Anak laki-laki itu usianya baru 15 tahun. Sendirian, dia dikelilingi belasan orang dewasa yang menceramahi, sambil sesekali memukul bagian kepalanya. Ia dipaksa menandatangani surat permintaan maaf bermaterai. Gara-garanya adalah status di Facebook dia dianggap menghina pimpinan FPI, Rizieq Shihab.
Sebelumnya, intimidasi serupa dialami dr Fierra Lovita di Solok, Sumatera Barat. Status Facebook-nya dianggap menghina FPI. Bahkan ketika ia sudah minta maaf pun, intimidasi terus berlanjut. Ia sampai harus mengungsi ke lain kota bersama anak-anaknya.
Mereka ditekan massa karena dianggap menistakan ulama dengan status yang ditulis di media sosial. Dengan tudingan tersebut, data diri mereka disebar, dibumbui macam-macam yang seolah membenarkan mereka sebagai target buruan. Padahal sesungguhnya mereka adalah korban persekusi.
Persekusi, kata ini kian akrab di telinga. Persekusi berarti pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti. Komnas HAM mencatat, ada 47 kasus persekusi di seluruh Indonesia sejak Pilkada Jakarta. Sementara lembaga pemerhati kebebasan berekspresi Asia, SAFENET, mendata 60 orang jadi korban persekusi dalam 5 bulan pertama tahun ini.
Dari sekian banyak kasus, baru satu yang ditangani polisi. Kata polisi, mereka baru bisa bertindak kalau ada laporan warga. Padahal intimidasi nyata ada di depan mata, dilakukan oleh kelompok yang bertindak sewenang-wenang, sementara polisi harusnya memberi rasa aman kepada setiap warga.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Persekusi membuka nomor khusus bagi mereka yang merasa jadi sasaran. Aparat seharusnya bersikap lebih responsif dan tak boleh membiarkan initimidasi atau tekanan apapun dilakukan siapa pun alias main hakim sendiri. Persekusi harus dihentikan.