JAKARTA – Pemerintah diimbau tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam mengelola keuangan negara, terutama dalam menghadapi potensi defisit anggaran tahun 2020 yang membengkak akibat tambahan biaya penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya. Pengelolaan yang hati-hati itu terutama berkaitan dengan strategi untuk menutupi defisit tersebut melalui penarikan pinjaman.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Diponegoro, Semarang, Esther Sri Astuti, yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (16/6), mengatakan secara teoritis untuk menutup defisit bisa dilakukan dengan menarik utang dalam negeri, utang luar negeri, dan meminta bank sentral mencetak uang (printing money).
Dari tiga pilihan tersebut, jelas Esther, utang luar negeri dinilai risikonya lebih minimal, namun bukan berarti aman. Risiko dari penarikan utang luar negeri itu antara lain risiko nilai tukar (kurs) jika rupiah terdepresiasi karena cicilan dan bunga utang akan meningkat. “Apalagi kalau profil utang luar negeri didominasi hot money atau dana jangka pendek, sangat rentan terhadap tingkat suku bunga. Jika turun sedikit, maka dana kabur atau capital flight,” kata Esther.
Manajer Portofolio Pasar Negara Berkembang dari Fidelity International, Paul Greer, menjelaskan krisis saat ini akibat pandemi Covid-19 telah meningkatkan pengeluaran negara. Untuk membiayai peningkatan belanja tersebut, pemerintah mengatasinya dengan menerbitkan surat utang yang berpotensi menciptakan serangkaian kerentanan baru di masa yang akan datang.
Berdasarkan penelitian terhadap 41 negara berkembang yang berisiko, JPMorgan menilai tingkat default (gagal bayar) mencapai 16 persen selama 18 bulan ke depan. Hal itu karena dari sepertiga negara yang dianalisis, tingkat utang mereka terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 80 persen, bahkan lebih tinggi. Lembaga keuangan tersebut juga memperkirakan pada akhir 2021, tingkat default negara-negara tersebut meningkat menjadi 34 persen.
“Seluruh gagasan tentang beban utang yang besar tidak akan hilang hari ini atau besok,” kata Greer. Namun demikian, ia mengakui prospek utang jangka pendek untuk pasar negara berkembang masih positif, karena sebagian didukung oleh bank sentral global yang sekarang membeli portofolio aset utang itu.
Penerimaan Turun
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, saat memaparkan APBN KiTa mengatakan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari Januari hingga Mei 2020 telah mencapai 179,6 triliun rupiah atau 1,1 persen terhadap PDB. Defisit tersebut sudah mencapai 21,1 persen dari pagu defisit APBN berdasarkan Perppu 54/2020 yang sebesar 852,9 triliun rupiah atau 5,07 persen terhadap PDB. “Terjadi kenaikan defisit 42,8 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya karena kelihatan seluruh penerimaan mengalami kontraksi,” kata Menkeu.
Pemerintah sendiri telah memutuskan akan memperlebar defisit anggaran menjadi 6,34 persen terhadap PDB atau sebesar 1.039,2 triliun rupiah pada Rancangan APBN-Perubahan 2020 dari asumsi sebelumnya sebesar 5,07 persen PDB atau 852,9 triliun rupiah.
Menkeu menjelaskan, hingga akhir Mei 2020, realisasi pendapatan negara baru mencapai 664,3 triliun rupiah atau 37,7 persen dari target sebesar 1.760,9 triliun rupiah. Realisasi pendapatan itu terkontraksi hingga 9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 730,1 triliun rupiah atau mencapai 37,3 persen dari target APBN 2019 1.958,6 triliun rupiah.
Kontraksi pendapatan negara karena realisasi penerimaan perpajakan hanya mampu mencapai 526,2 triliun rupiah atau 36 persen dari target dan turun 7,9 persen dibandingkan Mei 2019. Hal itu disebabkan pendapatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengalami tekanan hingga 10,8 persen menjadi 444,6 triliun rupiah pada Mei tahun ini dibandingkan tahun lalu 498,5 triliun rupiah.
Kontraksi juga terjadi pada pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 13,6 persen dibanding tahun lalu 136,9 triliun rupiah dan baru 46 persen dari target sebesar 297,8 triliun rupiah.
Sementara itu, untuk belanja negara telah terealisasi 843,9 triliun rupiah atau 32,3 persen dari target perubahan APBN sebesar 2.613,8 triliun rupiah hingga akhir Mei 2020. Realisasi belanja itu menurun 1,4 persen dibandingkan periode sama pada 2019 yaitu mencapai 855,9 triliun rupiah yang tumbuh 9,8 persen dari realisasi April 2018 dan 37,1 persen dari pagu APBN. uyo/ers/E-9