Sebanyak 16 WNI saat ini diketahui berada di kamp pengungsi di Ain Issa, sekitar 50 kilometer di utara Raqqa. Kota ini disebut sebagai ibukotanya ISIS di Suriah. Mereka, di antaranya anak-anak, mengaku sengaja datang ke Raqqa karena tergiur janji kehidupan sejahtera di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah (ISIS). Belakangan mereka kecewa dengan kenyataan di Raqqa. Gambaran indah yang banyak diunggah ke internet itu ternyata bohong belaka. Tak ada pekerjaan bergaji besar, tak ada layanan kesehatan gratis. Kini mereka hanya berharap bisa keluar dari Raqqa.
Sejak awal 2014, Raqqa identik dengan ISIS. Kelompok ini menjadikannya ibu kota ‘kekhalifahan Islam’. Tak banyak yang tahu kondisi sesungguhnya di Raqqa. ISIS mengontrol arus informasi dengan ketat, ribuan milisi menjaga dan mengawasi kota tersebut.
PBB mencatat 100 ribu orang berusaha menyelamatkan diri dari kota maut itu sejak April untuk menghindari pertempuran. Sejauh ini Pemerintah Indonesia menyebut ada 500-600 WNI di Suriah. Mereka akan dipulangkan kembali ke tanah air. Sembari itu muncul kekhawatiran lain; apakah mereka hanya korban propaganda ISIS? Atau malah terpengaruh dan terlibat aksi radikal?
Membawa mereka kembali bukan perkara mudah. Termasuk memastikan kalau mereka tak keburu terpengaruh gagasan ISIS dan coba-coba beraksi di tanah air. Di sini butuh kejelian polisi maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Jangan sampai ada simpatisan ISIS beraksi melakukan teror di Indonesia, seperti yang terjadi di Mapolda Sumatera Utara baru-baru ini. Upaya pencegahan juga perlu serius dilakukan dengan terus memburu kelompok pendukung ISIS yang mengiming-imingi kehidupan lebih baik di Suriah.