in

Peringatan HUT Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tahun 2021, di the Ballroom Djakarta Theater Building, Provinsi DKI Jakarta, 22 Desember 2021

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Shalom,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Yang saya hormati Menteri Sekretaris Negara yang hadir bersama saya, Bapak Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang;
Yang saya hormati Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Sis Grace Natalie, Sekretaris Dewan Pembina PSI Bro Raja Juli Antoni;
Yang saya hormati Ketua Umum DPP PSI Bro Giring Ganesha, beserta Sekjen PSI, seluruh jajaran pengurus wilayah, pengurus daerah PSI di seluruh tanah air Indonesia, anggota dan simpatisan PSI;
Hadirin undangan yang berbahagia.

Saya jadi repot karena tadi yang disampaikan Bro Giring itu luar biasa, isi maupun cara menyampaikannya. Masih kaget dengan Bro Giring, muncul Sis Grace Natalie, lebih menyulitkan saya lagi. Ya tapi memang umur saya itu sudah 60, yang di hadapan saya semuanya muda-muda, semuanya. Jadi memang ada sebuah gap, ada sebuah jarak yang memang…ya memang harus kita akui kalau yang muda-muda itu cepat merespons perubahan, cepat beradaptasi terhadap perubahan.

Apalagi sekarang ini kita pada situasi yang sangat sulit, situasi yang tidak mudah, situasi yang tidak gampang, baik global/dunia, negara lain, maupun negara kita, tidak mudah. Ketidakpastian karena pandemi, keragu-raguan pemimpin-pemimpin negara karena pandemi, kompleksitas masalah yang dulunya tidak kita pikir, muncul semuanya. Tiap hari bisa berubah kebijakan karena juga pandemi berubah-ubah, mutasi dari ini ke ini, dari dulu yang awal ke Delta, Delta ke Omicron, semua. Ini menyebabkan ketidakpastian global dan ketidakpastian di negara kita.

Dulu kita hanya berpikir awal-awal menyelesaikan pandemi, menyelesaikan penyebaran COVID-19-nya ternyata meremen ke mana-mana, ke ekonomi. Ekonomi kita juga, oh ini hanya urusan pertumbuhan ekonomi, ternyata masuknya ke mana-mana; kontainer menjadi hilang, kenaikan inflasi yang kita tidak duga, harga produsen yang naik tiba-tiba, harga pangan yang naik tiba-tiba, krisis pangan di beberapa negara, krisis energi di beberapa negara. Itu tidak dihitung semuanya. Kita bicara di G20, semuanya saling bertanya, saling menanyakan, dan semuanya kesulitan menjawab persoalan-persoalan yang ada. Jadi kalau banyak yang tanya ke kita, datang ke kita, ya memang karena kita sekarang Ketua G20.

Kembali ke pandemi. Coba kita lihat saat puncak pandemi di negara kita di pertengahan Juli, 15 Juli tepatnya. Itu mencekam, ngeri. Menyelesaikan masalah dengan bertumpuk-tumpuk warga kita yang ingin masuk ke ICU, ingin masuk ke kamar tidak ada, berjejer-jejer di lorong-lorong rumah sakit. Saya melihat betul-betul enggak bisa bicara, oksigen habis, obat-obat enggak ada, karena sudah melebihi daya tampung dari rumah sakit, utamanya di Jawa dan Bali saat itu dan kasus per hari saat itu 56 ribu. Kita patut bersyukur, hari kemarin kita di angka 216 kasus, dari 56 ribu jatuh ke 216. Dan kita hanya lima negara yang berada di level 1. Itu yang menentukan bukan kita loh, yang menentukan dari WHO dan juga dari CDC Amerika.

Banyak orang yang bertanya ke kita apa kuncinya. Ya, banyak sekali. Ini tidak, ini bukan kerja satu, dua, tiga orang, ini kerja gotong royong, semuanya bekerja. Enggak bisa kerja kalau ada yang mengeklaim, ‘Wah, ini suksesnya Presiden’. Enggak ada, enggak boleh seperti itu, karena ini saya rasakan semuanya bekerja. Dan negara lain itu yang enggak punya, gotong royong itu yang enggak punya. Dari yang level atas sampai di puskesmas semuanya bekerja keras, betul-betul mati-matian. Kalau negara lain hanya punya rumah sakit, kita sampai memiliki 10 ribu puskesmas di seluruh tanah air.

Dan sampai saat ini juga kita belum menjadi negara yang memproduksi vaksin. Negara lain mencari vaksin itu kesulitan. Membeli loh, bukan mencari. Membeli vaksin itu kesulitan. Kita sampai hari ini sudah menyuntikkan 263 juta dosis. Negara lain banyak yang bertanya, itu belinya dari mana, terus kapan.

Begitu pandemi muncul itu sudah memang banyak yang menyarankan kepada saya, ’Pak, ini kuncinya divaksin. Pak. Ini nanti vaksin, Pak. Ini nanti vaksin.’ Langsung saya perintahkan pada menteri, ‘Sudah pergi ke sini, pergi ke sini, pergi ke sini’. Balik. ‘Pak ini kira-kira harganya segini, harganya segini,’ Sudah, sudah langsung tanda tangan saja, tanda tangan sudah. Kalau kita tidak memulai, itu akan kesulitan.

Di negara-negara Afrika itu vaksinasi baru berada di angka rata-rata itu tiga persen, bayangkan. Kenapa muncul Omicron? Karena vaksinasinya masih sangat rendah sekali. Kita dosis satu sudah 73 persen, dosis dua sudah 51 persen. Dan anak-anak sudah juga dimulai disuntik 6-11 tahun sudah satu juta, ini padahal baru beberapa hari. Ini enggak mungkin kerja sendirian. Semuanya termasuk PSI juga sama, tadi kita lihat vaksinasi, semua.

Jadi saya ingin kembali agak jauh ke tahun-tahun sebelum pandemi. Apa yang sudah kita bangun, yang orang di awal-awal banyak yang mempertanyakan mengenai masalah infrastruktur, baik itu jalan tol, baik itu seaport/pelabuhan, airport/bandara yang kita bangun. Banyak yang mempertanyakan untuk apa. Rakyat tidak makan aspal dan lain-lainnya, ada yang mempertanyakan masalah itu.

Ini sekali lagi, kita ini ingin bersaing dengan negara-negara lain. Kita ingin membangun sebuah peradaban. Kita ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita. Kita ingin menyiapkan competitiveness, daya saing negara kita. Dan yang paling penting, kita ingin membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya.

Kalau fondasinya tidak ada, hal yang fundamental ini tidak kita bangun, jangan bermimpi ke mana-mana. Ya apa pun cacian, hinaan, saya tetap lurus terus akan saya kerjakan terus ini, seperti tadi disampaikan oleh Bro Giring, oleh Sis Grace Natalie. Ya ini tidak, tidak, tidak akan kita rasakan langsung sekarang tapi kalau fondasi ini tidak kita bangun, enggak mungkin kita bisa bersaing dengan negara lain, enggak mungkin. Lupakan kita masalah kompetisi, enggak mungkin. Karena buat saya, jalan itu adalah kesejahteraan. Kalau enggak ada jalan, ya enggak akan ada kesejahteraan. Infrastruktur itu adalah kesejahteraan. Enggak ada barang-barang ini, enggak mungkin kita akan (sejahtera).

Tapi juga jangan berpikir, ‘wah, yang dibangun kok yang gede-gede’. Karena informasinya enggak sambung ke masyarakat kita. Kita yang kecil-kecil juga kita urus loh, jalan desa. Sampai hari ini kita telah mentransfer ke desa selama lima tahun itu sudah Rp400,1 triliun untuk membangun jalan desa, untuk membangun embung, untuk membangun irigasi, membangun jembatan-jembatan kecil-kecil di desa, pasar rakyat desa, BUMDes di desa, urusan kecil-kecil semuanya kita urusi. Jangan berpikir, ‘wah…’, karena yang gede, memang tol yang gede yang kelihatan itu, tapi yang kecil-kecil kita urus. Urusan air bersih di desa, tambahan untuk posyandu, untuk kesehatan di desa. Ini yang tidak terpotret oleh masyarakat.

Padahal sebagai contoh saja, jalan-jalan desa.  Selama lima tahun itu sudah berapa kilo yang kita bangun? (Sepanjang) 227 ribu kilometer. Itu pun masih kecil. Ini menurut saya masih kecil karena desa kita itu 74.900, berarti ini per desa kan hanya berapa, hanya 3 kilometer, kecil ini. Karena desa kita ini 74.900. Embung, kecil-kecil di desa-desa 4.500 unit, 4.500 unit kalau dibagi 74.900 juga jumlahnya masih kecil sekali, masih sangat kurang.

Inilah nanti yang akan menopang ekonomi kita. Ekonomi, utamanya ekonomi di desa. Jangan ada yang menyampaikan yang kecil-kecil. Yang kecil-kecil justru ini gede sekali, Rp400 triliun itu duit yang sangat gede sekali. Oleh sebab itu, saya sangat menghargai apa yang telah dilakukan oleh PSI dalam mengawal anggaran APBD. Jangan enggak diurus, yang kecil-kecil diuruslah  Rp1 juta, Rp2 juta, Rp5 juta, Rp10 juta, urus. Apalagi yang sudah masuk ke miliar, triliun,  urus betul itu. Karena begitu ini salah sasaran, APBN-APBD enggak akan jadi barang.

Pengalaman saya sebagai wali kota, sebagai gubernur, dan sekarang, itu kalau uang APBD-APBN itu diecer-ecer enggak akan jadi barang sudah, percaya.  Jadi pemimpin-pemimpin daerah itu harus berani menggiring anggaran, tentu saja dengan mengotot dengan DPRD-nya, agar anggarannya itu fokus mau apa sih setahun, dua tahun ini. ‘Oh mau ngerampungin pasar’, sudah konsentrasikan duit itu ke situ aja. Jangan semua dinas diberi, diberi, diberi, diberi, diberi. Akhirnya setahun habis, loh, loh apa yang sudah dibangun? Enggak jelas. Apa yang sudah dihasilkan? Enggak jelas, karena memang diecer-ecer. Ini model seperti itu yang kekeliruan kita bertahun-tahun ya di situ sebetulnya.

Tapi begitu konsentrasi, ya okelah tidak 100 persen, tapi paling tidak 60-70 persen konsentrasi anggaran ke sana, ke satu arah itu akan lebih gampang. Tahun ini menyelesaikan sudah seluruh pasar harus dibangun bersih, pasarnya rapi. Tahun depan urusi semua sekolah, bangun semua urusan sekolah. Tahun depannya lagi urusan jalan-jalan di kampung, misalnya. Mengontrolnya lebih gampang, mengeceknya lebih mudah. Kenapa sih diecer-ecer sampai ribuan mata anggaran, sampai 40 ribu-50 ribu mata anggaran? Ya, supaya mengontrolnya sulit. Itu saja jawabannya sebetulnya. Supaya mengontrolnya mudah, fokuskan/konsentrasikan ke satu, dua, tiga yang utama.

Yang kedua, negara kita ini akan melompat dan kita akan melakukan sebuah lompatan kalau kita berani melakukan yang namanya industrialisasi dan hilirisasi terhadap sumber daya alam kita. Kita sudah berpuluh-puluh tahun selalu ekspor bahan mentah, ekspor raw material, ini setop. Nikel sudah, nikel sudah setop. Ini tahun depan ini yang saya incar bauksit, bauksit setop. Bauksit sudah, tembaga setop. Tembaga sudah, timah setop.

Semua nilai tambah ada di dalam negeri. Semua yang namanya nilai tambah, harga, dan lapangan kerja itu ada semuanya di dalam negeri. Tapi musuhnya memang negara-negara maju yang biasa barang itu kita kirim ke sana, mengamuk semuanya, mengamuk semuanya, mengamuk semuanya. Kita, nikel kita sudah dibawa ke WTO. Sudah, enggak apa-apa, ya kita hadapi.

Kemarin kita di G20, 16 negara sudah kumpul untuk tanda tangan mengenai global supply chains. Saya pikir ini apa? Bagus, kita ikut, kita ikut. Begitu baca, waduh ini kita disuruh ekspor bahan mentah lagi ini. Begitu mau masuk ke ruangan, ndak, ndak, ndak, kita enggak ikut. Semuanya bubar enggak jadi yang namanya ini. Hanya gara-gara kita enggak mau tanda tangan, semuanya jadi buyar lagi. Karena saya tahu juga ini yang diincar sebenarnya hanya kita saja.

Ya, keberanian-keberanian seperti itu yang kita kadang-kadang membayangkan waduh nanti kita di-ban di sini, di-ban di sini, di setop di sini. Di WTO kalah, ya kalah ya enggak apa-apalah kalah tapi kalau kita enggak berani nyoba. Coba kapan kita akan melakukan hilirisasi, kita akan setop ekspor raw material? Sampai kapan pun kita hanya menjadi negara pengekspor bahan mentah, padahal kalau kita jadikan barang jadi bisa lipat sepuluh kali lipat added value-nya. Nikel saja itu berapa turunan dari ini, digabung plus tembaga bisa jadi litium baterai, litium ion, litium untuk baterai untuk mobil listrik, sodium-ion, banyak sekali yang bisa turunan yang bisa kita ambil dari sana, banyak sekali.

Saya meyakini hanya urusan nikel saja sekarang ini yang dulu kita defisit dengan Tiongkok, saya yakin karena nikel dalam tiga tahun ini ekspor kita melompat kurang lebih hampir 280 triliun, melompatnya 280 triliun. Tahun depan mungkin kita sudah enggak defisit lagi dengan Tiongkok, kita justru surplus dengan Tiongkok.

Itu hanya nikel. Kalau nanti kita setop bauksit, kita setop tembaga, kita setop timah, kita setop emas, semuanya setop, setop, setop, kita enggak ada lagi yang namanya ekspor raw material, tinggal dikalikan saja berapa. Saya meyakini kalau ini kita lakukan sampai 2023-2024 setop, gross domestic product (GDP) kita di tahun 2030 sudah naik tiga kali lipat.

Tolong ini dicatat. Kalau sudah itu artinya perkiraan kita, income per kapita kita antara 11.000 dolar AS sampai 15.000 dolar AS. Ada yang menghitung 20.000-21.000 dolar AS, ndak, ndak, ndak, ndak. Kita menghitungnya, kalau hitung-hitungan seperti itu pesimis saja. Kalau nanti bisa melompat ke 20.000 (dolar AS), ya alhamdulillah. Tapi ini memang butuh keberanian.

Kadang-kadang ini kita terbayang-bayang oleh ketakutan kita sendiri. Dulu waktu kita mau ambil Freeport kembali mayoritas, informasi yang saya terima memang semuanya menakutkan, menakutkan semuanya. Nanti Papua akan guncang, Papua akan lepas, Amerika akan marah. Sampai tiga tahun kita kerja ini dan menterinya maju, mundur, maju, mundur. Maju, saya gitukan. Jangan maju, mundur, maju, mundur. Maju. Ya memang ngeri, karena ini memang sudah 41 tahun Freeport itu. Ternyata ya enggak ada apa-apanya, padahal kita beli juga enggak pakai uang. Kita pakai uangnya dia, beli. Beli Freeport itu bukan dari uangnya APBN juga bukan, dari uangnya BUMN juga ndak. Paling itu kalau mau, dalam tiga tahun sudah balik sekarang 5 miliar dolar AS lebih sedikit. Tahun depannya kalau mau kita lepas lagi, kita sudah untungnya gede banget, sudah balik. Tapi ndak, ini sudah mayoritas, yang menentukan kita. Dulu suruh bikin smelter saja berpuluh-puluh tahun enggak, geleng-geleng terus. Sekarang enggak bisa, kita sudah 51 persen. Bikin smelter, langsung nyatanya saya perintah di Gresik sudah langsung dimulai, karena memang pemiliknya kita sekarang.

Sekarang, saya ingin sedikit masuk ke ketidakpastian global tadi. Ketidakpastian global, kemudian kompleksitas masalah yang tinggi, ini menyebabkan perubahan semuanya; ekonomi, lanskap ekonomi berubah, lanskap politik juga berubah semuanya, global berubah, nasional juga berubah. Hati-hati. Dan hati-hati di 2024 nanti pemilik suara, hitungan terakhir 52 persen itu adalah anak-anak muda, pasarnya PSI. Sehingga betul-betul tadi saya senang, karena kita harus betul-betul menguasai bagaimana pemanfaatan teknologi untuk memfasilitasi aspirasi politik di bawah itu seperti apa, harus punya platform. Bagaimana teknologi membantu partai politik dalam menjalankan peran agregasi kepentingan-kepentingan masyarakat, platform lagi. Seperti apa? Ini yang sampai sekarang, saya belum lihat yang secara masif bisa masuk platform-platformnya ke masyarakat. Bagaimana pemanfaatan teknologi untuk membangun model organisasi baru, organisasi yang berbasis pada platform dan aplikasi. Di sini pintar semuanya. Dan kita ditantang untuk melakukan transformasi digital itu.

Saya melihat sebagai partai politik, PSI memiliki peluang besar untuk berinovasi dalam ruang digital yang sekarang ini marak di mana-mana, termasuk berinovasi menawarkan ekosistem demokrasi Indonesia yang lebih kompatibel dengan tuntutan zaman dan perubahan yang tadi saya sampaikan, untuk memenangkan Indonesia dalam dunia yang penuh disrupsi, yang penuh dengan hiperkompetisi, untuk membangun negara kita.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Terakhir, saya mengucapkan selamat ulang tahun Partai Solidaritas Indonesia yang ke-7.

Setelah melihat tadi Sis Grace sama Bro Giring, saya optimis PSI akan menjadi sebuah partai besar, memiliki diferensiasi, memiliki pembeda, memiliki branding anak-anak muda. Dan tadi, kalau platform dan aplikasinya betul-betul bisa masuk ke bawah, sekali lagi, melompatnya akan sangat cepat sekali.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan terakhir, saya bawakan sedikit mengenai ibu kota baru. Tapi jangan, tapi jangan dilihat fisiknya karena kita berpindah ke sana ini ingin mengubah mindset kita, mengubah cara kerja kita, mengubah cara kerja birokrasi agar lebih efisien dan lebih baik.

Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Lanjutkan Kunker Refleksi Pembangunan, Beni Imbau Waspada Varian Baru COVID-19

PPATK Endus Pendanaan Senjata Pemusnah Massal Korut di Indonesia