ACEHTREND.CO, Banda Aceh – M. Raden Juned terlihat begitu antusias menyimak paparan Ketua Ombudsman Aceh Dr. Taqwaddin Husin tentang peran masyarakat adat Aceh Besar dalam pengawasan pelayanan publik desa.
Duduk di salah satu meja dengan beberapa peserta lain, pria paruh baya dengan setelan kemeja putih dipadu celana cream dan peci hitam itu tak banyak bicara.
Dia fokus mendengarkan paparan Taqwaddin sambil membolak-balikkan setiap sebundel lembaran kertas yang dibagi oleh panitia tentang materi yang dipaparkan Taqwaddin.
Sesekali dia mengangguk pelan, memberi isyarat mahfhum atas materi pengawasan dari Ombudsman itu.
M. Juned adalah Tuha Peut dari Gampong Lam Kawe, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.
Dia hadir bersama puluhan Tuha Peut, Keuchik dan Panglima Laot di Aceh Besar yang diundang oleh Ombudsman Aceh untuk menjadi peserta dalam diskusi peran masyarakat Adat Aceh Besar dalam pengawasan pelayanan publik di Hotel The Pade, Kamis pekan lalu.
Selain itu, beberapa akademisi yang konsen dalam mengkaji tentang keberlangsungan masyarakat adat di Aceh juga tak luput dari undangan Ombudsman Aceh hari itu, sebut saja diantaranya dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Dr. Muttaqin Mansur.
Seperti lazimnya forum diskusi. Usai ia memaparkan materi, Taqwaddin mempersilakan para hadirin untuk bertanya.
M. Raden yang mendapat kesempatan pertama langsung membuat para hadirin hari itu tersenyum pelan.
Pasalnya, dengan menggunakan bahasa Aceh khas Aceh Besar, Raden dengan tegas meminta Lembaga Wali Nanggroe dibubarkan jika tidak memberikan manfaat apapun pada keberlangsungan adat di Aceh.
Dimata Raden, selama terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe tidak jelas tugas dan fungsi yang harus dikerjakan.
“Meunurut kamoe yang sangat awamnyo, Wali Nanggroe lage hana fungsi, sehingga peng negara habeh hase hana. Leubeh baek jih menurut kamo tapeupiyoh mantong (menurut kami yang sangat awan ini, Lembaga Wali Nanggroe seperti tidak ada fungsi, sehingga uang negara habis hasil tidak ada lebih baik menurut kami dibubarkan saja, ” tegasnya.
Sebab, kata Raden, tidak ada bedanya sedikitpun antara sebelum tsunami dimana Lembaga Wali Nanggroe belum terbentuk dengan setelah tsunami hingga saat ini setelah lembaga Wali Nanggroe dibentuk.
“Maka leubeh get tapeupiyoh mantong (maka lebih baik kita bubarkan saja,” tambahnya.
Mendengar pertanyaan dan saran tersebut, Taqwaddin juga ikut tersenyum. Namun, dia menjelaskan bahwa persoalan Lembaga Wali Nanggroe bukan kewenangan pihaknya untuk menjelaskan.
Sebab keberadaan Lembaga Wali Nanggroe telah diatur sendiri dalam UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus).
Dalam konsideran UU Otsus disebutkan bahwa tujuan dibentuknya Lembaga Wali Nanggroe adalah untuk meredakan konflik yang tengah berkecamuk di Aceh saat itu.
Namun, tujuan dari pembentukan itu seperti tidak berdampak apa-apa. Menurut Taqwaddin, penyebabnya karena penyusunan rancangan UU itu tidak diikutsertakan pihak yang sedang berkonflik.
Kemudian, setelah tsunami melanda Aceh pada 2004 silam, terjadilah kesepakatan damai antara RI-GAM pada 2006 dengan ditandatanganinya MoU Helsinky di Finlandia yang kemudian melahirkan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang juga mengatur tentang keberadaan Lembaga Wali Nanggroe.
“Oleh karena itu secara yuridis formal Lembaga Wali Nanggroe sudah ditegaskan dalam UUPA,” katanya.
Sementara untuk membubarkan Lembaga Wali Nanggroe, Taqwaddin menjelaskan harus melalui tahapan dengan mencabut terlebih dahulu pasal dalam UUPA yang mengatur tentang Lembaga Wali Nanggroe di Aceh.
Namun, jika ini terjadi maka bisa habis terlucuti pasal-pasal di UUPA satu persatu.
Sementara tujuan awal dibentuknya Lembaga Wali Nanggroe selain sebagai pemersatu juga sebagai simbol kekhususan Aceh yang yang harus dijaga keberadaannya.
Kendatipun demikian, Taqwaddin tidak membantah jika kiprah Lembaga Wali Nanggroe di Aceh memang masih kurang.
“Maka ke depan kita berharap ada pembenahan terhadap peran Lembaga Wali Nanggroe, karena Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga pemersatu, ” katanya.
Mendengar penjelasan itu, Raden tidak membantah. Kepada para peserta lain seusai acara dia mengungkapkan kenapa dia bertanya demikian, karena selama ini peran Wali Nanggroe di Aceh sangat sedikit, sehingga patut dipertanyakan.