in

Putusan MKMK Meleset Benar

Oleh Miko Kamal
(Advokat dan Wakil Rektor 3 Universitas Islam Sumatera Barat)

SAYA menulis tanggal 4/11/2023. Judulnya “Menunggu Putusan Teguran Lisan dan Teguran Tertulis”. Putusan yang ditunggu itu sudah keluar, Selasa 7/11/2023. Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstruksi (MKMK), teguran lisan untuk 9 hakim dan pemberhentian sebagai Ketua MK untuk Anwar Usman.

Secara eksplisit, tulisan itu agak meleset memang: teguran tertulis tidak ada. Yang ada hanya teguran lisan.

Tapi tidak meleset secara substantif. Sebab, tulisan itu sebenarnya mengandung pesan: MKMK yang dipimpin Jimly tidak akan berani memberhentikan dengan tidak hormat Anwar Usman. Itu terbukti: Anwar Usman hanya sekadar dipecat dari jabatannya sebagai Ketua MK.

Yang benar-benar meleset itu putusan MKMK: memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Putusan itu tidak ada gantungan hukumnya. Pilihan hukuman bagi pelanggar kode etik di MK hanya 3: teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian dengan tidak hormat. Itu kata Pasal 41 Peraturan MK No. 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Bukan kata saya.

Putusan pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK hanya karangan Jimly dan Wahiduddin saja. Bintan R. Saragih tidak setuju dengan karangan itu dan disampaikannya dalam pendapatnya yang berbeda (dissenting opinion) atas putusan itu.

Jimly punya alasan mengapa Anwar Usman tidak diberhentikan dengan tidak hormat. Kata Jimly: “Seandainya hukuman pemberhentian tidak dengan hormat dijatuhkan kepada Anwar, itu justeru berpotensi menyebabkan ketidakpastian menjelang pemilu”.

Maksud Jimly, ketidakpastian menjelang pemilu akan terjadi karena Anwar yang dipecat tidak dengan hormat punya hak dan/atau mesti diberi kesempatan membela diri di hadapan majelis banding. Itu akan makan waktu, sementara pemilu sudah dekat. Singkatnya, beliau khawatir proses banding akan mengganggu tahapan pemilu.

Alasan yang dikemukakan Jimly sangat pragmatis, mengalahkan prinsip yang dikandung Pasal 41. Prinsipnya begini: terkait perilaku hakim, harkat dan martabat MK adalah yang utama, makanya setiap hakim yang terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik “haram” baginya untuk tetap menjadi hakim MK.

Sayang sekali, karena hanya mempertimbangkan teknis tahapan pemilu, Jimly tega mengorbankan prinsip menegakkan harkat dan martabat MK.

Perbuatan Anwar Usman dikategorikan sebagai pelanggaran berat: melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi.

Anwar disebut telah melanggar 5 dari 7 Sapta Karsa Hutama: prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan. Itu tertuang di dalam putusan MKMK yang dibacakan Jimly dan kawan-kawan.

Dari sisi bentuk hukuman, benarkah paman Gibran dan adik ipar Jokowi itu telah melakukan pelanggaran berat? Jawabnya tidak. Sebab, sekali lagi menurut Pasal 41 Peraturan MK No. 1 Tahun 2023, hakim yang terbukti melakukan pelanggaran berat, hukumannya hanya satu: pemberhentian dengan tidak hormat.

Poin penting Pasal ini ada 2: pemberhentian atau diberhentikan dan dengan tidak hormat. Poin 1 terpenuhi: Anwar Usman memang diberhentikan. Poin 2? Anwar Usman tidak diberhentikan dengan tidak hormat. Beliau sekadar diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK.

Di dalam putusan, tidak disebutkan secara eksplisit apakah pemberhentian itu terkategori sebagai pemberhentian dengan hormat atau dengan tidak hormat.

Mari baca dengan seksama bunyi amarnya: “Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor”. Dengan demikian, secara praktis, pemberhentian itu bukanlah pemberhentian dengan tidak hormat.

Pemberhentian “dengan tidak hormat” pasti berhenti tegak: Anwar Usman harus angkat koper dari gedung MK. Ini tidak, setelah jabatannya dicabut, Anwar Usman masih warawiri di MK.

Anwar Usman memang masih tetap berstatus sebagai hakim MK. Sebagai hakim pasca putusan MKMK, beliau hanya “tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Pesiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.” Selain yang ini boleh.

Putusan MKMK memang meleset benar.(*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Nevi Zuairina Salurkan Bantuan Pertanian PT AP II ke Kelompok Tani Maju Basamo Pasaman

MTQ Kategori Lansia jadi Motivasi Anak-anak Tilatang Kamang Giat Hafal Al Quran