Peurangui adalah basa Aceh yang memiliki padanan pas dengan tabiat dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini saya hendak berbagi kisah tentang seorang kenalan yang selalu melihat sesuatu persoalan dengan sudut pandang kebencian tak mendasar. Begini ceritanya:
Namanya Kak Mar–sebut saja demikian- yang sehari-harinya bekerja apa saja asalkan menghasilkan uang. Di usianya yang memasuki kepala empat, ia memiliki seorang “musuh” yang benar-benar membuatnya “sakit hati”. Semacam musuh politik yang telah membuat jagoannya di Pilchieksung, terjungkal kalah, dan kehilangan muka.
“Pilchieksung curang. Pasti P2K telah memanipulasi suara. Sosok gampongan –adik dari kata negarawan– seperti Pak Bram, bisa kalah dari tukang tambal ban itu. Ada yang tidak beres,” ujar Kak Mar, sembari menggoreng pisang. Beberapa warga yang duduk sembari menikmati pisang goreng panas di tengah rintik, tertawa lepas dan memanas-manasi Kak Mar.
“Iya Kak Mar, betul itu. Saya juga baca di media online Papleumo.com, bila kemenangan Iskandar sebagai Keuchik, karena P2K tidak netral. Mereka curang. Padahal hasil hitung cepat, Pak Bram menang 100 %,” kata seorang warga.
“Iya, gue sepakat, karena di media Kamengtrieng.id, juga menuliskan tentang itu,” sahut yang lain.
***
Di mata Kak Mar –demikian iaencitrakan–Iskandar tak pernah benar. Kala ada toke sabu yang berhasil membangun bisnis, perempuan beranak empat itu menyalahkan Iskandar. Padahal toke sabu itu kolega Pak Bram. Kala ada pasangan mesum yang ditangkap, Iskandar juga salah.
Begitu pula saat Iskandar berhasil membangun BUMG dengan menjalin kerjasama dengan pihak luar desa, Kak Mar justru berkata “Kerjasama itu pasti ada maunya. Aku tahu si Iskandar ingin maju sekali lagi. Uang modal dari pihak luar desa, sumbernya dari mana? Kita harus tahu, siapa tahu itu uang dari komunis, kita semua nanti akan dikomuniskan. Kan si Iskandar dekat dengan Acong toke udang.”
Begitu pula kala Iskandar membuat turnamen sepakbola ija krong, dengan mengundang banyak klub dari luar gampong. Kak Mar kembali mencak-mencak di depan warung, di depan orang ramai. “Dari dulu aku sudah curiga bila Iskandar tak desais –desais adalah adik dari nasionalis– lihat saja, berapa banyak dimasukkan pemain import dari gampong luar ke sini. Pasti ada agenda terselubung.”
Apa yang dilakukan oleh Kak Mar, mendapat simpati dari dari banyak orang. Karena dengan mimik wajah serius dan acapkali membawa nama Tuhan, tampilan Kak Mar cukup memenuhi syarat untuk disebut idealis religius.
Hingga akhirnya semua kebenaran terkuak. Empat anak Kak Mar semuanya sudah bekerja di semua proyek yang digagas oleh Iskandar. Ada di BUMG, serta di unit usaha lainnya. Kala ditanyakan oleh warga, Kak Mar berujar “Ini adalah jihad dalam bentuk menyusup ke pertahanan lawan. Untuk mengetahui kelemahan Iskandar, saya harus menempatkan anak-anak saya di berbagai lini unit bisnis yang dibangun oleh geuchik sialan itu,” katanya penuh percaya diri.
“Nah, kalau demikian, bagaimana kalau anak-anak saya ikut Kak Mar susupkan ke dalam jaringan itu, biar jihadnya lebih kuat,” usul Cupo Ti.
“Anakku juga,” timpal Rabumah.
“Tenang, tenang, tidak semua harus ke sana. Anak-anak kalian belum teruji keimanannya. Hal lainnya, jikalau anak-anak kalian masuk ke sana, siapa pula yang akan ke ladang? Bukankah kita membutuhkan petani tangguh untuk membangun sistem ekonomi untuk melawan Iskandar,” ujar Kak Mar.
“Oooo, rupanya benar kata orang, sembari memaki kau mencari untung. Sipat tak dua pat lut. Bube dua jab seureukap dua muka, keuno to keudeh pih rab, mandua pat meutumeung laba,” kata Rabumah.
“Jihad nyoe jihad jeh, agama keu alat, syarikat keu doa. Kapeugah gob musangkap, nak jeut troe ka sagai sidroe,” timpal Cupo Minah. []