» Harga barang importasi bisa selisih 50 persen dengan lokal karena tidak bayar bea masuk.
» Pemerintah terutama kementerian teknis seharusnya memiliki iktikad untuk kurangi impor
JAKARTA – Di tengah ajakan Presiden Joko Widodo untuk menggunakan produk dan jasa lokal, baik itu produk petani, nelayan, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), ketimbang produk impor, justru yang terjadi industri tekstil nasional makin tertekan di masa pandemi Covid-19. Hal itu disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat dan makin banjirnya produk impor di pasar dalam negeri.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI), Suharno Rusdi, mengatakan, ancaman barang impor itu ternyata bukan saat pandemi Covid-19 saja tetapi juga sebelum adanya pandemi.
Menurutnya, importasi menyebabkan pasar domestik banjir barang murah sehingga menekan kinerja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dalam negeri, bahkan tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar dan merasionalisasi karyawannya dalam lima tahun terakhir.
“Perbedaan harganya bisa sampai 50 persen, karena importasi yang dilakukan mafia ini tidak membayar bea masuk (BM) dan pajak dengan benar, padahal harga asal negaranya saja sudah dumping,” kata Rusdi, di Jakarta, Rabu (12/8).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2020, nilai impor kain tenunan khusus mencapai 12,797 juta dollar AS yang terdiri dari kain tekstil berjumbai, renda, permadani dinding, hiasan, sulaman. Kemudian, impor untuk jenis barang tekstil yang cocok untuk keperluan industri mencapai 38,798 juta dollar AS yang terdiri dari kain tekstil diresapi, dilapisi, ditutupi atau dilaminasi.
Perlu Dirangsang
Dalam kesempatan terpisah, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengungkapkan kalau saat ini banyak industri tekstil yang setop beroperasi di tengah pandemi. Sebab itu, dia berharap pelaku usaha perlu dirangsang melalui pemberian anggaran ke industri.
“Ada ide supaya manufaktur kita ini hidup mungkin pemerintah juga belanja di produk mereka yang tidak bisa ekspor. Contohnya ada yang mengusulkan belanja seragam saja, memang terpakai dan bisa menghidupkan tekstil-tekstil yang mati, atau belanja motor-motor produksi dari manufaktur, kita kirim ke desa-desa barangnya terpakai, belanjanya terjadi, manufakturnya hidup di semester ini,” kata Ridwan Kamil.
Ia mengatakan skema belanja seperti itu akan konkret menjawab permasalahan ekonomi yang minus belakangan ini. Ini karena anggaran langsung masuk kantong pelaku usaha.
Ekonom dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan pemerintah terutama jajaran kementerian harus memiliki iktikad untuk mengurangi impor dan memprioritaskan produk lokal seperti ajakan Presiden Joko Widodo. “Kalau masih banyak produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri, itu artinya belum ada iktikad mengurangi impor,” kata Esther.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta, mengatakan industri tekstil saat ini tertekan akibat permintaan lesu dan serbuan produk impor.
“Kemarin sempat buat produksi, tapi tiba-tiba barang impor di pasar masuk banyak banget. Jadi begitu mau bikin order lagi, dia setop lagi. Sekarang utilisasi masih sekitar 40 persen, naik sedikit dibanding saat pandemi sekitar 30 persen. Padahal harusnya bisa 60 persen, yang kemarin tutup masih tutup, ada produksi dua line tambah satu line. Tapi jadi nahan, nggak maksimal,” kata Redma kepada CNBC, di Jakarta, Rabu (12/8).
Menurut dia, pengusaha tekstil dan produk tekstil lokal berteriak melihat importasi tekstil dari Tiongkok kembali menyerang pasar dalam negeri. Diduga masuknya barang-barang tersebut secara ilegal tanpa proses prosedural, karena saat ini sudah ada kebijakan proteksi impor melalui safeguard.
Kondisi tersebut, jelasnya, sangat menyulitkan bagi para produsen lokal, apalagi ketika melihat pasar dalam negeri mulai bangkit. Sayangnya, ketika momen kebangkitan itu datang, malah tekstil impor dari Tiongkok masuk menggerogoti pasar lokal.
“Sampai akhir bulan kemarin masih banyak yang masuk, Juni info masuk ke Jawa Barat hampir 100 kontainer cotton rayon, mayoritas polyester. Bulan kemarin, Juli itu, rayon kain masuk ke Jawa Tengah karena demand tinggi masuk 200 kontainer. Agustus awal, denim masuk banyak. Lokal kan mulai gerak, tapi disikat barang-barang impor,” papar Redma. n ers/E-9