Produktivitas Pangan – Akses Petani terhadap Sarana Pengolahan Pascapanen Perlu Ditingkatkan
JAKARTA – Pemerintah dinilai harus mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nasional melalui promosi pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis usaha tani padi. Hal itu sebagai jawaban atas kritikan terhadap rencana impor beras karena kebijakan itu dinilai tidak berpihak kepada masyarakat, khususnya petani.
Pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Dwijendera Denpasar, Gede Sedana mengatakan berbagai program promosi yang dilakukan secara berkelanjutan antara lain menyangkut pengembangan infrastruktur pendukung usaha tani padi dan peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan.
“Selain itu, meningkatkan mutu intensifikasi usaha tani padi dengan menggunakan teknologi maju, dengan sasaran mampu meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman padi,” ujar Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendera itu di Denpasar, Bali, akhir pekan lalu.
Gede Sedana yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Buleleng, Bali, mengharapkan pemerintah meningkatkan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran. Hal itu perlu didukung dengan adanya kebijakan yang implementatif khususnya mengenai pembelian gabah oleh pemerintah melalui Bulog atau Perusahaan Umum Daerah dengan harga yang sangat layak bagi petani untuk mendorong petani mengembangkan usaha secara intensif.
Dengan demikian akan mampu meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan para petani. Pada sisi lain pemerintah wajib menjaga harga beras sehingga tidak merugikan konsumen termasuk petani itu sendiri. Kebijakan tersebut dapat dilakukan secara sinergi karena satu kebijakan dengan kebijakan lainnya sangat berkaitan.
Dengan demikian akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produktivitas dan produksi gabah atau beras secara nasional. “Dengan demikian Indonesia akan menjadi pengekspor beras sehingga sehingga tidak terdengar lagi impor beras,” katanya. Seperti diketahui, beras berkontribusi besar terhadap inflasi pada awal tahun ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), beras sebagai penyumbang terbesar inflasi Januari dengan andil 0,24 persen. “Kenaikan harga beras berpengaruh besar ke inflasi Januari,” ungkap Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, pekan lalu. Peneliti Ekonomi dari Institute of Development of Economics and Finance (Indef), Bima Yudisthira menilai, selain faktor cuaca hujan, lonjakan harga beras juga bukti dari kegagalan pemerintah mengendalikan pasokan dan harga komoditas pangan tersebut di pasaran.
“Pemerintah terlambat mengantisipasi kekurangan pasokan serta tidak validnya data pangan berkontribusi terhadap melambungnya harga beras,” ujarnya kepada Koran Jakarta, beberapa waktu lalu. Bima berharap pemerintah segera memverifikasi data faktual pasokan dan permintaan beras, serta meningkatkan kinerja satgas pangan agar tidak terjadi aksi spekulasi yang merugikan konsumen. Sebab, antisipasi dini terhadap lonjakan inflasi bisa menekan angka kemiskinan.
Stok Turun
Sementara itu, stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tercatat terus turun dengan posisi cadangan saat ini berada pada angka 22.707 ton. Padahal, dalam kondisi normal, rata-rata stok beras berkisar pada 25.000-30.000 ton per hari.
Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo mengatakan penurunan stok beras yang ada di PIBC disebabkan banyak pelaku usaha mengeluarkan stok beras yang ada menjelang musim panen raya yang diperkirakan mulai Maret 2018.
ers/Ant/E-10