in

Suka tak Suka, Trump-lah Presiden AS

Demonstrasi Tolak Hasil Pilpres Terus Terjadi   

Jalan dengan trafik teratur. Stasiun Metro yang jauh dari pengap. Orang-orang berlalu lalang dengan setelan rapi. Washington DC, ibu kota Negeri Paman Sam itu, memang dihuni orang-orang yang terhindarkan dari kerasnya persaingan ekonomi global.

Mayoritas penduduknya bekerja di pemerintahan federal. Juga pendidikan, perusahaan sains, dan firma-firma hukum. Warga Washington memang tidak serupa penduduk kota-kota di Ohio seperti Columbus dan Cleveland.

Di kantong-kantong industri seperti itu, orang-orang kulit putih yang tak berpendidikan tinggi tergencet arus perdagangan dunia. Seperti serbuan produk Tiongkok yang membuat mereka kehilangan pekerjaan.

Itulah mengapa janji Donald Trump yang akan meninjau ulang pakta perdagangan Atlantik Utara (NAFTA) dan blok ekonomi Trans-Pacific Patnership (TPP) lebih laku di Ohio dari pada di DC.

Di distrik khusus ibu kota AS (3 electoral votes), Clinton mendapatkan dukungan telak 92,8 persen persen warga. Sementara di Ohio, Trump secara dramatis mampu meraih dukungan 52 persen dan meraup 18 electoral votes di sana.

Washingtonian pun masih murung dengan terpilihnya Donald Trump. Ya. Hingga empat tahun ke depan, mulai 20 Januari 2017, kota itu akan menjadi tempat tinggal taipan 70 tahun tersebut. 

Seperti yang dilakukan Moha, 30; dan Meg, 31; dua perempuan warga Washington yang duduk taman depan Gedung Putih sambil membawa karton bertuliskan “Do Something”.

“Ya, aku ingin agar semua melakukan sesuatu selama empat tahun ini,” kata Moha, Jumat (11/11) waktu setempat atau kemarin (12/11) WIB. “Mungkin memang tak bisa memperbaiki ini semua. Namun kita bisa berbuat seperti yang kita mampu,” katanya.

Sementara sayup-sayup di dekat pelataran Gedung Putih terdengar puluhan mahasiswa yang melancarkan aksi protes. Mereka menganggap keadilan tidak mungkin ditegakkan jika Oval Office, ruang kerja presiden di Gedung Putih, diisi orang yang diskriminatif seperti Trump.

“Jika keadilan tidak bisa ditegakkan, shut it down!” teriak para protester.

Dalam tiga hari terakhir pasca terpilihnya Donald Trump, para pemrotes yang kebanyakan adalah anak muda atau mahasiswa memang terus turun ke jalan. Mereka yang terutama tinggal di kota-kota besar itu berencana menggelar aksi yang lebih besar pada inaugurasi 20 Januari 2017 nanti.

Sebaliknya, aksi-aksi vandalisme seperti corat-coret anti-kulit hitam dan anti-muslim juga terjadi di beberapa kota. Abdurahman Haji, 47, seorang guru dan pemuka agama Islam di Columbus, Ohio, merasa perlu menenangkan warga AS agar tidak tercerai berai.

Pria warga negara AS asal Somalia yang pernah mengajukan gugatan diskriminasi agama di pengadilan Columbus, Ohio, itu mengatakan Trump harus dihormati sebagai presiden.“Namun Trump juga harus menyingkirkan ujaran kebencian dan diskriminasi yang memicu  kekerasan,” kata Haji.

“Trump akan berkantor di situ (menunjuk Gedung Putih). Kita beri lah kesempatan dia memimpin. Siapa tahu dia lebih baik daripada (Barack) Obama,” katanya.

Menurut dia, suara-suara pendukung Trump tetap harus dihormati. “Mereka memang menghadapi masalah seperti kehilangan pekerjaan,” kata Haji yang mengaku memilih Clinton dalam pemilu lalu. 

Dia mengakui, memang belum tentu Trump mampu mengatasi itu semua. “Tapi patut kita tunggu apa yang bisa dia lakukan. Suka ataupun tidak suka,” ujarnya.Ya. Suka tidak suka, Trump akan empat tahun berada di Gedung Putih. Suka tidak suka, Trump adalah presiden AS.

Soal Ujar Kebencian Terpisah, Pakar Hubungan Luar Negeri Hikmahanto Juwana mengatakan, insiden-insiden yang sudah tersebar di media AS sangat mengkhawatirkan.

Pasalnya, intimidasi dan penyerangan terhadap kaum minoritas dan mereka yang menggunakan atribut Islam bisa menjadi parah. Pasalnya, kemenangan Presiden Terpilih dengan janji kampanye seolah menjadi legitimasi dari pihak-pihak yang merundung tersebut. 

“Dalam konteks ini, ada baiknya Pemerintah Indonesia meminta perhatian kepada Pemerintah AS untuk melakukan perlindungan bagi warga negara Indonesia (WNI). Khususnya mereka yang menggunakan atribut Islam,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, memang pemerintah saat ini masih dalam masa menunggu pidato kebijakan riil dari Trump. Namun, nyatanya kondisi di lingkungan AS sudah tak lagi bisa dipandang kondusif. Berbagai elemen masyarakat hingga pelajar mulai melakukan tindakan ofensif bahkan penyerangan. 

Dalam hal ini, lanjut dia, pemerintah Indonesia punya hak untuk menanyakan bagaimana jaminan keamanan WNI disana kepada perwakilan AS yang ada di Indonesia.

Hikmahanto menegaskan bahwa perwakilan AS harus bisa memastikan bahwa janji kampanye Trump yang sangat merugikan Islam dan kaum muslim akan berbeda dengan kebijakan saat menjadi Presiden.

“Kalau perlu pemerintah RI mengeluarkan travel warning bagi WNI yang saat ini sedang di AS atau yang akan berpergian. Supaya mereka lebih berhati-hati,” terangnya.

Dia menilai pemerintah memang harus tegas dalam menyikapi adanya praktek rasisme di AS saat ini. Karena hal tersebut bukan hanya berpengaruh pada hubungan luar negeri. Dengan ucapan selamat yang diberikan oleh Jokowi, masyarakat bisa marah jika ada perlakuan yang tak adil terhadap minoritas. 

“Jangan sampai pemerintah dituding oleh publiknya mau bekerjasama dengan pemerintah suatu negara yang tidak bersahabat dengan Islam,” jelasnya.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir sempat mengimbau agar WNI tetap netral dan tidak terlibat apapun terkait politik AS.

Menurutnya, warga Indonesia memang harus menghormati proses demokrasi yang ada disana. “Kepada semua WNI di negara asing kami selalu berpesan agar bisa menghormati hukum dan kebijakan setempat,” jelasnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kejar Target 2017, Kemenpar Sapa Divers di DEMA Las Vegas

Dukung Danau Toba, Perbaiki Dermaga dan Saber Pungli