Presiden berharap masyarakat gemar menabung, berinvestasi di sektor produktif, dan tidak terjebak pada penyakit konsumerisme.
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya memberikan perlindungan konsumen secara efektif di Tanah Air. Hal ini karena semakin banyak kasus yang merugikan, bahkan membahayakan konsumen.
Oleh karena itu, dalam rapat terbatas bersama sejumlah Menteri Kabinet Kerja pada Selasa (21/3/2017), di Kantor Presiden Jakarta, Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada jajarannya untuk mengawasi dan menegakkan hukum berkaitan dengan perlindungan konsumen.
“Ini sangat terkait dengan kehadiran Negara untuk melindungi konsumen secara efektif,” ujar Presiden Joko Widodo.
Sebagai gambaran, dalam 5 (lima) tahun terakhir, konsumsi masyarakat berkontribusi rata-rata 55,94 persen terhadap PDB. “Artinya perekonomian nasional mayoritas masih digerakkan oleh konsumsi,” kata Presiden.
Namun konsumen Indonesia baru pada tahap paham haknya bila dibandingkan dengan konsumen-konsumen dari negara lain, belum pada tahap mampu memperjuangkan haknya sebagai konsumen. Untuk itulah diperlukan edukasi terkait hak tersebut kepada para konsumen.
“Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Indonesia tahun 2016 masih rendah, yaitu 30,86 persen atau baru sampai pada level paham. Dibandingkan dengan IKK Eropa yang sudah mencapai 51,31 persen,” ungkapnya.
Sementara itu, berdasarkan data yang diterimanya, Presiden juga mengungkap perilaku pengaduan konsumen di Indonesia masih rendah. Menurutnya, konsumen Indonesia masih enggan menuntut haknya kepada para pelaku usaha.
“Terkait perilaku pengaduan konsumen kita masih rendah. Secara rata-rata, hanya 4,1 pengaduan konsumen yang diterima dari 1 juta penduduk Indonesia. Sementara Korea, 64 pengaduan konsumen terjadi di setiap 1 juta penduduk,” ujar Presiden.
Presiden pun berharap konsumen di Indonesia lebih cerdas dan bijaksana dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Bahkan dibimbing untuk mencintai produk-produk dalam negeri guna mengembangkan industri nasional dan membuka lapangan pekerjaan.
“Perilaku konsumsinya diarahkan untuk tidak terjebak pada penyakit konsumerisme serta mampu untuk melakukan konsumsi yang bersifat jangka panjang, mulai gemar menabung atau diinvestasikan ke sektor-sektor produktif,” ucap Presiden.
Selain itu, tingkat kepatuhan produsen terhadap kesesuaian standar produk dengan SNI (Standadisasi Nasional Indonesia) juga masih rendah. Berdasarkan data yang diterima, hanya 42 persen barang yang beredar di pasaran yang sesuai dengan SNI.
“Ini artinya, ada yang keliru, ada yang harus segera diperbaiki,” ungkapnya.
Menutup keterangannya, Presiden Joko Widodo meminta lembaga-lembaga perlindungan konsumen untuk meningkatkan perannya dalam membantu konsumen mendapatkan haknya secara utuh dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Hanya 22,2 persen yang mengenal dan mengetahui fungsi lembaga perlindungan konsumen,” ucap Presiden mengakhiri arahannya.