in

Pemerintah Ancam Bikin Perppu

Pembahasan RUU Pemilu Terancam Antiklimaks

Pembahasan RUU Pemilu yang sudah berjalan hampir tiga masa sidang terancam berakhir antiklimaks. Pasalnya, pemerintah mengancam menarik pembahasan yang saat ini berlangsung di panitia khusus (pansus) DPR.

Penyebabnya, permintaan pemerintah untuk mempertahankan presidential threshold (ambang batas perolehan suara parpol untuk pencalonan presiden) belum mendapat kepastian.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan, selama pembahasan, pemerintah banyak mengalah pada isu-isu tertentu. Misalnya, penambahan kursi DPR hingga pemberian dana pelatihan saksi partai. Namun, hal berbeda justru dilakukan fraksi-fraksi DPR.

“Maka, saya juga mohon teman-teman fraksi di pansus ya ngalah juga dong,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, kemarin (15/6). Jika terus seperti itu, dia memastikan tidak akan pernah ada titik temu.

Pihaknya pun mulai mempertimbangkan opsi untuk menarik RUU tersebut dari pembahasan. Hal itu diperbolehkan dan diatur dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sebagai gantinya, pemerintah bisa menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Meski demikian, politikus senior PDIP itu menegaskan bahwa perppu adalah opsi terakhir. Untuk itu, dia masih berharap fraksi-fraksi partai di DPR mau mengubah sikap. “Saya kira masih ada waktu,” imbuhnya.

Disinggung soal alasan pemerintah memaksa adanya PT, Tjahjo menyatakan bahwa sistem presidensial yang dianut Indonesia sangat kuat. Dengan adanya dukungan partai yang cukup, stabilitas di pemerintahan juga bisa lebih terjaga.

Apakah untuk mempermudah pemenangan kembali Presiden Jokowi pada 2019? Tjahjo membantahnya. “Semua bisa maju, Pak Prabowo bisa maju, siapa pun bisa maju kok. Jujur (PT) 20–25 tuh bisa empat sampai lima pasang loh,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 akan sangat rumit jika pemerintah menarik pembahasan RUU di DPR. Pasalnya, semua norma yang sudah disepakati dalam pembahasan RUU Pemilu dibatalkan. Termasuk penetapan 17 Juli sebagai hari pemungutan suara.

Selain itu, regulasi Pemilu 2019 otomatis mengikuti UU Pemilu lama. Padahal, dengan adanya putusan MK, desain kepemiluan sudah berbuah. “Tafsir putusan MK jadi sepenuhnya diterjemahkan KPU. Misalnya, soal pemilu legislatif dan pemilu presiden yang dilaksanakan serentak. Kan UU lama gak mengatur,” ujarnya.

Kalaupun perppu diterbitkan, Arif menilai masalah tidak bisa langsung selesai. Sebab, ada proses penyusunan yang juga membutuhkan waktu. Di sisi lain, penyelenggara juga membutuhkan penyesuaian untuk memahaminya.

“Kalau waktunya sudah mepet, juga berisiko bagi KPU. Iya kalau ditetapkan DPR, kalau ditolak perppu-nya? berapa lama lagi waktu yang tersedia,” ujarnya di kantor KPU RI. 

Pansus Andalkan Lobi-lobi 

Ancaman pemerintah untuk menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu dan menerbitkan perppu langsung direspons DPR. Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menyatakan, perppu merupakan kewenangan pemerintah. Mereka boleh saja mengeluarkan peraturan tersebut. Namun, menurut dia, perppu tetap harus diajukan ke DPR. 

“DPR bisa saja menolaknya,” terang dia, kemarin (15/6). Jika pemerintah sampai mengeluarkan peraturan itu, Lukman khawatir terjadi krisis konstitusi. Akan terjadi guncangan politik yang sangat besar karena selama ini partai di parlemen sudah berupaya membahas undang-undang baru itu. 

Politikus PKB tersebut menyarankan pemerintah agar mengikuti proses yang sudah berjalan. Sebab, masih banyak waktu untuk melakukan lobi-lobi terhadap partai.

Mereka bisa mengajak bicara partai untuk mencari titik temu dalam lima isu krusial yang sampai sekarang masih belum disepakati. “Pemerintah harus memanfaatkan waktu yang ada untuk lobi,” ungkap legislator asal Riau itu.

Lukman menyatakan, pansus masih tetap dengan keputusan yang ditetapkan dalam rapat Rabu malam (14/6). Sesuai kesepakatan dengan pemerintah, ada perpanjangan waktu lobi untuk membahas lima isu krusial (sistem pemilihan, presidential threshold, parliamentary threshold, pembagian kursi per dapil, dan konversi suara menjadi kursi). Rapat akan dilanjutkan Senin (19/6). Agendanya adalah pengambilan keputusan tingkat pertama.

Dari lima isu krisial itu, pansus telah menyusun empat paket yang bisa menjadi pilihan dalam pengambilan keputusan. Setiap paket berisi lima isu krusial dengan varian angka yang berbeda. Termasuk isu krusial presidential threshold yang diminta pemerintah untuk tidak dihapus.  

Dalam empat paket itu, presidential threshold ditawarkan mulai 0 persen, 10–15 persen, hingga 20–25 persen. Dukungan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden tersebut alias menjadi nol persen menguat setelah disebut-sebut tidak relevan dengan sistem pemilu serentak.

Sebab, perolehan suara parpol belum diketahui pada saat pencalonan presiden. Artinya, presidential threshold 2019 dipaksakan menggunakan perolehan suara parpol pada Pemilu 2014.

Lukman menjelaskan, sampai saat ini belum diketahui berapa persen angka dalan presidential threshold mendatang. Sistem paket yang sudah ditawarkan di pansus juga bisa berubah.

“Itu bergantung lobi-lobi dan pembahasan nanti,” papar dia. Paket yang sudah disepakati akan diputuskan melalui voting dalam rapat paripurna nanti. Jika tidak disepakati paket, voting akan dilakukan per poin. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Lonjakan Pemudik Diprediksi 4-6 Persen

BMPD Silaturahmi dengan 200 Anak Yatim