Oleh: SULBI, ST.
(Ketua Pusat Kajian Energi dan Lingkungan Hidup-Kota Tanjungpinang)
Peradaban Kerajaan Melayu Riau-Lingga yang sudah terbangun lama menjadikan Kota Tanjungpinang dikenal sebagai kota lama. Peristiwa kemenangan raja haji Fisabilillah atas Belanda di depan Pulau Penyengat pada tanggal 6 Januari 1784 dijadikan sebagai hari jadi Kota Tanjungpinang yang diperingati setiap tahunnya (Sani, 2011).
Peradaban yang sudah lama terbangun pada masyarakat Melayu tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Salah satunya adalah pola permukiman yang terbentuk di gugusan pulau yang berpenghuni cenderung mengikuti garis pesisir.
Perkembangan permukiman di pesisir Kota Tanjungpinang yang telah berlangsung lama mengakibatkan munculnya permukiman dengan tingkat kepadatan tinggi, menciptakan sentra-sentra perekonomian dan perdagangan.
Terjadinya densifikasi bangunan yang terjadi terus menerus dan tidak terkendali dapat dipastikan akan menjadi pemicu terciptanya saturated settlement, yaitu permukiman yang didalamnya tidak terdapat lagi ruang kosong sehingga berimplikasi terhadap minimnya fasilitas permukiman.
Kepadatan bangunan yang tinggi sekaligus mencerminkan kepadatan penduduk yang tinggi pula dan penduduk yang banyak tentunya juga membutuhkan fasilitas yang banyak juga.
Keterbatasan lahan yang tersedia di daerah permukiman pelantar yang dibarengi keinginan masyarakat untuk dapat tetap bermukim di wilayah pesisir menyebabkan pembangunan permukiman ke arah laut tidak dapat dihindari beserta permasalahan lingkungannya.
Faktor mata pencaharian sebagai nelayan, profesi sebagai pedagang, dan kemudahan mendapatkan akses transportasi laut yang menyebabkan masyarakat pelantar lebih memilih tinggal di permukiman pelantar dari sejak zaman dahulu.
Terbentuknya permukiman yang terdiri dari kelompok rumah-rumah hunian berbentuk panggung yang menjorok ke arah laut sampai batas surut dengan ketinggian tiang pancang sekitar 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) meter diatas air laut. Rumah-rumah yang berbentuk panggung dan berada di atas media air laut dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah rumah pelantar.
Salah satu bagian penting yang secara khusus hampir selalu tidak pernah dilupakan dari kelengkapan rumah-rumah tersebut adalah keberadaan pelataran di sisi setiap rumah.
Dalam bahasa sehari-hari masyarakat Melayu, pelataran ini sering disebut dengan instilah “Pelantar”. Ruas-ruas pelantar biasanya hadir dalam bentuk memanjang disepanjang salah satu pinggiran rumah, di depan rumah (dalam bentuk beranda rumah) atau di belakang rumah berfungsi juga sebagai tambatan perahu.
Dalam menentukan arahan program pengelolaan lingkungan kawasan pelantar yang ada di Kota Tanjungpinang, jika kita runut jauh secara global maka menurut Mitchell, dkk (2000) bahwa Program dan strategi pengelolaan lingkungan sebagaimana tertuang dalam Agenda 21 Indonesia merupakan penjabaran lebih lanjut dari Agenda 21 yang dihasilkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (earth summit) di Rio de Jeneiro tahun 1992.
Agenda 21 Indonesia merumuskan konsep suistainable developtment yang dikelompokkan menjadi empat area yakni : (1) Pelayanan masyarakat meliputi pengentasan kemiskinan, perubahan pola produksi dan konsumsi, dinamika kependudukan, pengelolaan dan peningkatan kesehatan, pengembangan perumahan dan permukiman, dan sistem perdagangan global dengan terpadu; (2) Pengelolaan limbah meliputi perlindungan atmosfer, pengelolaan bahan kimia beracun, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah radioaktif, pengelolaan limbah padat dan cair; (3) Pengelolaan sumberdaya tanah meliputi penatagunaan sumberdaya tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan perdesaan, dan pengelolaan sumberdaya air; (4) Pengelolaan sumberdaya alam meliputi konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan bioteknologi, dan pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan.
Back to laptop, Pengelolaan lingkungan permukiman pelantar merupakan hal yang secara tersirat sudah masuk agenda 21 Indonesia (sebagaimana disebutkan pada point 4—pada paragraf diatas–).
Perkembangan pesat di lingkungan permukiman pelantar (Kota Tanjungpinang) akan berujung pada kesan ‘kumuh’ jika tidak dimbangi dengan pengelolaan lingkungan yang mumpuni. Timbulan sampah, penurunan kualitas perairan, air limbah domestik, kesulitan air bersih, dan dampak lingkungan sosial adalah sebagian dari dampak lingkungan yang akan timbul.
Untuk mengurai berbagai permasalahan lingkungan permukiman pelantar perlu diperhatikan beberapa terkait output yang akan dicapai yakni terciptanya lingkungan permukiman pelantar yang bersih, sehat dan memiliki ketangguhan bangunan.
Pertama, Entry point dalam masalah ini adalah munculnya berbagai permasalahan lingkungan (contoh sampah dan sanitasi) yang dapat bermuara kepada terbentukanya permukiman ‘kumuh’ sementara disisi lain sebagaian kawasan permukiman pelantar berada pada pintu gerbang masuknya wisatawan ke Kota Tanjungpinang. Kedua, melakukan analisis terhadap program tersebut yang melalui tiga rangkaian analisis meliputi : dampak, respon dan adaptasi, serta peluang dan kendala. Selanjutnya akan menuju pada ouput/outcome yang diinginkan berdasarkan provisi dan utilisasinya berdasarkan pendekatan natural environment, built environment maupun social environment.
Analisis sederhana terhadap masalah lingkungan pelantar (contoh : sampah dan sanitasi) berdampak lingkungan yang dapat berimplikasi pada kesehatan masyarakat dan estetika kota secara keseluruhan. Respon masyarakat yang muncul beragam sehingga dimungkinkan untuk melakukan langkah yang bersifat adaptif.
Tetapi, sebenarnya dalam mengurai permasalahan tersebut, terdapat peluang dan tantangan yang harus diselesaikan secara bersama. Untuk itu, peran serta seluruh masyarakat dalam membentuk jaringan/komunitas sebagai kekuatan simbolik serta social capital perlu juga dilakukan. ***