Jika tak Diberikan, tak Dijamin Aman
Persoalan pungutan liar (pungli) tak saja terjadi di lingkungan pemerintahan. Di tengah masyarakat pun, praktik pungli kerap terjadi. Biasanya praktik ini dilakukan oknum masyarakat itu sendiri. Dengan berdalih uang keamanan, kebersihan, dan alasan lainnya.
Meski telah dibentuk Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), namun belum menyasar ke lapisan masyarakat bawah. Data yang dihimpun Padang Ekspres, praktik pungli di luar lingkungan pemerintahan ini masih saja terjadi hingga saat ini.
Seperti pungutan yang diduga tak resmi bagi kalangan sopir angkutan kota (angkot) di Padang. Padang Ekspres, mencoba mengikuti sejumlah angkot berbeda jurusan pada Jumat (10/3).
Ditemukan ada oknum pemuda meminta uang pada sopir angkot. Para sopir angkot ini menyebutnya uang “bagak”. Para sopir mengaku paling sering terjadi di kawasan Air Mancur Pasar Raya Padang.
Pertama, Padang Ekspres mengikuti angkot jurusan Pasar Raya-Indarung. Terpantau ada tiga titik para sopir angkot dimintai uangnya. Ada juga berdalih dengan memberikan tisu dan air mineral. Ada juga yang meminta secara langsung. Lokasinya seperti di Bandarbuat, Indarung dan Terandam.
Untuk angkot jurusan Pasar Raya–Lubukbuaya, terlihat ada dua titik di mana para sopir angkot membayar uang “bagak”. Yakni Jalan Diponegoro dan Pasar Raya Padang. Uang tersebut dibayarkan ke oknum masyarakat.
Sedangkan angkot jurusan Pasar Raya-Teluk Bayur, juga terlihat ada dua titik para sopir yang membayar uang “bagak” kepada oknum, yakni Pasar Gaung dan Pasar Raya Padang.
Rafles, 26, pengemudi angkot jurusan Pasar Raya-Lubukbuaya mengatakan dalam sehari dia mengeluarkan uang sebanyak Rp 15 ribu untuk hal-hal semacam ini. Dia menceritakan ada oknum yang berdalih menjual air mineral dan tisu. Meski tak dirasa perlu, namun sopir ini mesti membayar.
“Kadang kami resah akan hal itu, tapi harus bagaimana kami mencari sesuap nasi kami harus mengikuti. Jadi kami berharap kepada pemerintah setempat tolong di basmi hal yang seperti itu,” harapnya.
Erika, 33, pengemudi angkot jurusan Pasar Raya-Teluk Bayur mengatakan, dalam sehari dia mengeluarkan uang sebesar Rp 20 ribu bahkan lebih. Di Pasar Raya Padang yang lebih banyak ia mengeluarkan uang. Bahkan ada preman yang memakai senjata tajam untuk menggertak. “Kalau tidak membayar kami diancam,” katanya.
Hamsen, 30, pengemudi angkot jurusan Pasar Raya-Indarung mengatakan setiap pagi ia membayar uang “bagak” kepada preman di sekitar Pasar Bandarbuat. Kalau di Pasar Raya ia hanya membayar seperlunya kepada preman. Kalau tidak dibayar, mobilnya akan digores.
“Kalau pungutan yang saya katakan itu tak ada karcisnya. Kalau yang resminya ada juga. Yang resmi pakai karcis,” katanya.
Tak hanya sopir angkot, di sejumlah daerah, praktik pungli dengan dalih yang sama juga terjadi. Apalagi pada pelaksanaan proyek pemerintahan. Bahkan, ada pula proyek yang masuk dalam suatu nagari selalu membayar “uang takut” pada oknum pemuda dan preman setempat.
“Kalau tidak diberi, bahan bangunan dan alat-alat pekerjaan kita bisa hilang,” kata Ahi Dt Rajo Johan, 39, salah seorang kontraktor di Kabupaten Solok pada Padang Ekspres, Jumat (10/3).
Kejadian ini hampir di setiap lokasi pengerjaan dialami Ahi. Bahkan, ketika mendapat pekerjaan pembangunan di Kecamatan Lembahgumanti, Ahi sudah membayar uang keamanan pada pemuda setempat, namun bahan bangunan tetap saja hilang.
Menurut Ahi, berbagai alasan oknum pemuda nagari ini datang pada kontraktor ketika mengerjakan suatu proyek pemerintah. Permintaannya pun beragam. Ada yang meminta uang langsung, ada pula yang meminta pekerjaan. Seperti memasukan bahan batu, kerikil, pasir dan sebagainya.
“Tapi, ketika sudah kita berikan kepercayaan, bahan yang diantarnya sering tidak sesuai pesanan. Kalau diingatkan, langsung marah dan tidak mau bertanggung jawab,” bebernya.
Ada pula pemilik tanah yang minta ganti rugi pada kontraktor karena pembebasan tanahnya tidak diselasaikan. “Kadang di lapangan itu, kita sebagai kontraktor sering seperti kena peras,” sebut Ahi yang enggan menyebutkan besaran uang yang diberikan pada oknum pemuda dan preman itu.
Kendati demikian, pihaknya sebagai pemborong tentu tidak ingin rugi. Melainkan mencari akal, sehingga proyek tetap sesuai spesifikasi pekerjaan. “Pastilah kita cari jalan keluarnya,” sebut Ahi tanpa merinci cara yang dimaksudkan.
Di lain hal, Ahi menilai, keterbukaan lelang pengadaan barang/jasa secara online justru dianggap sebatas tuntutan undang-undang (UU). Untuk menghilangkankan kecurigaan para pemborong dan masyarakat terhadap kinerja daerah.
Di Pasaman Barat, kontraktor juga merasakan hal yang sama. Seperti yang disampaikan salah seorang kontraktor asal Pasbar yang namanya diminta tak disebutkan. Dia mengatakan, saat memulai pekerjaan ada juga oknum masyarakat di sekitar lokasi yang meminta uang.
Misalnya, setiap mobil truk yang melintas di persimpangan lokasi proyek harus setor Rp 10 ribu. Lalu ada juga pemuda setempat yang meminta “jatah”. Kalau tidak diberikan uang, kegiatan proyek itu tidak dijamin keamanannya. Kalau nilainya bisa mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta.
“Saya berkecimpung di bidang kontraktor ini baru sekitar satu tahun ini. Rupanya banyak juga uang keluar yang anggarannya tidak ada dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB),” katanya. Dia menyebut, padahal di Pasbar, pengukuhan tim Saber Pungli ini telah dilakukan.
Begitu juga yang dirasakan kontraktor asal Kota Solok. Alasan keamanan dan kelancaran proyek selalu menjadi alasan oknum ini. Bila keinginan oknum tadi tidak dipenuhi, tak jarang akan muncul masalah. Ujung-ujungnya pengusaha jasa kontruksi harus berpandai pandai mencarikan uang sesuai tuntutan.
Seperti yang diakui, Sofinal, 52, salah seorang kontraktor di Kota Solok. Dia mengaku tidak sekali dua kali menjadi sasaran pungli atas pengerjaan proyek fisik milik pemerintah daerah. Bahkan saking kesalnya, dia pernah terlibat adu jotos dengan oknum preman.
“Mengerjakan proyek pemerintah tidaklah segampang yang dibayangkan. Justru sangat beragam tantangan yang dihadapi. Salah satunya adalah pungutan liar. Padahal pembangunan tersebut gunanya untuk kepentingan masyarakat juga,” kata Sofinal.
Pengalaman terbaru, pada awal 2016 lalu, mantan Pengurus Kadin era 1990-an ini sempat terlibat cekcok dengan seorang oknum preman di daerah Batusangkar.
Karena ngotot minta uang keamanan senilai Rp 10 juta atas pekerjaan gedung pemerintah. Itu pun uang keamanan sebelumnya juga pernah diminta oleh sejumlah pemuda setempat dengan dalih uang sumbangan sukarela.
“Dia meminta secara paksa, gayanya uring-uringan, hingga saya sempat terpancing emosi mengajaknya berkelahi saja. Setelah sebelumnya dicoba dijelaskan secara baik-baik, malah tidak diterima,” aku Sofinal.
Kontraktor asal Solok lainnya, Yazit Kasim, juga memiliki segudang pengalaman menjadi sasaran pemalakan oleh berbagai pihak terkait pelaksanaan proyek pembangunan di berbagai lokasi. Jumlah uang yang diminta cukup bervariasi, mulai dari Rp 500 ribu hingga di atas Rp5 juta. Dalihnya rata-rata uang keamanan dan sosial.
Semakin tinggi nilai proyek, akan semakin banyak dan semakin besar pula jumlah uang yang diminta. Hingga membuat kontraktor cenderung tertekan. Kadang memeras dilakukan dengan jalan mencari-cari kesalahan, serta membuat opini yang meresahkan.
Kendati demikian pihaknya terus berusaha agar pekerjaan fisik yang dipercayakan pemerintah tetap terlaksana dengan baik, sesuai kontrak, Rencana Angaran Biaya (RAB). (*)
LOGIN untuk mengomentari.