JAKARTA – Pelebaran defisit anggaran tahun ini yang melampaui maksimal 3 persen sesuai ketentuan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, akan berlanjut pada 2021 karena pemerintah masih memulihkan dampak sosial ekonomi dari Covid-19. Dalam kebijakan fiskal tahun 2021, defisit diperkirakan berada pada rentang 3,05-4,01 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga rasio utang diproyeksi naik berkisar 33,8-35,88 persen terhadap PDB.
Sementara itu, defisit pada 2020 dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) diproyeksikan 6,34 persen terhadap PDB atau senilai 1.039,2 triliun rupiah. Besaran tersebut meningkat dari asumsi sebelumnya 5,07 persen PDB atau 852,9 triliun rupiah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam webinar di Jakarta, Rabu (17/6), mengatakan APBN 2021 didesain menjadi instrumen yang melindungi masyarakat paling terdampak, memperkuat ekonomi domestik, serta memulihkan kesehatan dan ekonomi nasional.
Kebijakan fiskal pun tidak berdiri sendiri, namun menjadi bagian jangka menengah dengan mereformasi sejumlah sektor, terutama untuk produktivitas dan daya saing agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
Batas Aman
Sebagai konsekuensi dari melebarnya defisit maka volume penarikan pinjaman melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dipastikan meningkat. Namun demikian, pemerintah mengeklaim akan menjamin rasio utang dikelola dalam batas aman dan tidak melebihi 60 persen dari PDB sesuai Undang-Undang Keuangan Negara. “Pembiayaan akan dilakukan secara terukur dengan terus menjaga sumber pembiayaan secara aman, hati-hati, dan sustainable,” kata Febrio.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat per akhir Mei 2020 mencapai 5.258,57 triliun rupiah atau mencapai 32,09 persen terhadap PDB. Utang tersebut terdiri dari penerbitan SBN sebesar 4.442,90 triliun rupiah atau 84,49 persen. SBN dalam denominasi rupiah (domestik) sebesar 3.248,23 triliun rupiah dan valuta asing (valas) sebesar 1.194,67 triliun rupiah.
Selain SBN, utang juga berasal dari pinjaman dengan pangsa 15,51 persen atau sebesar 815,66 triliun rupiah, terdiri dari pinjaman dalam negeri 9,94 triliun rupiah dan pinjaman luar negeri 805,72 triliun rupiah.
Desain anggaran yang ekspansif, tambah Febrio, juga untuk meningkatkan produktivitas karena masih perlu memperbaiki celah infrastruktur dan kemampuan adopsi teknologi. Selain itu, dari sisi daya saing, upaya yang dilakukan dengan membenahi iklim usaha yang dinilai masih kurang kondusif, di antaranya birokrasi, regulasi belum efisien, dan biaya yang tinggi sehingga menghambat daya saing ekspor.
Sulit Dihindari
Ekonom dari Universitas Atmajaya Jakarta, Yohanes Berchman Suhartoko, mengatakan penarikan pinjaman untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 sulit terhindarkan karena sangat memukul dunia usaha yang menjadi motor perekonomian, terutama dari konsumsi, investasi, dan ekspor. “Melemahnya permintaan konsumen, pada akhirnya merambat kepada sisi penawaran yang melemah,” kata Suhartoko.
Hal yang terpenting dalam penarikan pinjaman untuk membiayai defisit tersebut adalah bagaimana dana tersebut tersalur tepat sasaran dan memiliki multiplier effect (efek berganda) terhadap pemulihan ekonomi.
“Sektor-sektor yang mendapat stimulus seperti Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan insentif perpajakan ke dunia usaha diharapkan bisa menjadi katalis pemulihan ekonomi, sehingga biaya yang dibelanjakan untuk krisis ini tidak sia-sia,” kata Suhartoko.
Pemberian insentif saat ini, jelasnya, sudah tepat waktu, agar dunia usaha jangan sampai sangat terpuruk dan tidak dapat bangkit kembali.
Ekonom Indef, Agus Herta, mengatakan, dalam kondisi pendapatan berkontraksi dan ada tuntutan lonjakan pengeluaran melalui belanja maka pemerintah akan menghadapi defisit APBN yang besar. “Dalam kondisi sumber pendapatan akan sangat terbatas, terutama dari pajak, pemerintah harus memanfaatkan penarikan utang luar negeri secara efektif agar membantu pemulihan ekonomi,” kata Agus. n ers/uyo/E-9