in

Pengemis yang “Shalih” di Kota Bireuen

Jubah putih panjang mirip jamaah zikir, lobe di kepala serta ucapan salam sembari membawa “kotak amal”, ditambah ID card yang tak lagi bisa terbaca, kloplah bila lelaki dua puluhan itu sedang mencari derma untuk institusi pendidikan agama yang megap-megap membiayai diri.

Celana jeans hitam dengan model kuncup ke bawah serta sandal jepit casual memadu tampilan “santri” dari salah satu “Baitul ilmi”. Namun, setelah diperhatikan, eit! Bukankah itu salah seorang pengemis yang sudah beroperasi di Bireuen semenjak ia masih setinggi bocah yang membutuhkan sapihan ibu? Ya, itu dia, keren, setelah berkamuflase dengan ragam style, kini ia memilih menjadi “santri” dengan harapan hati ummat tersentuh dan sudi berderma.

Malam ini, Selasa (26/6/2017) lelaki yang lengkap indera serupa pula dengan santri–jangan tilik wajahnya, karena air mukanya keras dan lumayan sinis, berbeda dengan wajah santri sesungguhnya– melangkah dengan salam yang nyaris tak terdengar. Wajahnya yang berkilat karena keringat dan minyak, tak pernah menatap dengan serius calon dermawan.

Dari satu meja ke meja lain, ia menyodorkan kotak yang bertulisan: Bantulah pembangunan lembaga pendidikan didikan Islam…, Banyak yang meminta maaf, tak sedikit pula yang menyisihkan sedikit rezeki untuk sang “santri”. Ada atau tidak penyumbang, ia segera beranjak. Berpindah posisi hingga akhirnya kembali ke lokasi awal. Seperti mata rantai kalung, demikian format ia bergerak.

Kamuflase yang dilakukan oleh pengemis muda nan sehat ragawi–demikian terlihat pandangan mata– bukanlah barang baru. Para pengemis, dengan ragam latar body, kian pintar medandani diri. Ragam usia terlibat bergerak mencari remah rupiah. Balita hingga lansia, terjun ke dunia keras nan tanpa peradaban itu.

Beberapa malam lalu, tiga bocah kumal yang diawasi dari jauh oleh beberapa perempuan lusuh, bergerak dalam kerumunan warga yang sedang menikmati secawan kopi di warkop di bilangan Pendopo Bupati Bireuen. Mereka, dengan wajah penuh noda dan terlihat sangat lelah, memasang mimik malang, untuk menjemput simpati dari manusia lainnya.

Ada aura enggan dari bocah-bocah itu. Sepertinya mereka terpaksa. Bilapun tetap menengadahkan baskom derma, mereka tak bicara sepatah pun. Bila ditanya, mereka bungkam. Atau menjawab tak jelas seperti kicau burung yang menderita flu burung. Para wanita tua yang meremot mereka, terlihat tak suka bila tanya terlalu banyak diajukan oleh calon penerima, konon lagi oleh yang sekedar bertanya tanpa berderma.

Pada malam lain, tiga pengemis dewasa terlihat adu mulut dengan kalimat tak pantas ditulis. Salah seorang di antara mereka adalah lelaki tua yang kerap masuk kampung untuk mencari derma atas nama sebuah dayah di Simpang Mamplam. Lelaki itu pula, bila kebetulan Jumat, memilih tidur di pos ronda kampung, daripada menunaikan shalat Jumat. Duh!

Komentar

What do you think?

Written by virgo

BYS COSMETICS PRODUCTS REVIEW AND TUTORIAL

Menyapa Warga dan Membagikan Sembako