Persatuan Homestay Limapuluh Kota (Perhomliko), mempertanyakan tindak lanjut hasil hearing dengan DPRD Limapuluh Kota dan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) terkait dengan solusi antisipasi dugaan Pungutan Liar (Pungli) yang masih dirasakan pemilik homestay di kawasan Lembah Harau.
“Kami sebagai pelaku usaha homestay yang tergabung dalam Perhomliko merasakan dampak terhadap masih adanya dugaan pungutan bagi pengunjung homestay di dalam kawasan Lambah Harau. Bagaimana tindak lanjut pemerintah daerah untuk persoalan ini,” kata Sekretaris Perhomliko, Andiko pada Rabu (21/9).
Para pemilik homestay berharap tidak ada lagi gerbang atau pungutan dalam bentuk apapun di pintu masuk Lembah Harau. Sehingga pengunjung bisa dengan leluasa masuk kawasan Harau, terutama tamu homestay. Namun sebagai penggantinya, bisa dilakukan pungutan untuk masing-masing spot wisata saja.
“Sehingga kita pelaku homestay merasa nyaman juga berusaha, tanpa adanya pungutan yang kadang memberatkan pengunjung. Harapan kita, ke depannya kita pengunjung homestay tidak lagi mengeluh soal adanya pungutan,” tambah Wakil Ketua Perhomliko, Sarnen Indra.
Sehingga menurut pengurus Perhomliko, usaha homestay sebagai salah satu geliat ekonomi masyarakat, tidak kehilangan pengunjung. Pemerintah diminta wujudkan kebijakan yang lebih maksimal dengan menggandeng semua pihak.
Menanggapi hal yang disampaikan Perhomliko, Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Limapuluh Kota, Desri mengaku, masukan yang disampaikan masyarakat dan Perhomliko agar pungutan parkir di masing-masing spot, perlu dikaji sebagai sebuah solusi.
“Tapi sebenarnya, pungutan yang terjadi di luar jam kerja penjualan karcis masuk ke Lembah Harau, di luar kemampuan kita untuk bisa mengawasinya. Sehingga perlu keterlibatan aparat penegak hukum. Sebab karcis Harau dipungut sejak pukul 08.00-17.00 WIB, di luar itu, tentunya tidak bisa kita awasi,” terang Desri.
Terpisah, anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, Khairul Apit mengatakan, setuju dengan pola pungutan karcis hanya di spot-spot wisata seperti yang diusulkan Perhomliko. Sehingga pungutan di gerbang Harau yang notabene merupakan jalan umum, tidak lagi menyulitkan bagi masyarakat di nagari-nagari setempat.
“Kita setuju, tentunya Pemerintah Kabupaten bisa melakukan pengkajian dan membandingkan bagaimana pengelolaan objek wisata di daerah lain. Disparpora harus inovatif dan lebih profesional dalam pengelolaan objek wisata. Rangkul semua pihak, beri kesempatan bagi masyarakat berkontribusi dan mendapatkan sumber ekonomi dengan memberdayakan. Sehingga tidak ada lagi kesan premanisme,” ucap Khairul Apit. (fdl)