in

Perlu Perkuat Hilirisasi untuk Genjot Ekspor

Neraca Perdagangan – Januari-Mei 2019 Neraca Perdagangan Defisit 2,14 Miliar Dollar AS

>> Diversifikasi produk ekspor perlu diubah menjadi berbasis industri hilir.

>> Defisit neraca perdagangan Januari–Mei 2019 dipicu impor migas tinggi.

JAKARTA – Sejumlah kalangan me­nilai kinerja perdagangan Indonesia belum menggembirakan. Meskipun neraca perdagangan pada Mei 2019 mencatatkan surplus 210 juta dollar AS, namun secara kumulatif sepanjang Ja­nuari–Mei masih membukukan defisit 2,14 miliar dollar AS.

Guna memperbaiki kinerja perda­gangan itu, pemerintah antara lain mesti meningkatkan kinerja ekspor, terutama nonmigas, dengan memacu hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tam­bah produk dan daya saing global.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, menjelaskan surplus neraca perdagangan Mei lalu disebabkan ke­naikan ekspor dan penurunan impor. Eks­por mencapai 14,74 miliar dollar AS atau naik 12,42 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan impor turun 5,62 persen menjadi 14,53 miliar dollar AS.

Dia menambahkan, defisit neraca perdagangan secara kumulatif, Janu­ari–Mei 2019, dipicu impor minyak dan gas (migas) yang tinggi. “Neraca per­dagangan memang menjadi perhatian karena selama Januari–Mei 2019 masih defisit 2,14 miliar dollar AS,” kata Suhari­yanto, di Jakarta, Senin (24/6).

Defisit neraca perdagangan dalam lima bulan pertama 2019 itu berasal dari nilai total ekspor sebesar 68,46 mi­liar dollar AS dan nilai impornya sebe­sar 70,60 miliar dollar AS. Apabila dili­hat lebih dalam, total nilai ekspor migas tercatat 5,34 miliar dollar AS, sedangkan impor migas 9,08 miliar dollar AS se­hingga secara kumulatif neraca migas defisit 3,74 miliar dollar AS. Sedangkan untuk total nilai ekspor nonmigas sebe­sar 63,11 miliar dollar AS dan impornya 61,51 miliar dollar AS, sehingga terjadi surplus 1,60 miliar dollar AS.

“Walaupun nonmigas surplus, tapi karena migasnya defisit 3,74 miliar dol­lar AS, maka secara kumulatif masih de­fisit 2,14 miliar dollar AS,” jelas dia.

Suhariyanto menambahkan, pe­merintah masih bisa memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dengan menggenjot ekspor berbasis nonkomo­ditas, tetapi produk hasil hilirisasi.

Sementara itu, Direktur Indef, Tauhid Ahmad, menyoroti fenomena impor ba­han baku bulan lalu. Menurut dia, penu­runan impor bahan baku dan penolong pada Mei adalah pertanda industri akan menghadapi kendala pada beberapa bulan mendatang. Apalagi, impor ba­rang konsumsi justru naik sebesar 5,62 persen sehingga produksi dalam negeri akan semakin tertekan.

“Ancaman pelemahan industri ini perlu diwaspadai, dan fundamental po­sisi ekspor kita dalam perekonomian juga harus diubah,” jelas dia.

Pasalnya, papar Tauhid, rasio nilai ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini baru mencapai 19,0 persen, atau jauh di bawah Thai­land (sebesar 69,0 persen), dan Singa­pura (sebesar 172,0 persen).

Menurut dia, pemerintah mesti bergegas dalam pengembangan di­versifikasi produk ekspor yang semula berbasis komoditas menjadi berbasis industri hilir dan bernilai tambah tinggi. Misalnya, jika saat ini ekspor sawit me­lemah maka industri tekstil, otomotif, elektronika, dan transportasi dapat di­kembangkan lebih lanjut untuk bebera­pa pasar tradisional Indonesia maupun negara tujuan ekspor baru.

“Kemudian, peningkatan daya saing produk industri ekspor dan partisipasi yang lebih luas pada global production network, misalnya terkait produk oto­motif, pesawat terbang, dan sebagai­nya,” tukas Tauhid.

Defisit Migas

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, menam­bahkan untuk mengatasi defisit migas, pemerintah harus menekan impor mi­gas dengan beberapa cara. Selain itu, untuk mengimbangi defisit neraca per­dagangan, ekspor nonkomoditas harus didorong. Negara jangan terlalu bergan­tung pada ekspor komoditas yang har­ganya tengah turun.

“Salah satu pemicu defisit migas ka­rena tren harganya sedang naik, ditam­bah nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS. Kita ini negara net importir maka defisit sulit dihindari,” jelas dia.

Imron menjelaskan impor migas bisa dikurangi dengan meningkatkan pro­duksi minyak dalam negeri. Selain itu, target penggunaan biodiesel yang se­lama ini hanya 10 persen harus diting­katkan, sambil mendorong penelitian pemanfaatan minyak sawit untuk bahan bakar minyak (BBM).

“Kita adalah produsen minyak sawit nomor satu dunia. Tapi harganya seka­rang hanya 50 persen dari harga terting­gi yang pernah dicapai,” papar dia. YK/ers/SB/WP

What do you think?

Written by Julliana Elora

ITF World Tennis Tour di Jakarta akan jadi pemanasan SEA GAMES 2019

Puting Beliung Terjang Lambadeuk Enam Toko Porak-poranda