in

Pegiat Literasi

Berkhidmat menemu-kenali anak-anak muda pengabdi, sungguh nikmat. Meski langka bukan berarti tiada. Tidak percaya? Hmm, coba saja berselancar di internet. Begitu ketik kata positif sebagai keyword, sekelebat terdedah tokoh-tokoh tempo doeloe sebagai inspirator. Hanya secuil dari tokoh-tokoh masa kini. Dunia maya cenderung dijejali sampah dan sumpah serapah.

Adagium bad news is good news ternyata kebablasan di kalangan netizen. Tak heran bila media sosial disesaki kata-kata destruktif ketimbang konstruktif. Para “jurnalis warga” keranjingan memproduksi kata-kata sampah di dunia maya, yang notabene “haram” bagi kalangan jurnalis mainstream. Bermodal gawai pintar, kelas menengah kita aktif menebar berita dan informasi dengan asumsi-asumsi. Bukan data dan fakta. Disinilah berita-berita bohong dan palsu membiak.

Saya menemukan manusia-manusia modern berpikir primitif di dunia online. Lebih mengedepankan siapa aku daripada gagasan. Tidak peduli benar atau salah yang penting berkomentar. Aden hebat. ”Aku berkomentar maka aku ada”. Begitulah jargon kaum netizen yang kian jago mempelesetkan pemikiran filsuf Perancis Rene Descartes, “aku berpikir maka aku ada”.

Kerumitan itu pula membuat nikmat mencari anak-anak muda inspiratif. Pers tidaklah melulu hanya sebagai anjing pengawas yang menggonggong penyelenggara pemerintah dan negara. Ada kalanya bersitungkus lumus memburu insan-insan pembaharu di tengah masyarakat.           

Di antara manusia langka itu, kami menemukan sepuluh putra-putri terbaik Sumbar yang terjaring dalam pemilihan Duta Baca Sumbar 2017. Mencari sosok sang pembelajar sama sulitnya ketika kami (Padang Ekspres Group) menelusuri rekam jejak para penggerak pariwisata dan pemuda penggerak beberapa waktu lalu.   

Mereka adalah anak-anak muda yang berkhidmat mendorong perubahan bagi kemajuan daerah. Tidak mudah menemukan anak-anak muda berdedikasi bagi kemaslahatan umat di tengah kehidupan masyarakat yang pragmatis dan individualistis. Ya, seperti sulitnya para penambang mencari batu-batu mulia di dasar sungai dan perut bumi.

Mereka adalah anak-anak muda yang mengabdi di jalan sunyi, sepi apresiasi, lengang publikasi, tapi berkontribusi nyata bagi daerah dan bangsanya. Setidaknya bagi lingkungan sekitarnya. Bukan seperti kaum elite-elite daerah dan negara yang cerewet dan bermulut besar, bergelimang puja-puji, senang pencitraan dan tepuk tangan, tapi hanya retorika dan minim kerja nyata.

Penyakit elite itu kini mewabah di kelompok kelas menengah yang eksis dan mahir mem-bully di media sosial, tapi tidak cakap bekerja di dunia nyata. Budaya maota yang ingar bingar mengalahkan aktivitas membaca dan menulis yang hening dan sepi.             

Rahim Minangkabau belumlah mandul untuk melahirkan manusia-manusia pengabdi, kalaupun boleh dikatakan defisit teladan di tengah surplus generasi Malin Kundang dewasa ini. Saya, kami, menemukan anak-anak muda berkarakter, ikhlas dan tulus mengabdi bagi kemaslahatan itu. Para pemuda yang tidak hanya memikirkan perut dan kesenangan diri, tapi telah selesai dengan diri sendiri.   

Anak-anak muda idealis yang terkucil dan kesepian di tengah hiruk-pikuk pencitraan kompetisi calon pemimpin di negeri ini. Berkomitmen membuka taman-taman bacaan di lingkungannya untuk mendorong budaya gemar membaca masyarakat Sumbar. Mereka di antaranya telah menulis buku di tengah gaduhnya budaya maota di medsos.        

Adalah sepuluh finalis Duta Baca Sumbar adalah  Yusnitafili Harefa, Sylvia Gusnanda, Azmul Fauzi, Salsabila Syafni Aulia, Salsabila Syafna Aulia, Willa Wahyuni, Arif Rahman Hakim, Nadhira Aisyah Arrin, Nana Fauzana dan Egypt Satria Eka Putra. Mereka manusia-manusia offline yang tidak cuma pandai mengutuk maraknya berita-berita bohong, tapi melawannya dengan mengampanyekan gerakan literasi.

Orang baik dan idealis itu banyak, tapi hanya segelintir yang menjadi sosok pembaharu. Tidak sedikit pula orang-orang baik dan populer dari Ranah Minang, sayangnya, mereka sekadar menangguk kenikmatan dari ketokohannya. Sebatas menjadi raja dan ratu podium, dan selebriti intelektual yang puas dengan kepakarannya, tapi minus aksi nyata menggerakkan perubahan. Gerakan Sumbar membaca yang ditabuh Gubernur Sumbar Jumat (24/2) lalu saat pembukaan Minang Book Fair, jangan sampai bernasib sama dengan gerakan-gerakan lainnya yang hanya lantang di awal, tapi loyo kemudian.

Di sinilah peran pers yang juga bagian dari masyarakat sipil, mengorganisir diri menebar kebaikan lewat aksi-aksi nyata. Bagian dari solusi, bukan masalah. Mencari dan mengangkat manusia-manusia pengabdi ke permukaan sebagai ikhtiar mendorong perubahan lewat kredo good news is good news. 

Forum Nagari Hebat yang baru saja kami (Padek Group) gelar, juga bagian dari ikhtiar menghimpun energi positif membangun Sumbar dari pinggiran. Kita sudah terlalu lama diajari jadi tukang kritik, sehingga lupa saling membesarkan dan menyemangati. 

Saya teringat postingan kata-kata bijak yang masuk ke Whatshapp saya beberapa waktu lalu, yang membuat saya merenung. “Jika hati kita bersih, maka bersih pula pikiran kita. Jika pikiran kita bersih, maka bersih pula perkataan kita. Jika perkataan kita bersih, maka bersih pula perbuatan kita.” (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kompensasi Crane tak Tersendat di Pemerintah

10 Finalis Duta Baca Adu Hebat