratusan pola mata di bulu tubuh Kuau Raja melambangkan betapa insan pers harus mempunyai banyak “mata” (baca: kejelian) dalam mengamati berbagai peristiwa yang terjadi di dunia untuk kemudian menyuarakannya secara lantang kepada masyarakat sesuai dengan prinsip pemberitaan yang jujur dan berimbang. Sama lantangnya dengan suara panggilan “ku-wau” dari burung ini yang dapat memecah kesunyian belantara rimba. Pun insan pers harus mempunyai kemampuan menulis dan berbahasa yang mumpuni sehingga suatu berita dapat disampaikan kepada khalayak dengan cara yang menarik sembari tetap menjunjung nilai kejujuran dan etika; ini sangat diperlukan untuk kembali menarik minat baca, terutama kalangan muda yang katanya semakin merosot di era kecanggihan teknologi ini.
Secara pribadi, penulis pun menilai bahwa para betina Kuau Raja ini merupakan simbolisme kaum perempuan Minangkabau: tidak mencolok dalam penampilan, tetapi mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam masyarakat. (*)
LOGIN untuk mengomentari.