in

Revolusi Mental Vs Revolusi Hakiki

bendera: Seorang Siswa SD di Teluksebong mengibarkan bendera usai latihan persiapan upacara HUT ke – 71 pada Agustus lalu. f-dokumen/tanjungpinang Pos

Oleh: Istiqomah
Mahasiswi Fakultas Kelautan dan Perikanan Umrah

Sebentar kita akan memperingati hari sumpah pemuda, tepatnya tanggal 28 Oktober. Pemuda menjadi bagian yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdakaan tempo dulu.

Mungkin kita masih ingat tragedi 1998 yang menelan korban jiwa akibat Rezim Soharto lalu, kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998.

Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Dan penurunan jabatan Presiden Soeharto, pada masa pemerintahannya, Soeharto amat sangat mengekang kebebasan berpendapat hingga melarang adanya bentuk protes apapun yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa dalam perannya dapat mengubah arah kebijakan yang dilakukan oleh permerintahan.

Terbukti suara mahasiswa menjadi salah satu yang diperhitngkan. Kini, peran itu telah tumpul, mahasiswa hanya sebagai objek yang dinilai tak berdaya, menunduk pada peraturan yang ada . Menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya hanyalah untuk mencari pekerjaan.

Semangat untuk menyuarakan kebenaran kini sepi dari dukungan dari pamuda itu sendiri.
Kejadian beberapa waktu lalu yang melibatkan mahasiswa UNJ dan UI tergabung dalam gerakan Gema Pembebasan membuat viral social media akibat video yang diunggah mereka di Youtube karena menolak pemimpin kafir.

Di video itu menjelaskan tentang haramnya kepemimpinan kafir bagi kaum muslimin. Diterangkan dalil yang pasti, baik dalam Al-Quran (AnNisa:141, 144, AlMaidah 57, AlImran: 28), Hadis (HR Imam Bukhari dari Ubadah bin Shamit) dan juga diperkuat pendapat para ulama baik salaf maupun khalaf.

Hal ini merupakan seruan Allah yang hukumnya wajib bagi orang orang yang beriman. Apakah mungkin Allah melanggar Sara? Pemimpin kafir bermunculan disebabkan demokrasi, namun jika syariah dan Khilafah diterapkan mustahil muncul penguasa kafir. Bervisi besar dalam mewujudkan perubahan adalah sebuah keniscayaan yang memang datang dari zat yang agung lagi mulia.

Menurut Fika Komara penggiat opini Muslimah Far Eastern mengungkapkan dukungannya dengan pernyataan sebagai berikut: Saat kezhaliman menindas, kala arogansi kaum liberal menantang, dan narasi despotik lancang menghantam Islam Jangan ciut dan menunduk! Angkatlah dagu, tegakkan kepala! dengan pena dan lisan, sampaikan ketinggian Islam! Lawan dengan iman dan nalar pemikiran Islam yang luhur! Sambungkan perjuanganmu dengan Umat Muhammad Saw di seluruh penjuru dunia! pemuda dan mahasiswa Muslim di berbagai negeri sungguh tengah menghadapi penindasan yang sama, karena ini adalah Izah Islam, ini kehormatan sebagai umat terbaik. Sungguh berbeda antara sikap sombong dan sikap terhormat!

Berdirilah tegak, terhormat dan tegar dalam barisan dakwah ini, jadilah saksi hidup setiap gerak kebangkitan umat, dan denyut kehidupan sang khairu ummah… agar kalian layak menjadi penjemput bisyarah kenabian.. waj’alnaa lil muttaqiina imaama.

Begitulah sedikit ulasannya, bahwa eksistensi mahasiswa adalah di medan juang untuk menyuarakan perubahan dengan solusi yang konkret yang datang dari Islam. Pemuda itu layaknya mentari pagi, yang dengannya dunia bersinar lagi.

Lihatlah kapitalisme demokrasi mengekang hak kita untuk melampiaskan segala ilmu yang kita miliki bahkan menjauhkannya dengan Islam. Imbasnya, jadilah kita pemuda yang konsumtif konsumerisme tingkat akut dengan teknologi ala kapitalis.

Seperti hal sebagai berikut: Harga iPhone di Indonesia adalah yang kedua termahal di Asia Tenggara, bahkan dunia. Secara khusus, menurut iPrice harga iphone 7 di Indonesia yaitu sekitar US$ 1.268 lebih mahal dibandingkan Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Dari studi tersebut, juga terungkap bahwa harga iPhone 7 di Indonesia setara dengan:1 sepeda motor bebek otomatis terbaru tahun 2016, atau 3 bulan sewa apartemen di Jakarta Pusat, 32 karung beras 50 kg—jika tidak ada inflasi, akan cukup untuk makan nasi selama 16 tahun.

Kemudian Narkotika yang membelenggu nasib masa depan kita, yang saya lansir dari beberapa sumber mengungkapkan perang yang sedang berkobar di Filipina sebetulnya bukan hal baru di ASEAN. Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Vietnam tercatat rutin menghukum mati pelaku kejahatan terkait narkoba sejak lima tahun terakhir.

Asia Tenggara memang memiliki masalah peredaran narkoba relatif tinggi. Kawasan Myanmar-Thailand-Laos dikenal sebagai ‘Segitiga Emas’ yang memasok 30 persen bahan baku opium ke seluruh dunia.Pada 1998, seluruh negara ASEAN sepakat mencanangkan 2015 kawasan ini bebas dari kejahatan narkoba.

Namun data dari Badan Penanggulangan Kejahatan Narkoba PBB (UNDOC) menunjukkan tren sebaliknya, peredaran narkoba justru meningkat berkali lipat. Produksi opium dan heroin dari Segitiga emas tahun lalu justru meningkat tiga kali lipat dibanding 2008. Untuk Indonesia, data Polri menunjukkan kasus kejahatan narkoba, meningkat 13,6 persen saban tahun.

Narkoba di era modern ini seolah sudah menjadi problem abadi. Karena memang ada rantai permintaan abadi yakni masyarakat hedonis putus asa dalam peradaban sekuler hari ini.

Bisnis jutaan dollar narkoba selain mendapat oksigen dari ekonomi Kapitalistik, juga terus eksis karena sistem nilai liberal sekuler yang mempromosikan nilai-nilai kebebasan akut di masyarakatnya sekaligus menyebarkan keputusasaan dan kesengsaraan di saat yang sama karena dehumanisasi terjadi dimana-mana. Ya, masyarakat yang permisif, hedonis, dan depresi berpadu dengan pelaku kriminalitas dan perilaku korup pejabat telah memelihara rantai permintaan terhadap narkoba.

Wajarlah Duterte mengambil langkah ekstrem dan membabi buta memerangi narkoba di negaranya karena putus asa dengan besarnya persoalan dan dampak terhadap masyarakatnya. Namun Duterte, Jokowi dan para pemimpin Asia Tenggara lainnya sebenarnya sedang berhadapan dengan lingkaran setan yang sulit diputus kalau bukan dari nilai-nilai dasar serta sistem peradabannya yang semua berpangkal pada ideologi Kapitalisme radikal yang cacat sejak lahir dan mengandung bibit-bibit kanker sejak awal.

Peradaban Barat yang bercirikan 3 hal: sekular, pragmatis dan hedonis – sebagaimana yang dikemukakan oleh Taqiyuddin an-Nabhani – menularkan ciri yang sama pada kehidupan masyarakat di negara-negara Asia Tenggara, segera dengan konsekuensi kerusakan yang menjalar pada kehidupan masyarakatnya.

Paham individualistik radikal yang merupakan buah dari sekularisme akut ini telah melahirkan generasi yang rusak mentalnya, kosong secara spiritual, gagal mendefinisikan realitas kehidupan, dan tidak memiliki tujuan hidup.

Generasi seperti ini rentan terpikat dengan gaya hidup hedonis dan pragmatis serta terperangkap pada kubangan kriminalitas. Inilah yang disebut Sindrom Budaya Chicago, oleh seorang profesor Malaysia, Prof. Dr. Mohd. Kamal Hassan yakni sindrom dari peradaban Barat dengan gejala “mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban”.

Wahai pemuda muslim Mengapa kita takut akan kegelapan? Bukankah masa depan kita amatlah cerah? harusnya mahsiswa tau kemana narasi barat memainkan opini politik…disini mahasiswa berkiprah menyuarakan kebenaran hakiki. bergeraklah! jangan ciut pada lisan lisan tak berdasar. insya allah kemenangan akan kita gapai. Dengan tinggi dan agungnya kemuliaan islam! salam pergerakan. Salam revolusi hakiki. ***

What do you think?

Written by virgo

5 Element Untuk Foto Yang Menakjubkan

Jembatan Dompak Batal Diresmikan Wapres