in

Pulanglah Buya

Kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya, serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. (QS Al-Ruum: 31). 

Buya adalah panggilan kehormatan yang lazim digunakan masyarakat Sumbar terhadap ulama atau tokoh, aktivis dan orang yang memiliki kepedulian atau sikap yang cenderung taat dalam menjalan ajaran agama Islam. Panggilan buya dikonotasikan bagi mereka karena keberpihakan pada penegakan agama lebih mengedepan.

Buya juga dapat dilekatkan oleh masyarakat kepada kaum cendikiawan meski keahliannya tidak berasal dari rumpun ilmu agama, tetapi ia pernah dipercaya memimpin organisasi sosial keagamaan. Buya juga biasa dipasangkan pada mereka ikut berdakwah, khutbah dan ceramah agama walaupun ia bukan berasal dari basis pendidikan agama.

Kelonggaran dan keluasan definisi buya dalam pandangan masyarakat kekinian seperti di atas, berdampak luas pada sulitnya membuat indikator yang menjadi parameter terhadap sosok buya itu sendiri. Kesulitannya semakin terasa ketika gelar buya telanjur dipasangkan pada tokoh berkaliber internasional, sebutlah misalnya Buya Hamka. 

Dalam konteks sosial kemasyarakatan di Indonesia, istilah buya bisa dengan mudah dipahami dan dimengerti masyarakat, khusus masyarakat Melayu Nusantara yang memang sejarah menyebutkan bahwa salah satu pilar penyangga dakwah adalah sang buya. Artinya, ketika label buya dipasang pada diri seseorang, berarti kiprah dan perjuangannya dalam hal keagamaan sudah diakui. 

Sejalan dengan perkembangan zaman, konsep buya juga mengalami perubahan cukup signifikan. Ketika buya terlibat dan atau melibatkan diri pada ranah di luar konsep sosial buya, maka beragam komentar dan pandangan terhadap buya tersebut. Arus media sosial yang begitu kencang, juga menerpa pandangan masyarakat terhadap buya. Buya yang menyerempet dan atau bertadahun (berdekatan dan mendekat dengan kekuasaan) sering menjadi kritik masyarakat. 

Watak kekuasaan yang cenderung mau menang sendiri, mengkooptasi dan lebih memerlukan kepentingan kekuasaan, sadar atau tidak menggerus, mencederai dan merendahkan marwah buya. Makanya, beralasan sekali seorang buya  mendukung calon sesuai pandangan pribadinya.

Akan tetapi, dalam memori masyarakat bahwa calon dimaksud bermasalah, maka buya akan menjadi bulan-bulan, bahkan di-bully sedemikian keras oleh masyarakat yang dulu memanggilnya buya. 

Dugaan penodaan Al Quran yang dilakukan Ahok lalu, buya tersohor di Indonesia memberi komentar berbeda dengan mainstream. Akibatnya, beliau menjadi sasaran bully, bahkan di media sosial ada yang menuduh sebagai agen. 

Judul artikel “Pulanglah Buya” dimaksudkan ingin menyampaikan bahwa, realitas saat ini sosok buya yang dapat dijadikan panutan telah sudah mengalami krisis. Kehadiran buya di kampung sebagai pelaksana ibadah Islam, khatib, mubalig dan tokoh Islam lokal sangat kurang dari cukup.

Buya juga ikut urban, pindah ke kota, terlibat mengais hidup di perkotaan yang memang lebih menjanjikan dibanding desa dan kampung yang miskin dan jauh dari fasilitas hidup memadai. Buya yang diharapkan orang di kampung menjadi sosok yang akan memimpin mereka kini sudah pindah ke kota. 

Fenomena menarik tentang buya di kampung dan di kota saat ini adalah pilihan sikap, pemilihan politik dan pilihan dalam menentukan arus pemikiran pun tidak semuanya dapat diterima umat secara bulat. Pendapat dan sikap buya mulai diragukan, bahkan ada yang ditolak. Pilihan politik buya juga tak luput dari kecurigaan umat. Tuduhan buya menerima kompensasi politik berupa materi atau uang tidak aneh terdengar. 

Buya Kembalilah!

Seruan agar buya kembalilah ditujukan dalam semua aspek. Buya kembalilah membina umat di semua lapisan. Buya  kembalilah kepada jati diri. Buya kembalilah menekuni fungsi sebagai pembina umat. Buya dituntut  menjadikan diri sendri sebagai model bagi jamaah dan umatnya. Pulangnya buya dimaksudkan agar setiap buya tidak larut dalam hebohnya dunia. 

Buya dirindukan umat hadir bersama-sama mereka di saat keadaan membutuhkan bimbingan buya. Buya jangan tambah keraguan umat, karena buya ragu atau sengaja ragu karena sudah terjebak dalam lingkungan orang-orang ragu. Buya umat lurus dan sederhana, jangan belokkan dia dan jangan rumitkan umat dengan logika sesat buya. 

Salah satu ungkapan buya yang membuat gaduh umat, bahkan sesama buya, adalah postingan respons KH Didin Hafidhuddin terhadap tulisan Buya Syafii Maarif di media sosial. Begini bunyinya:

“Buya Syafii Maarif Yth. Ada beberapa hal yang saya minta klarifikasi dari Buya. Tulisan buya terus terang sangat tendensius dan menyakiti perasaan para pengurus MUI, termasuk saya pribadi. Kami sudah dengar dan baca langsung pernyataan Ahok dan sudah didiskusikan secara mendalam di MUI. Pengurus MUI tidak ada yang penjilat, apalagi mengeluarkan fatwa murahan. Buya khawatir MUI tidak berlaku adil pada Ahok, sementara Buya sendiri tidak adil pada MUI. Jadi, jangan asal menuduh. Demikian pula dengan peserta aksi damai mereka datang dengan biaya sendiri. Tidak ada yang merekayasa selain panggilan akidah Islamiyyah. Keyakinan pada kesucian Al Quran lah yang menggerakkan mereka. Mohon maaf Buya. Bogor, 6 Nov 2016. Salam hormat, Didin Hafidhuddin.”

Respons di atas beredar luas di media sosial. Apa pun beda pendapat sesama buya, mestinya tidak menimbulkan kegaduhan umat. Terjadinya keadaan yang tidak elok itu karena buya keluar dari jati diri buya sebenarnya.

Untuk meredam kegaduhan umat dan membuat martabat buya tidak rusak, maka patutlah menelisik perintah Allah dalam surat Al Ruum 31 dikutip awal  tulisan di atas. Ada agenda ke depan yang hendaknya menjadi fokus dari semua individu yang bergelar (laqab) buya:

Pertama, tobat. Sasek di ujung jalan, baliak ka pangka jalan. Janganlah buya lupa visi, misi, orientasi  dan arah tujuan yang hendak diwujudkan buya harus sama. Kesadaran buya untuk mengembalikan fungsi keulamaannya adalah cara baik untuk menyelamat marwah dan harga diri buya.

Kedua, takwa. Buya adalah orang taat, loyal dan istikamah terhadap kebenaran, keadilan dan jujur dalam melaksanakannya sesuai norma yang absolut. Ketiga, tegakkan shalat. Buya juga  menjadi mediator dan komando ibadah tidak boleh diabaikan. Menegakkan artinya memastikan bahwa shalat menjadi faktor penentu bagi baik buruknya kehidupan penjaga shalat. 

Keempat, jangan ikut terlibat dengan orang musyrik. Wahai para buya janganlah rusak dan kotori kesucianmu dengan bercampur baur dengan musyrik. Mestinya buya cerdas, arif dan bijaksana dengan siapa ia boleh bergaul dekat. Teman sahabat dekat buya akan menjadikan buya susah obyektif. 

Akhirnya, buya kami dalam skala dan kapasitas apa saja, tolong jaga status kebuyaannya. Meremehkan peran, fungsi dan kedudukan buya berdampak  bagi kesehatan masyarakat. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kaum Perempuan Diajak Deteksi Kanker Serviks

Mengunjungi Trump Tower, Dua Hari Menjelang Pemilu