in

Patung Macan, Kaki Disemen, dan yang Tak Terjelaskan

Semua pertanyaan bisa menemukan jawaban. Ada benarnya, walau jawaban itu tak menjelaskan apa-apa. Atau penjelasan yang panjang dan lebar serta luas dan mendalam masih tetap belum bisa memuaskan penanya. Bahkan, awal yang sederhana: apa alasan kejadian pun tak terterangkan.

Misalnya contoh pertama: kabar dan cerita tentang patung macan. Patung harimau loreng yang banyak ditemukan di halaman depan kantor militer itu konon banyak yang dibongkar.

Ada penjelasan karena macan itu kurang galak, ada yang bahkan mengatakan itu sengaja diciptakan oleh penjajah zaman Belanda, makanya sang raja hutan tampil klemer-klemer. Ada yang memuji bahwa patung harimau itu khas seniman kita.

Harimau yang ramah, tidak menakutkan. Harimau yang dipanggil simbah, atau kakek,atau juga nenek, sebagai bagian keluarga sendiri. Penjelasan yang mana pun menyisakan pertanyaan susulan: kenapa sekarang dipersoalkan dan bukan dari dulu. Apa maksudnya dan atau tanda-tanda apa ini semuanya?

Misalnya contoh kedua; kabar dan gambar yang menyebar kaum ibu petani dari Kendeng—dan daerah sekitarnya di Jawa Tengah, yang nekad menyemen kakinya. Ini dilakukan di depan istana. Menyemen kaki. Kaki mereka ini dicor dengan semen yang mengeras. Tindakan ini sebagai protes amat keras atas “tidak ditutupnya” pabrik semen di daerah mereka.

Dengan berbagai argumen soal lingkungan, soal tanah, soal sumber air. Protes melalui jalur hukum sudah dilakukan dan dimenangkan di pengadilan. Tapi, Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan surat keterangan yang memungkinkan pabrik semen dilanjutkan.

Atau seperti itulah. Penjelasan demi penjelasan itu tidak juga menjelaskan bagaimana asal-muasal para petani yang lugu, yang digambarkan santun, menemukan cara memprotes begitu sangar, dan dilakukan dengan tegar. Tak terlihat sikap gentar, dan itu dilakukan di depan Istana Negara.

Kekuatan seperti apa yang membuat mereka ini begitu kukuh dan yakin memperjuangkan tekadnya? Kita bisa menduga-duga, tapi tetap saja tak menjelaskan semua. Seperti ketika macan dipatungkan, dan kemudian dirasa kurang pas. Tata nilai apa yang membuat semua ini terjadi.

Dalam bentuk yang jauh berbeda, yang adalah nonpolitis, nonargumentatif, saya mengalami ketika membenahi atap rumah yang sudah menaungi selama 35 tahun. Kenapa tukang yang memborong saya bilang, mulai akhir bulan saja karena hujannya masih gede. Dan walau ditutup terpal kalau genteng dibuka, air hujan bisa ke mana-mana. Dijawab sederhana: “mudah-mudahan tidak tertimpa air hujan.

“Basa-basi yang menjadi alasan karena tukang sudah datang dari desanya, bahan material sebagian sudah belanja. Pengerjaan dimulai, dan meskipun daerah Jakara Selatan mendung menggantung, kadang hampir rintik, tapi amaaaan. Belakangan saya mendengar salah satu tukang itu berpuasa, hanya minum air putih, dan melakukan ritual tertentu.

Tetap saja belum menjelaskan bagaimana hujan yang sudah dijanjikan dalam prakiraan cuaca, yang sudah dikhawatirkan, bisa “dipindahkan” entah ke mana—bukan ditolak kedatangannya.

Tetap saja tak ada penjelasan yang tuntas, bagaimana mungkin menyingkirkan hujan, dan atau berapa kali sukses atau berapa kali gagal, apakah ini bisa menjadi pekerjaan sampingan yang lain, atau bagaimana mempelajari “ngelmu” itu, dan kenapa hanya dia yang mempelajari dan tukang lain hanya numpang nyaman. Apakah ada uang ekstra untuk kemampuannya itu. Adakah…

Mungkin juga dalam hidup ini buanyak-nyak-nyak pertanyaan yang beranak pinak, yang dimulai dari rasa ingin tahu, sampai ingin menemukan jawaban pasti. Tapi, mungkin juga kita tak perlu memaksakan diri menemukan jawaban rinci, yang malah membuat makin keliru.

Patung macam yang digusur mungkin sekadar kurang sadar memprotes apa yang harus atau tidak harus diprotes, sedangkan kaki yang disemen sebagai tanda protes keras dan kemarahan besar, dan bukan hasil desain besar tentang kuasa atau kekuasaan.

Demikian juga para tukang bangunan yang akrab dengan musim hujan. Mungkin banyak hal lain terjadi dan tak memerlukan penjelasan ketika ada kiriman pisang di teras rumah, atau ada tempat parkir kosong, atau lampu rumah tetap menyala sementara tetangga kegelapan.

Semua pertanyaan itu pada saatnya akan bisa dimengerti. Oleh yang melakukan, oleh yang diperlakukan, dan semua tak membebani.

What do you think?

Written by virgo

Terkadang Bertahan Itu Tak Seindah Dulu, Seperti Pertama Kali Jatuh Cinta

Dana KIP Jangan untuk Beli Pulsa