JAKARTA – Salah satu kebijakan pemerintah melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan menempatkan dana di bank-bank milik negara (Himbara) sebesar 30 triliun rupiah untuk mengantisipasi jika ada bank-bank kecil yang kesulitan likuiditas dinilai sebagai langkah yang kurang tepat. Sebab, penempatan dana pemerintah dalam bentuk deposito yang diberi bunga 80 persen dari suku bunga BI 7 days reverse repo rate atau sekitar 3 persen sama dengan bailout (menalangi) kredit macet.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan dalam mekanisme pelaksanaannya, kalau ada bank pelaksana (bank yang butuh likuiditas) terus meminjam dana tersebut ke bank-bank Himbara (bank jangkar), jika bank pelaksana tidak sanggup membayar karena tidak punya uang, maka akan menerbitkan saham baru (rights issue). Kalau penawaran sahamnya tidak laku, maka otomatis akan ditukar jadi penempatan modal.
“Itu kan bailout, karena uang negara dikonversi jadi modal. Bailout itu uang hilang untuk atasi kredit macet,” kata Suroso.
Menurut dia, kalau krisis moneter 1998 lalu masalahnya karena penempatan dana dalam bentuk intermediasi perbankan tidak tepat guna, yaitu di properti dan barang konsumsi impor, sehingga menyebabkan uang habis menguap.
“Kalau ke properti akan bubble (menggelembung-red), pada saat kreditnya macet, maka harga pasar pasti turun artinya bubble pecah,” katanya. Sementara nilai jaminan tidak sesuai dengan utang, mungkin hanya 30 persen dari jaminan nilai pasar, sehingga 70 persen hilang lagi.
Kenapa hal itu terjadi, karena sudah bertahun-tahun selalu diberitahu kalau harga properti naik 500 persen itu tidak masuk akal, seharusnya bisa dicegah dari awal.
Lain halnya kalau pemerintah menempatkan dana stimulus itu di sektor pertanian dan di perdesaan, uangnya tidak akan hilang dan bisa menyubtitusi devisa yang lari ke luar negeri. Kalau di dalam negeri, uang berputar di dalam saja, malah memberi pajak berpuluh puluh kali kepada pemerintah.
Kalau praktik kebijakan pemerintah dengan model bailout seperti itu tidak dihentikan dan salah alokasi, maka perekonomian Indonesia akan sulit sembuh karena dari tahun ke tahun utang luar negeri terus bertambah. Dengan jumlahnya yang diperkirakan sudah mencapai 4.500 triliun rupiah, maka sulit untuk mencari sumber guna membayar kembali.
“Darimana bayarnya kalau semuanya habis untuk menalangi obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), spekulasi properti, dan kredit konsumsi barang impor. Yang menikmati hanya satu persen penduduk, tetapi yang menanggung 260 juta penduduk,” katanya.
Dukung PEN
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di Kantor Presiden Jakarta, menyatakan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2020 mengenai penempatan uang negara pada bank umum dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional. Penempatan itu di empat bank BUMN, yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN sebesar 30 triliun rupiah.
Menurut dia, penempatan uang negara di bank umum sebetulnya sudah rutin dilakukan sejak 2014, namun kali ini untuk mendukung langkah-langkah PEN. n SB/uyo/E-9