JAKARTA – Masyarakat harus mulai menyadari pentingnya vaksin difteri untuk menjaga kekebalan tubuh. Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek pada Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 yang digelar di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jl Medan Merdeka Barat 9, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Januari 2018.
Diskusi media ini mengambil tema ‘Imunisasi, Difteri, dan Gerakan Antivaksin’ menghadirkan narasumber Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Dirut Bio Farma Juliman, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho, dan Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko.
Acara dimulai dengan pemaparan Menteri Kesehatan Nila tentang bahaya dari penyakit difteri. Penyakit difteri merupakan penyakit menular yang endemis dan dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit difteri memiliki gejala demam, terdapat selaput putih tebal pada tenggorokan yang dapat menyumbat saluran pernapasan dan menyebarkan toksin atau racun yang menyerang jantung.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Nila juga menyampaikan bahwa pemerintah telah mengambil langkah aktif untuk menyergap kuman melalui Outbreak Response Imunnisation (ORI). Hingga saat ini, ORI telah dilaksanakan di 170 kab/kota di 30 provinsi atau sebanyak 65,12% dan diharapkan pada akhir Januari 2018 bisa mencapai 90%. Dengan adanya imunisasi sebesar 65,12%, Menkes menegaskan, kasus difteri sudah mulai menurun.
“Imunisasi terus dilakukan untuk memastikan kita imun,” tegas Nila. ORI, menurut Menkes, merupakan langkah yang ditempuh pemerintah untuk menyergap kuman. “Pada Januari 2016, sudah ada edaran agar setiap daerah menyergap supaya kuman difteri tidak pergi kemana-mana. Saya tiap hari juga mengingatkan tolong atasi difteri ke setiap dinas kesehatan,” katanya.
PT Bio Farma, sebagai satu-satunya produsen vaksin di Indonesia, mengatakan bahwa vaksin produksi PT Bio Farma aman digunakan. Vaksin ini telah digunakan di 136 negara yang sebagian besar negara muslim. Vaksin PT Bio Farma juga telah mendapatkan pengakuan dari WHO (World Health Organization) dan telah mendapatkan sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Biofarma satu-satunya produsen vaksin di Indonesia sampai saat ini. Kami menerapkan kualitas yang tinggi. Produk kami sudah mendapatkan pengkauan WHO (World Health Organization),” kata Juliman.
Kendati demikian, lanjutnya, PT Biofarma tidak mendahulukan ekspor vaksin jika memang di dalam negeri lebih membutuhkan, seperti saat ini di mana Pemerintah sedang serius dalam menangani Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait penyakit Difteri.
Juliman pun memastikan bahwa sebelum vaksin yang diproduksi PT Biofarma dijual, akan diuji terlebih dahulu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Apabila belum mendapatkan sertifikat dari BPOM, maka vaksin tersebut tidak bisa dijual.
Menteri Kesehatan Nila dan Dirut PT Bio Farma Juliman juga menghimbau agar masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan vaksin, sebab stok vaksin difteri lebih dari cukup. Hal ini disebabkan PT Bio Farma tidak mendahulukan ekspor vaksin jika didalam negeri lebih membutuhkan, seperti saat ini ketika Pemerintah sedang serius dalam menangani Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit difteri.
Tantangan pembangunan
Untuk mengatasi tantangan multidimensi ini, menurut Yanuar, perlu melakukan kordinasi yang komprehensif lintas Kementerian dan Lembaga dengan strategi besar. “Dalam menyusun kebijakan, pemerintah sering kali berasumsi kordinasi sebagai sesuatu yang sudah terwujud, tinggal memikirkan langkahnya. Namun asumsi tersebut sering menjadi alasan gagalnya suatu kebijakan,” kata Yanuar.
Berangkat dari penanganan KLB difteri ini pula, kolaborasi dari setiap pemangku kepentingan dan terutama masyarakat menjadi sangat penting. “Perspektif yang dilihat dari KSP adalah kordinasi lintas K/L. Bagaimana kebijakan di tingkat pusat benar-benar sampai ke masyarakat,” tegas Yanuar.
Menurut Yanuar, saat ini, segala sesuatu berjalan dengan mobilitas tinggi. Mulai dari penyebaran informasi hingga penyebaran penyakit. Keduanya, monbilitasnya tinggi dan berbanding lurus satu sama lain.
“Sehingga, jika tidak diupdate dengan big data, akan jadi kuno. Seperti kita tahu, kecepatan penyebaran penyakit sepadan dengan percepatan informasi yang menyebar luas di masyarakat. Pertanyaannya, jika tidak didukung big data, siapa yang bisa memastikan vaksin bisa sampai ke semua wilayah di Indonesia?” ungkap Yanuar.