Penerimaan negara seret, utang jatuh tempo besar, target utang bakal membengkak.
Utang mesti dialokasikan untuk sektor produktif dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
JAKARTA – Pemerintah diingatkan agar lebih berhati-hati mengelola utang, apalagi terbuka kemungkinan pada tahun depan penarikan utang baru bakal melebihi target.
Untuk itu, utang negara yang sudah mencapai 3.866,45 triliun rupiah per akhir September 2017 mesti dievaluasi lebih mendalam manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat.
Sebab, jumlah utang yang kian menjulang itu dinilai tidak terlalu berdampak bagi pemerataan pembangunan dan peningkatan sektor produktif. Dalam RAPBN 2018, penarikan utang baru ditargetkan sebesar 399,2 triliun rupiah, atau lebih kecil dibandingkan dengan penambahan utang baru dalam APBNP 2017 yang mencapai 461,3 triliun rupiah.
Namun, pada tahun depan ada jatuh tempo utang pemerintah sebesar 354,36 triliun rupiah, terdiri atas pinjaman 75,59 triliun rupiah dan surat berharga negara (SBN) senilai 278,77 triliun rupiah.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan mencermati adanya beban pembayaran utang jatuh tempo sebesar itu maka target penambahan utang baru 2018 berpotensi untuk dikoreksi.
“Melihat jatuh tempo utang di 2018, nampaknya akan ada peningkatan utang yang lebih ekspansif. Itu yang perlu dicermati,” ujar dia, di Jakarta, Kamis (19/10).
Menurut Bhima, salah satu alasan pemerintah harus menarik utang baru melebihi target tahun depan itu lantaran kinerja yang buruk dalam menggali sumber-sumber pendapatan negara sehingga target penerimaan tidak tercapai. “Kemungkinan, ada dua skenario yang akan dilakukan pemerintah.
Pertama, meningkatkan jumlah utang saat pembahasan APBN 2018 dengan DPR. Kedua, menambah utang di semester kedua melalui pembahasan APBN-Perubahan 2018,” ungkap dia. Outlook penerimaan pajak 2018, lanjut dia, masih dalam taraf waspada karena tidak ada dorongan lagi dari penerimaan ekstra seperti tax amnesty.
“Agar tidak mengganggu jalannya perekonomian, pemerintah harus segera lakukan rasionalisasi pembangunan infrastruktur,” kata Bhima. Ekonom UGM Yogyakarta, Fahmy Radhi, berpendapat pemerintah harus segera mengevaluasi efektivitas utang.
Sebab, jumlah utang yang hampir pecah 4.000 triliun itu ternyata tidak berkorelasi positif dengan upaya mengatasi ketimpangan dan meningkatkan sektor produktif.
“Pembangunan infrastruktur hanyalah salah satu dari upaya meningkatkan sektor produktif. Namun, dampak dari pembangunan infrastruktur jangka panjang. Jadi, kalau sekarang dibangun, belum bisa langsung memberikan dampaknya,” jelas dia.
Fahmy menilai infrastruktur penting untuk mendukung tercapainya target pembangunan nasional. Akan tetapi, yang disebut infrastruktur bukan hanya jalan tol, melainkan juga bandara dan pelabuhan sebagai prasyarat tumbuhnya industri.
“Untuk sektor pertanian, misalnya, pembangunan bendungan, menciptakan sawah dan infrastruktur perdesaan menjadi prioritas. Nanti pada saat itulah akan tumbuh secara bersamaan sektor pertanian dan industri, begitu pun ekonomi juga akan tumbuh bersama- sama,” kata dia.
Ancaman Gagal Bayar
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan, mengingatkan berbagai proyek infrastruktur yang selama ini dibiayai utang, harus diwaspadai dari ancaman gagal bayar.
Padahal semestinya, infrastruktur itu mampu menjawab ketimpangan ekonomi yang terjadi. “Utang yang terus menumpuk salah satunya untuk membiayai pembangunan infrastruktur bisa berujung pada defisit APBN. Padahal, dalam lima tahun terakhir, defisit terus meningkat.
Gap antara pendapatan, belanja, dan utang terus menganga,” ujar dia. Saat ini, menurut dia, sejumlah BUMN melakukan pekerjaan infrastruktur dengan pembiayaan utang. Jika tidak dikelola dengan baik, ancaman gagal bayar bisa terjadi.
“Jika gagal bayar maka pada BUMN yang melakukan pinjaman minta disuntik dengan APBN lewat skema PMN. Artinya, kita akan terus-menerus terperangkap pada lingkaran setan utang, gagal bayar, dan utang lagi,” ujar Heri.
Dia menambahkan saat ini pertumbuhan ekonomi yang juga dibiayai utang itu belum dinikmati oleh mayoritas rakyat. Terbukti, rasio gini masih terbilang cukup tinggi, sebesar 0,39. Dengan rasio gini sebesar itu, pertumbuhan yang ada masih dinikmati oleh segelintir orang.
Satu persen penduduk menguasai 39 persen pendapatan nasional. “Ini mesti dijawab dengan model pembangunan infrastruktur yang berdampak pada pencapaian target pembangunan, terutama soal ketimpangan ekonomi,” tukas Heri. ahm/WP