in

Tahun Ke-348 dan Pembangunan Jiwa

Kota Padang baru saja merayakan hari lahirnya ke-348. Yang dijadikan patokan hari lahir tersebut adalah pergolakan masyarakat Pauh dan Kototangah terhadap monopoli Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang terjadi pada tanggal 7 Agustus 1669. Usia 348 tidak lagi muda. 

Di usia itu, kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatera ini terus berbenah. Di bawah kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Wali Kota bertangan dingin Mahyeldi-Emzalmi, pembangunan fisik kota terus digeber. Pasar dibenahi. Trotoar diperluas dan dipercantik di sana-sini. Pantai dipermak. Jalan lingkungan dibangun dan direhab. 

Tak bisa dipungkiri, di bawah kendali mereka berdua, pembangunan fisik kota yang sempat beringsut-ingsut (kalau tidak boleh menyebut berhenti) lebih kurang satu dekade belakangan, kembali bergerak. Bergerak dalam track yang benar. Untuk yang ini, pantas benar kita angkat topi kepada mereka berdua.

Yang belum bergerak maju dan/atau yang terabaikan selama ini adalah pembenahan perilaku warga kota. Sampah masih berserakan di sudut-sudut kota. Secara formal, kota kita memang kota Adipura. Terbersih se Indonesia. 

Tapi, jangan salah, kota bersih bukan karena kesadaran warga, melainkan hasil kerja sangat keras petugas kebersihan. Tak percaya? Berkelilinglah sesekali di pagi buta di tengah kota. Anda pasti akan geleng-geleng kepala. Kota tercinta seperti kapal pecah. Undukan sampah, baik yang kering maupun yang basah, ada di mana-mana. Pedagang makanan dan minuman menyerakkan saja bekas jualannya di jalan raya.

Tidak hanya soal kebersihan. Di jalan raya kita mendapati hal serupa. Pengendara memacu kendaraan seenak perut mereka tanpa empati kepada pengguna jalan lainnya. Di zebra cross tidak mau mengalah kepada nenek-nenek yang sudah mematung sekian lama. Kendaraan diparkir serampangan di mana mereka suka. Teknologi parkir meter yang diperkenalkan di beberapa tempat sejak beberapa waktu yang lalu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak itu saja, sebagian trotoar yang sudah diperbagus masih juga dikuasai sebagaian Pedagang Kaki Lima.  

Saya lebih suka menyebut pembangunan nonfisik sebagai pembangunan jiwa. Tidak ada pilihan, pembangunan fisik dan pembangunan jiwa harus seimbang. Neracanya tidak boleh berat sebelah. Melihat fakta, nampaknya ada sesuatu yang salah dengan pembangunan jiwa di kota kita. Usia kota yang sudah tua tidak paralel dengan perangai warganya, tidak sebagaimana kota-kota tua lainnya di dunia. 

Kota Sydney (Australia) adalah salah satu contoh saja tentang bagimana mereka mempraktikkan seimbangnya neraca pembangunan fisik dan pembangunan jiwa. Usia kota Sydney yang pertama kali didarati oleh Kapten Arthur Philip pada 26 Januari 1788 berusia lebih muda daripada kota kita. Usianya baru 229 tahun lebih sedikit. Apa yang ditemukan di Sydney pada usia itu? 

Sebagian besar warganya berperangai baik. Suka menolong sesama. Membuang sampah pantang di sembarang tempat. Di jalan raya tidak serampangan. Memarkir kendaraan pada tempatnya. Cerita PKL mengokupasi trotoar hanya tinggal legenda. 

Mungkin banyak yang menyanggah ketika saya membandingkan antara kota Padang dan Sydney. Tidak apple to apple, kata mereka. Sanggahan itu ada benarnya. Secara kasat mata, membandingkan keduanya seperti membandingkan apple dengan jambu paraweh. Sydney adalah salah satu kota terbaik di dunia yang tidak sebanding dengan kota kita. Akan tetapi, membandingkan keduanya dengan ukuran usia tetaplah relevan. Pasalnya, keadaan Sydney hari ini juga disebabkan faktor usia. Tidak datang secara ujug-ujug, tapi melalui proses panjang pembangunan jiwa yang berlangsung sekian lama dari generasi ke generasi. Proses itu yang nampaknya tidak berjalan di kota kita meskipun berusia lebih tua. 

Soal tidak jalannya proses pembangunan jiwa ini memang bukan hanya terjadi di kota kita saja. Hal serupa juga berlaku di tempat lainnya di negeri kita. Inilah pekerjaan rumah terbesar kita. Tugas kita menyeriusi soal ini bersama-sama. 

Kota ini butuh pemimpin yang mau mengoreksi orientasi dan porsi pembangunan. Pemimpin yang mau menjaga kesimbangan neraca pembangunan fisik dan pembangunan jiwa. Gedung, jembatan, trotoar, drainase dan aneka bangunan fisik lainnya harus terus dibangun, tapi pada saat yang sama pembangunan jiwa juga harus dilakukan. 

Menurut saya, membangun jiwa warga itu, paling tidak harus dilakukan dengan dua cara, yaitu membenahi pendidikan dasar dan menegakkan hukum dengan konsisten atau konsistensi berhukum. Dua-duanya adalah kerja berat. Butuh keseriusan dan stamina yang panjang dan terjaga. Pembangunan jiwa jauh lebih berat dari pada pembangunan fisik. Uang adalah faktor utama pembangunan fisik. Ada uang, apapun bisa dibuat. Sebutlah jembatan panjang ataupun gedung menjulang. Pembangunan jiwa? 
Tidak ada jaminan berhasil meskipun di kantong ada uang segudang. Mudah-mudahan tahun ke-348 ini dijadikan sebagai momentum pembangunan jiwa. Pemimpin serius melakukannya. Warga mengikut di belakangnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Menunggu Perpres Pendidikan Karakter

Gubernur Ajak Vote Seribu Rumah Gadang