Bung Karno, pada pidato 17 Agustus 1959 di bawah judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, dengan heroik mengingatkan kembali tujuan proklamasi yang berumur 14 tahun ketika itu. Pidato yang didokumentasikan dalam buku Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (1963) ini menjelaskan tiga tingkatan revolusi perjuangan.
Pertama, disebut Bung Karno dengan physical revolution, yakni revolusi fisik berlangsung 1945-1950. Pada periode ini kemerdekaan direbut dan dipertahankan dari tangan imperialis ke tangan bangsa sendiri. Kedua, dinamakan Bung Karno sebagai periode survival, berlangsung antara 1950-1953. Artinya, bangsa ini bisa tetap hidup, tidak mati, mampu bertahan dari segala kesulitan. Ketiga, dinamai Bung Karno dengan revolusi sosial-ekonomis yang dimulai sejak 1956, sebagai periode mencapai tujuan akhir revolusi yakni masyarakat adil dan makmur, tata tentrem kerta rahardja.
Kemerdekaan dan Masyarakat Adil Makmur
Menurut Bung Karno, tujuan perjuangan bukanlah hanya semata mencapai kemerdekaan, tetapi untuk mewujudkan masyarakat adil makmur. Kata Bung Karno, “kita berrevolusi, kita berjoang, kita berkorban, kita berdandsa dengan maut, toh bukan hanya untuk menaikkan Sang Merah Putih, bukan hanya untuk melepaskan Sang Garuda Indonesia terbang di angkasa. Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna”. Lebih lanjut dikatakannya, kita bergerak karena ingin cukup makanan, pakaian, tanah, perumahan, pendidikan, dan seterusnya. Pendek kata, ingin perbaikan nasib di segala aspek.
Masyarakat adil makmur itu, menurut Bung Karno tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi harus diperjuangkan dan dibangun. Butuh investment-investment dan pembangunan besar-besaran yang disebutnya ’pembangunan semesta’. Pasca periode inilah, kata Bung Karno terwujud kemakmuran yang digambarkan dengan “murah sandang-murah pangan, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku”. Maksudnya, sebuah kondisi dengan sandang pangan yang murah, semua yang ditanam subur, dan semua yang dibeli murah.
Penyakit Pembangunan
Memasuki periode pembangunan, menurut Bung Karno jiwa, dasar, dan tujuan revolusi yang dimulai sejak 1945, mulai dihinggapi beragam penyakit dan dualisme yang membahayakan. Bung Karno menyebut sejumlah persoalan serius saat itu yang menurutnya hampir memadamkan api revolusi. Tujuan masyarakat adil makmur diganti oleh orang-orang yang bukan putera revolusi dengan politik liberal dan ekonomi liberal. Melalui politik liberal, suara rakyat banyak dieksploitir, dicatut, dan dikorup berbagai golongan. Sementara melalui ekonomi liberal, sejumlah kelompok menggaruk kekayaan secara hantam kromo dan mengorbankan kepentingan rakyat.
Beragam penyakit itu menurut Bung Karno sebetulnya bukan karena kekurangan, kebodohan, dan ketololan yang inherent melekat pada bangsa ini. Tetapi karena sengaja atau tidak, sadar atau tidak, telah terjadi penyelewengan terhadap djiwa, dasar, dan tujuan revolusi, yakni mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat. Belajar dari pengalaman bangsa lain, menurut Bung Karno penyelewengan bisa saja bersifat sementara yang bisa dikoreksi, tetapi jika terjadi terus menerus menyebabkan dekadensi yang berbahaya.
Penyelewengan yang terus menerus akan membuat revolusi kandas, bahkan bisa menyebabkan mengamuknya revolusi baru. Bung Karno memberi contoh revolusi Perancis serta revolusi Sun Yat Sen akibat penyelewengan terus menerus Kuo Min Tang sehingga terjadi kontra revolusi. Dalam konteks Indonesia saat itu, berbagai penyelewengan tidak sampai menimbulkan dekadensi, karena menurut Bung Karno tepat pada waktunya muncul kesadaran untuk melakukan koreksi dan ‘banting stir’ kembali ke jalan yang benar. Menurutnya, kesadaran itu sangat tepat waktu, ketika rakyat jelata “memukul canang” meneriakkan penyelewengan pemimpin. Kesadaran sosial dan politik bangsa dalam hal ini menurutnya patut dibanggakan.
Refleksi bagi Pemimpin
Menyadari terjadinya penyelewengan dari tujuan kemerdekaan serta mau melakukan koreksi jika rakyat telah mengingatkan, adalah sebuah peringatan buat pemimpin. Menurut Bung Karno, peringatan tersebut baik sekali didengarkan oleh mereka yang menyebut diri pemimpin. Bung Karno mengatakan, “kalau mereka pemimpin, maka ketahuilah, bahwa yang mereka pimpin itu bukan satu rombongan kambing atau satu rombongan bebek atau satu rombongan tuyul, tetapi satu rakyat yang kesadaran sosial dan kesadaran politiknya telah tinggi”.
Kesadaran rakyat seperti itu menurut Bung Karno berlaku universal. Rakyat, kata Bung Karno, “di mana-mana di bawah kolong langit ini, tidak mau ditindas oleh bangsa lain, tidak mau dieksploitir oleh golongan-golongan apapun, meskipun golongan itu adalah dari bangsanya sendiri”. Di mana-mana rakyat menuntut kebebasan dari kemiskinan, rasa takut, kebebasan beraktivitas untuk meningkatkan kesejahteraan, mengeluarkan pendapat dan berdemokrasi.
Pidato heroik Bung Karno 58 tahun lalu itu, bisa jadi masih relevan hari ini. Peringatan proklamasi di tengah beragam masalah yang melilit bangsa, sejatinya menyadarkan kita untuk membaca ulang tujuan kemerdekaan. Tidak saja minimnya prestasi di tingkat global bahkan regional yang menyebabkan posisi kita tertinggal dibanding negara lainnya, tetapi lebih miris lagi, komitmen bersama mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat sering pertanyakan. Mudah-mudahan kita terjauh dari peringatan Bung Karno sebagaimana sering dikutip, bahwa “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri”. Mari kita introspeksi bersama, merdeka! Wallahu a’lam. (*)
LOGIN untuk mengomentari.