Sebuah status di media sosial Facebook menyita perhatian banyak orang, Rabu lalu. Pemilik akun bernama Feranika itu mengaku sebagai istri dari seorang pria yang dibantai dan dibakar hidup-hidup di daerah Bekasi, Jawa Barat, Selasa kemarin. Feranika yang sedang hamil tujuh bulan itu menangisi perilaku biadab dari sekelompok orang yang menghakimi suaminya hingga tewas. Mereka menuding suaminya mencuri pengeras suara di masjid. Kata Feranika, meski hidup susah, mereka tidak pernah meminta-minta maupun mencuri milik orang lain.
Peristiwa itu menjadi santapan media, masuk ke ruang-ruang keluarga. Mempengaruhi alam bawah sadar setiap orang, dan menimbulkan tanya: benarkah masyarakat kita sebiadab itu?
Sulit membayangkan ada orang tega membakar hidup-hidup orang lain. Emosi membuat orang hilang kendali, hingga secara berjamaah mencabut nyawa orang lain tanpa hak. Sulit membayangkan peristiwa itu terjadi negeri yang selama ini dikenal ramah dan mengaku bangsa beradab. Sekelompok orang menghakimi orang lain tanpa hak, main hakim sendiri atas nama hukum, meski dengan cara melanggar hukum. Ironis karena kebiadaban itu dipertontonkan ketika bangsa ini sedang bersiap menyambut peringatan ulang tahun kemerdekaan ke-72, dan ketika pemerintah mencanangkan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan.
Di negeri ini banyak kasus penghakiman tanpa lewat jalur hukum. Orang diadili secara fisik atau sosial hingga nyawa hilang. Dengan alasan apapun, mulai dari pencurian ayam, penolakan aksi tambang hingga karena keyakinan yang dianggap sesat. Aksi main hakim sendiri yang sudah sampai ke tingkat tidak terbayangkan itu sepertinya sudah melembaga dan penyimpangan perilaku itu seperti sudah menjadi hukum di sebagian masyarakat ini.
Atas nama hukum, pemerintah dan aparat penegak hukum harus menegakkan aturan, dan mencegah peristiwa itu terulang.