in

Studi ungkap lagu pop modern kian negatif dalam 50 tahun terakhir

Jakarta (ANTARA) – Bila ada orang tua yang mengeluhkan lagu-lagu zaman sekarang tidak seperti dulu, bisa jadi hal tersebut bukan sekedar nostalgia dan benar adanya.

Penelitian baru-baru ini mengungkap bahwa lagu-lagu pop modern menjadi lebih bernuansa negatif dalam 50 tahun terakhir dibandingkan lagu-lagu terdahulu.

“Dalam jangka panjang, musik populer mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam iklim emosional masyarakat,” kata salah satu peneliti Dr. Mauricio Martins dari University of Vienna, dilansir Daily Mail.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports itu dilakukan dengan menganalisis kompleksitas lebih dari 20.000 lirik lagu berbahasa Inggris dalam tangga lagu Top 100 Amerika Serikat (AS) dari tahun 1973 hingga 2023.

Hasilnya, lirik lagu-lagu populer menjadi lebih sederhana dan lebih negatif dari waktu ke waktu, serta mengandung lebih banyak kata yang berkaitan dengan stres selama 50 tahun terakhir.

Temuan itu menunjukkan kata-kata negatif seperti “bad”, “cry”, “wrong”, “miss”, “kill”, dan “hurt” semakin menjadi lebih sering digunakan dari waktu ke waktu.

Para peneliti mengatakan bahwa temuan tersebut bertepatan dengan meningkatnya angka depresi dan kecemasan, serta pemberitaan negatif di media massa maupun buku-buku fiksi.

“Meningkatnya penggunaan bahasa yang berkaitan dengan stres dan negatif dalam lirik lagu sejalan dengan peningkatan stres, kecemasan, serta apa yang disebut sebagai ‘penyakit akibat keputusasaan’ di kalangan masyarakat,” kata Dr. Martins.

Adapun lirik lagu yang lebih sederhana dapat mencerminkan pergeseran budaya dan cara berpikir, seperti rentang perhatian yang makin pendek, perubahan kebiasaan mendengarkan musik dengan adanya layanan streaming, atau menurunnya kompleksitas linguistik yang juga tampak pada buku dan komunikasi daring.

Dr. Martins mengatakan bahwa beberapa lagu yang menonjol dalam data penelitian mereka karena menggunakan bahasa yang sangat negatif dan berkaitan dengan stres, di antaranya “Cry Me A River” milik Justin Timberlake dan “Hurt” yang dinyanyikan Elvis Presley.

Di sisi lain, terdapat lagu-lagu dengan nuansa yang jauh lebih positif, seperti “YMCA” dari Village People dan “Do I Do” karya Stevie Wonder.

Para peneliti juga menemukan bahwa popularitas lagu-lagu dengan lirik yang lebih kompleks mulai meningkat sejak tahun 2016 dan seterusnya.

Namun pada peristiwa besar seperti pandemi COVID-19, lirik lagu justru menjadi lebih rumit dan positif, serta lebih sedikit mengandung kata-kata yang berhubungan dengan stres, atau bahkan tidak menunjukkan perubahan berarti pada lirik.

Para peneliti menduga hal itu bisa jadi karena musik yang lebih positif dan kompleks kerap digunakan sebagai sarana pelarian sebagai bentuk pengaturan emosi untuk meredakan tekanan pada masa-masa penuh stres tersebut.

“Dalam peristiwa ekstrem, orang mungkin lebih menyukai musik dengan lirik yang tidak terlalu menegangkan dan lebih positif untuk mengatur suasana hati atau keadaan emosional mereka,” tulis penelitian tersebut.

Para peneliti menggarisbawahi bahwa temuan itu memperkaya pemahaman tentang musik sebagai alat unik untuk mengelola emosi, sekaligus menegaskan perannya yang penting dalam membentuk dan mencerminkan suasana perasaan hati masyarakat dari waktu ke waktu.

Baca juga: Rama Davis suguhkan nuansa pop-modern di lagu “Better on You”

Baca juga: Lady Gaga kembali ke modern pop lewat lagu baru “Stupid Love”

Baca juga: Pencipta Tabola Bale raih penghargaan Pencipta Lagu Pop Terbaik AMI

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Putra Rob Reiner ditangkap atas dugaan pembunuhan orang tuanya

Pelindo Palembang hentikan sementara layanan kapal penumpang