Pernikahan dini bukanlah sekadar kisah sinetron. Kasus itu nyata terjadi di sekitar kita dengan kuantitas terbilang tinggi. Di Indonesia, khususnya Sumbar masalah pernikahan dini menjadi masalah yang bisa dikatakan serius.
Hukum perkawinan di negeri ini mengacu pada UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Salah satu poin dalam undang-undang tersebut mensyaratkan, batas usia pernikahan adalah minimal 16 tahun untuk perempuan.
Poin dalam UU Perkawinan itu bertabrakan dengan kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama yang justru mengampanyekan bahwa usia siap menikah ialah pada usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
Pada riset United Nations Children’s Fund (UNICEF) mencatat, satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angkanya 340.000 anak per tahun. Adapun yang di bawah usia 15 tahun mencapai 50.000 anak per tahun.
Maka tak heran apabila United National Development Economic and Social Affair (UNDESA), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37 dunia dan peringkat ke-2 se-ASEAN sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan usia dini yang tinggi.
Mengacu pada data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumbar mencatat 6.083 pasangan menikah pada usia dini atau di bawah usia 20 tahun di provinsi Sumbar dalam kurun 2010 hingga 2015.
Pernikahan usia dini tertinggi di Pesisir Selatan yakni 753 pernikahan, Sijunjung 634 pasangan, dan Pasaman Barat 587 pasangan. Sementara kabupaten/kota terendah tercatat di Pariaman 11 pasangan, Padangpanjang 25 pasangan, dan Bukittinggi 47 pasangan.
Mengapa isu pernikahan dini menjadi krusial? Isu pernikahan dini adalah salah satu topik yang menjadi perhatian penting pada kerangka kerja sama Sustainable Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah bersepakat menghapus perkawinan anak pada 2030.
Pernikahan dini tersebut rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dengan perempuan sebagai korbannya. Bukan hanya itu, seringkali pernikahan dini yang biasanya berlangsung tanpa kesiapan mental dari pasangan berakhir dengan perceraian.
Ada pula dampaknya pada kesehatan perempuan. Karena dilakukan pada usia muda, seringkali organ reproduksi perempuan belum siap. Ini bisa menyebabkan kesakitan, trauma seks berkelanjutan, pendarahan, keguguran. Bahkan sampai yang fatal, kematian ibu saat melahirkan.
Perempuan yang menikah pada usia dini juga akan kehilangan masa kanak-kanaknya, masa ia bertumbuh, dan masa-masanya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Sebab, biasanya anak yang menikah dini akhirnya putus sekolah.
Selain faktor tradisi dan rendahnya pendidikan, faktor lain penyebab terjadinya pernikahan usia dini ialah pergaulan yang terlewat bebas yang berdampak pada maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja.
Perilaku ini terjadi karena dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang saling berkesinambungan. Faktor eksternal itu bisa berupa pengaruh film, teman persekawanan, imitasi dari tokoh-tokoh idola, dan sebagainya.
Kemudian faktor internal berupa lemahnya pengetahuan seks sejak dini dan kurangnya pemahaman agama. Terenyuh akan kasus pernikahan dini, Puskesmas Padangpasir, Kota Padang, membuat kelas ibu muda. Padang Ekspres pun berkesempatan mengikuti kelas tersebut. Umumnya peserta kelas ibu muda ini dengan rentang usia 20 tahun ke bawah. Mereka mengikuti kelas didampingi suami atau mertua atau ibu.
Kelas Ibu Muda telah dilaksanakan sejak tahun 2016. Sebelum mereka masuk kelas, biasanya dilakukan pre-test pengetahuan mereka seputaran kehamilan, anak dan rumah tangga. Ini bertujuan untuk evaluasi sejauh mana pemahaman mereka tentang hal itu.
Setelah itu, baru mereka mengikuti kelas yang dilaksanakan dengan tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama dengan narasumber dokter kandungan. Di sini membahas seputaran kehamilan, bahaya hamil muda dan risikonya serta kesehatan ibu.
Pertemuan kedua, dengan narasumber dari Kantor Urusan Agama (KUA) Padang Barat. Di sini, KUA akan menjelaskan dan mendapatkan nasihat bagaimana menjalani biduk rumah tangga, pengurusan surat nikah serta seputaran pernikahan.
Pertemuan ketiga menghadirkan narasumber dokter spesialis anak. Di kelas ini diajarkan bagaimana merawat bayi, inisiasi dini menyusui, cara menyusui, seputaran imunisasi dan gizi anak.
Usai pertemuan ini, dilakukan kembali post-test seputaran input selama tiga kali pertemuan tersebut. Hasil post-test menjadi gambaran evaluasi dan perbandingan hasil pretest.
Tak hanya itu saja, setelah pertemuan koordinator wilayah yang telah ditunjuk dari puskesmas akan me-monitoring mereka. Baik melalui kegiatan posyandu maupun kunjungan ke rumah.
Tidak hanya perhatian puskesmas saja, sebaiknya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sudah tentu harus melakukan perbaikan pada perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah harus mengambil peran dengan merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, masyarakat harus paham dampak negatif dari pernikahan dini. Masyarakat harus memahami bahwa pernikahan dini hanya akan memupus semua impian para pelaku, terutama yang dikorbankan adalah perempuan.
Kalau masalahnya adalah karena keadaan ekonomi yang tidak mencukupi atau tidak adanya dana untuk pendidikan, bukankah pemerintah justru menggiatkan dana-dana bantuan pendidikan?
Belajar memang tak memandang usia. Tapi yakinlah, ketika seorang remaja “dipaksa” untuk berkeluarga dan kemudian punya anak, fokusnya beralih pada upaya merawat keluarga dan anak-anaknya. Perempuan masa kini sudah bisa berperan banyak di segala aspek kehidupan. Pernikahan? Itu nanti saja. (*)
LOGIN untuk mengomentari.